“dua bangunan peribadatan dunia beda nasib dalam mendulang devisa negara”

Catatan : Gus Miskan Turino.

“Secara arsitektur bangunan, Ka’bah dan Candi Borobudur jelas beda, namun jika dilihat dari potensi devisa yang masuk pada negara dari kegiatan peribadatan dunia mungkin bisa jadi sama”

Dua bangunan dibawa ini secara arsitektur klasik maupun modern jelas sangat beda jauh.

Bangunan tersebut menunjukkan kemajuan teknologi dari sebuah negara bangsa.

Hanya bedanya kedua bangunan tersebut merupakan simbol tempat ibadah dua agama yang berbeda (Hindu-Budha dan Islam).

Begitu juga dalam pemberdayaannya keduanya mengalami pasang surut akibat dinamika peradaban yang cenderung keras dan kasar.

Kedua bangunan tersebut terletak di negara yang berbeda, bangunan Ka’bah ada di Arab sedangkan Borobudur ada di Indonesia.

Borobudur sebagai center waktu dan Ka’bah sebagai center poros bumi.

Borobudur awal berdirinya digunakan tempat peribadatan bagi umat beragama Budha dunia, namun pada sekitar abad ke tujuh karena terjadi krisis keimanan akibat perang saudara antara Sumaratungga nabinya umat Hindu dan Syailendra nabinya umat Budha sehingga masuklah agama Islam yang memberikan solusi untuk merajut kembali kehidupan sosial kemasyarakatan yang kondusif.

Akhirnya bangunan megah Borobudur ditinggalkan oleh umat Budha dan Hindu.

Pada sekitar tahun 1980 an bangunan Borobudur sebagai warisan cagar budaya yang dilindungi, mengalami kerusakan berat yang dilakukan oleh Islam kelompok garis keras.

Jika dilihat dari aspek peribadatan yang dikonversikan pada aspek ekonomi, maka sebenarnya antara Bangunan Ka’bah dan Candi Borobudur konteknya hampir sama yaitu sebagai pusat peribadatan dunia dengan umat beragama yang berbeda.

Persoalan mendasarnya kenapa Candi Borobudur tidak bisa maksimal, karena disinyalir adanya diskriminasi keimanan yang kuat dari berbagai pihak sehingga negara tidak mampu bahkan bisa dikatakan tidak berani menghidupkan kembali Candi Borobudur dan Candi Prambanan sebaga center peribatan umat Budha dan Hindu dunia.

Jika negara mampu dan berani membuka peribadatan dunia bagi umat Budha dan Hindu, maka devisa yang masuk dari kegiatan tersebut cukup besar, sebagaimana besarnya devisa yang masuk pada negara Arab dari kegiatan peribadatan di Ka’bah oleh umat Islam dunia.

Salam,
Miskan Turino