
Oleh:
Ust. Dr. Sadin Subekti, ST, M.Kom. I di Masjid Al Muthahirin Poltekes Kemenkes Negeri Surabaya.
Bapak, Ibu dan saudaraku yang dimulyakan Allah
Allah berfirman:
۞ وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ࣖ
Siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang banyak dan kelapangan (rezeki dan hidup). Siapa yang keluar dari rumahnya untuk berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian meninggal (sebelum sampai ke tempat tujuan), sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa{4}: 100)
Rasulullah bersabda yang artinya: “Hijrah adalah orang-orang yang meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.” (HR. al-Bukhari)
Hijrah secara harfiah bisa diartikan meninggalkan keburukan untuk menuju kebaikan sesuai syari’at, hijrah tidak akan terputus sepanjang taubat masih diterima, taubat masih diterima sepanjang matahari belum terbit dari barat (Kiamat. Sedangkan keburukan adalah suatu perbuatan/perilaku umat manusia yang menyimpang dari ajaran agama Allah (Islam), seperti kemungkaran, kedzaliman, kemusyrikan, kemunafikan, kesombongan dll., semua itu dilarang oleh Allah Swt., sehingga wajib ditinggalkan dan Kemungkaran adalah awal dari perbuatan dosa,
وَمَا تَأْتِيْهِمْ مِّنْ اٰيَةٍ مِّنْ اٰيٰتِ رَبِّهِمْ اِلَّا كَانُوْا عَنْهَا مُعْرِضِيْنَ فَقَدْ كَذَّبُوْا بِالْحَقِّ لَمَّا جَاۤءَهُمْۗ فَسَوْفَ يَأْتِيْهِمْ اَنْۢبـٰۤؤُا مَا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ
- Tidaklah datang kepada mereka satu ayat pun dari ayat-ayat Tuhan mereka, kecuali mereka (pasti) berpaling darinya(Mengingkari) 5. Sungguh, mereka telah mendustakan kebenaran (Al-Qur’an) ketika sampai kepada mereka. Maka, kelak akan sampai kepada mereka berita-berita (tentang kebenaran) sesuatu yang selalu mereka perolok-olokkan.(QS. An-Aanam: 4-5)
Pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah dan rasulNya inilah yang melahirkan perbuatan dosa, dan dosa adalah jalan untuk menuju kesesatan dan kedzaliman bagi umat manusia, orang yang ingkar pada Allah dan RasulNya adalah sulit untuk bisa mensyukuri segala anugerah kenikmatan yang Allah berikan padanya, padahal ketika manusia keluar dari kandungan orang tuanya tidak membawa apa-apa dan juga tidak menetahuia sesuatu apapun:
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl: 78)
وَاٰتٰىكُمْ مِّنْ كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْهُۗ وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَاۗ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ ࣖ
- Dia telah menganugerahkan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat zalim lagi sangat kufur. (QS. Ibrahim{14}: 34)
Saking banyaknya nikmat yang diberikan Allah kepada manusia maka menghitungpun tidak mampu dilakukannya. Orang yang demikian ini bisa digolongkan oleh Allah sebagai orang yang dzalim dan kufur, maka Allah memerintahkan agar meninggalkan perbuatan dzalim dan kufur tersebut untuk menuju Allah dan Rasulullah dengan hijrah melalui syari’at yang berupa puasa ramadhan dan menuju Allah yang berupa hakikat. Seorang muslim atau mu’min tidak bisa melakukan puasa sebagai manifestasi syariat saja tanpa dibarengi dengan hakikat pada Allah, karena secara fiqih (syari’at) bahwa puasa itu tidak makan, tidak minum, tidak haid dan berhubungan suami istri pada siang hari maka hukumnya sudah sah puasanya, inilah disebut (shaumul awwam), puasanya orang awam tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga, tentu puasa kita tidak pada makom seperti hal tersebut diatas, yaitu hakikat puasa disamping hal tersebut juga harus menahan hawa nafsu, bersabar, bertaubat, mahabah, zuhud, ar-ridha, ma’rifah, tidak dusta, tidak ghibah, nammimah, sumpah palsu, serta memandang sesuatu yang melahirkan kemungkaran dan kemaksiatan serta mensyukuri segala anugerah Allah Swt.,
Dalam perspektif ilmu tasawuf disebut Takholli, Tahalli dan Tajalli (Mengosongkan diri dari sikap tercela, kemudian menghiasi sikap diri yang terpuji, dan terbukalah tabir atau tirai yang menyelubungi hati) sehingga memandang segala yang ada dengan Nur Ilahi Rabbi), karena segala tingkatan puasa yang menilai bukan malaikat akan tetapi Allah sendirilah yang akan memberi pahala atau ganjaran itu. Puasa itu milikku dan aku (Allah) yang akan memberimu pahala.
Wallahu a’lam bishawab
[1] Dosen Pengajar Matakuliah Agama Islam Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Surabaya
[2] Disampaikan Pada saat kuliah Subuh pada tanggal 10 april 2022M/1443H