
Dr.Ir. HADI PRAJOKO SH, MH Ketim PP. HPK.
Dalam setiap perdebatan mengenai perbudakan dalam sejarah Islam, selalu saja muncul satu kalimat sakti yang dijadikan tameng oleh para pembela tanpa riset: “Islam menentang perbudakan.” Kalimat ini biasanya diucapkan dengan nada penuh kemenangan, seolah-olah mereka baru saja menemukan rumus relativitas Einstein versi dakwah kampung.
Padahal, ketika kita geser sedikit tabir sejarah, kita mendapati sebuah kenyataan pahit: Islam tidak pernah menghapus perbudakan secara langsung. Islam melakukan apa yang dapat disebut sebagai reformasi etis, bukan abolisi moral. Yang membuat lucu adalah ketika fakta historis dan literatur akademik disodorkan, sebagian orang tiba-tiba berubah menjadi ahli penyangkalan, mengarang argumen ajaib yang bahkan tidak mampu menahan gravitasi logika.
Tulisan ini bukan sekadar kritik. Ini adalah bedah wacana—pisau analisis yang memisahkan antara idealisme teks dengan kelamnya praktik sejarah, antara klaim suci dan kenyataan duniawi yang tak bisa ditutup dengan retorika “hanya oknum”.
Mari kita mulai.
—
I. Perbudakan Pra-Islam: Konteks yang Tidak Bisa Dihapus Pakai Doa
Sebelum Islam datang, Jazirah Arab bukan tempat romantis seperti postcard padang pasir yang dijual di bandara. Itu adalah dunia perdagangan manusia, sistem klan, perang suku, dan ekonomi yang dibangun di atas hierarki darah dan pedang. Budak adalah komoditas legal, bahkan prestisius.
Ketika Islam muncul, institusi perbudakan tidak dihapus, melainkan diregulasi. Bahkan Bernard Lewis—salah satu sejarawan paling dihormati dalam studi Timur Tengah—menjelaskan bahwa Islam memperhalus praktik perbudakan, bukan menghapusnya. Murray Gordon menambahkan bahwa masyarakat Muslim, sepanjang ratusan tahun berikutnya, tetap menjadi salah satu kekuatan paling besar dalam perdagangan budak global.
Tapi, tentu saja, fakta seperti ini biasanya dianggap “fitnah Barat”. Karena apa pun yang tidak sesuai dengan narasi internal mesti dianggap propaganda.
Sayangnya, sejarah tetap sejarah. Tidak bisa dibungkus plastik lalu dijual ulang sebagai “versi syariah”.
—
II. Kenapa Tidak Dihapus Seketika? Jawaban Jujur: Karena Sistemnya Akan Ambruk
Orang sering bertanya: “Kalau Islam itu sempurna, kenapa perbudakan tidak diharamkan langsung seperti babi atau khamr?”
Jawabannya sederhana, tapi pahit: karena perbudakan adalah bahan bakar ekonomi saat itu. Mengharamkannya secara instan sama dengan mematikan mesin sosial yang menopang masyarakat Arab abad ke-7. Kita boleh idealis, tapi sejarah tidak punya ruang untuk ilusi moral.
Al-Qur’an memilih pendekatan bertahap. Regulasi, bukan abolisi.
Padahal kalau Allah mau, tentu bisa saja turun ayat:
“Hai orang-orang beriman, hapuskan perbudakan, karena itu menistakan martabat manusia.”
Tapi ayat seperti itu tidak pernah muncul.
Yang muncul justru daftar panjang:
bagaimana memperlakukan budak,
kapan boleh menyetubuhi budak perempuan,
bagaimana menebus dosa dengan membebaskan budak,
hingga bagaimana membuat kontrak mukataba.
Semua ini menunjukkan satu hal: perbudakan telah diintegrasikan ke dalam hukum, bukan dihapus dari hukum.
—
III. Etika Qur’ani: Jalan Keluar Ada, Tapi Pintu Tidak Ditutup
Kita harus jujur: Islam membuka banyak jalan menuju pembebasan budak.
Qur’an memuji manumisi sebagai amal besar (Al-Balad: 13).
Ada kafârah yang mensyaratkan pembebasan budak (Al-Ma’idah 5:89, An-Nisa’ 4:92).
Ada mukatabah (An-Nur 24:33), memungkinkan budak membeli kebebasan.
Tapi mari jangan lompati fakta kuncinya:
Tidak ada satu pun ayat yang memerintahkan “hapuskan perbudakan secara total.”
Yang ada hanyalah etika moderasi. Dalam istilah modern—regulasi pasar manusia, bukan abolisi perdagangan manusia.
Kalau ini diucapkan secara jujur, sebagian pembela akan panik. Mereka lebih memilih versi dongeng: bahwa Islam sejak awal adalah gerakan anti-perbudakan. Itu bukan sejarah; itu brosur pemasaran.
—
IV. Teknologi Pembenaran: Dari Mimbar Hingga Komentar Facebook
Hal yang membuat diskusi ini sering berputar di tempat sebenarnya bukan karena data kurang, tapi karena ego keagamaan lebih tebal daripada logika.
Beberapa pola pembelaan klasik:
1. “Itu zaman dulu. Islam sudah paling maju saat itu.”
Kalau begitu katakan saja Islam kompatibel dengan perbudakan beretika. Jujur saja.
2. “Barat juga punya perbudakan kok, kenapa Islam yang diserang?”
Argumen anak TK. Kalau Barat salah, bukan berarti Islam otomatis benar.
3. “Perbudakan di Barat lebih kejam!”
Baik. Lalu kenapa tidak dihapus di dunia Islam selama 13 abad?
4. “Perlakuan budak dalam Islam sangat manusiawi.”
Masalahnya bukan soal manusiawi atau tidak. Masalahnya adalah status manusia sebagai properti. Jika itu dibenarkan, bahkan dengan “perlakuan baik”, maka masalah moralnya tetap ada.
Yang lucu adalah ketika seseorang mencoba memaparkan data sejarah, mereka akan diserang dengan kalimat “kau tidak paham Islam”, seolah ilmu sejarah baru valid kalau diucapkan ustaz viral.
—
V. Realitas Kekhalifahan: Ketika Idealisme Sunnah Tunduk pada Politik
Dalam sejarah Islam,
budak diperdagangkan secara masif,
budak digunakan sebagai pasukan elit (mamluk, janissari),
budak perempuan dijadikan selir legal dalam jumlah besar.
Semua ini bukan “fitnah Barat”. Ini arsip sejarah dari peradaban Islam sendiri.
Kalau ada yang masih membantah, itu ibarat menghapus bab gelap sejarah hanya karena tidak cocok dengan selera.
Sejarawan William Clarence-Smith bahkan mencatat bahwa perbudakan di dunia Islam baru benar-benar berakhir setelah tekanan kuat dari dunia internasional pada abad ke-19 dan ke-20, bukan karena seruan internal ulama.
Jadi, kalau ada yang bilang “Islam sudah menghapus perbudakan sejak 1400 tahun lalu”, saya hanya bisa tersenyum—senyum kecil, sinis, tapi penuh iba. Karena itu bukan argumentasi; itu refleks.
—
VI. Islam Modern dan Tafsir Ulang: Ketika Teks Dibenturkan dengan HAM
Para cendekiawan Muslim modern mencoba menyelaraskan syariah dengan HAM. Caranya bukan dengan membantah sejarah, tetapi menafsirkan ulang ayat-ayat tentang budak.
Mereka menggunakan pendekatan maqāṣid al-sharī‘ah—tujuan moral syariah—untuk menyatakan bahwa:
nilai puncak adalah kebebasan manusia,
perbudakan hanyalah kompromi zaman,
dan karena itu kini tidak relevan.
Ini pendekatan cerdas. Rasional. Dan jujur.
Sayangnya, pendekatan inilah yang paling ditolak oleh mereka yang masih berpikir bahwa kritik adalah ancaman, bukan peluang untuk dewasa.
—
VII. Penutup: Antara Kejujuran dan Kenyamanan Psikologis
Apakah Islam menentang perbudakan?
Tidak dalam makna abolisi total.
Apakah Islam mereformasi perbudakan?
Ya, secara signifikan.
Apakah umat Islam menerjemahkannya dengan baik?
Tidak selalu—dan seringkali sangat buruk.
Masalah terbesar bukan Islamnya.
Masalahnya adalah umat yang memoles sejarah dan mengaburkan fakta demi menjaga rasa aman psikologis.
Kalau mau jujur, Islam berhutang pada modernitas—bukan sebaliknya—dalam hal penghapusan perbudakan. Tidak ada salahnya mengakui itu. Tidak membuat iman runtuh. Justru itu tanda kedewasaan intelektual.
Tapi bagi sebagian orang, mengakui fakta lebih menyakitkan daripada sejarah itu sendiri.
Dan begitulah kita mendapati fenomena manusia seperti Muhammad Farhan di media sosial: bukan sedang membela Islam, tapi sedang membela versinya sendiri tentang Islam. Versi yang sudah disterilkan dari kerumitan sejarah.
Semoga terus meningkat kesadaran dan pemahaman yg sehat.
Saya tidak menyalahkan.
Saya hanya mencatat.
Dan tertawa kecil—karena kadang kebenaran memang butuh humor agar tetap waras.
SALAM AKAL SEHAT 😊
