
Penulis :
AISYZAHRA NAFILAH RAMADHINA
Mahasiswi dan Aktivis BEM Fakultas Hukum Universitas Merdeka Pasuruan.
Perkawinan dini, atau pernikahan yang melibatkan individu di bawah usia dewasa, masih menjadi isu penting di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data global dan lokal, praktik ini memiliki dampak signifikan, mulai dari kesehatan fisik, psikologis, hingga sosial. Dalam konteks hukum Islam dan hukum positif Indonesia, isu ini memiliki landasan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Dalam ajaran Islam, pernikahan adalah bagian dari sunnah Nabi yang bertujuan untuk menciptakan ketenangan, kasih sayang, dan rahmat di antara pasangan. Al-Qur’an menegaskan tujuan ini dalam QS Ar-Rum:21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Namun, Islam juga menetapkan syarat-syarat sahnya perkawinan. Dalam QS An-Nisa:6, disebutkan bahwa seorang anak harus mencapai usia baligh dan memiliki kemampuan untuk mengelola urusan dengan baik sebelum diberi tanggung jawab:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai menjaga harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”
Dalam konteks hukum positif Indonesia, batas usia minimal untuk menikah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal tersebut menyatakan:
“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.”
Ketentuan ini diperkenalkan untuk melindungi hak-hak anak, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Pasal 26 ayat (1) huruf (c) dari undang-undang ini menegaskan bahwa orang tua berkewajiban untuk:
“Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.”
Meskipun demikian, hukum Indonesia masih memberikan peluang dispensasi melalui Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2019, yang menyatakan:
“Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.”
Namun, dispensasi ini sering kali menjadi celah yang disalahgunakan, sehingga tidak sepenuhnya melindungi anak dari risiko perkawinan dini.
Dampak pernikahan dini sangat signifikan. Secara fisik, anak yang menikah muda berisiko mengalami komplikasi kesehatan, seperti kematian ibu saat melahirkan dan bayi lahir prematur. Secara psikologis, mereka sering kali menghadapi tekanan mental, hilangnya masa anak-anak, dan risiko depresi. Dari sisi sosial dan ekonomi, pernikahan dini menyebabkan pendidikan terhenti, menambah risiko kemiskinan, dan memperkuat marginalisasi perempuan.
Sebagai solusi, Islam mendorong pendidikan dan penundaan usia menikah demi kemaslahatan. Pendekatan ini didukung oleh prinsip maqashid syariah, yang mengedepankan perlindungan jiwa (hifzun nafs) dan keturunan (hifzun nasl). Selain itu, hukum positif Indonesia memberikan landasan yang kuat untuk melindungi anak dari dampak negatif pernikahan dini.
Sinergi antara hukum Islam dan hukum positif menjadi kunci untuk menciptakan perlindungan yang efektif bagi anak-anak. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang dampak perkawinan dini, diharapkan masyarakat dapat mendukung langkah-langkah yang memastikan kesejahteraan dan masa depan anak-anak tetap terjaga.