
oleh: Taryokolanjar
.
1295 Masehi
.
Majapahit baru seumur jagung. Majapahit tertatih mencabut dirinya dari lumpur Hutan Tarik—kerajaan agung itu lahir bukan dari madu, melainkan dari darah dan air mata. Raden Wijaya, yang kini bergelar Kertarajasa Jayawardhana, berdiri di atas singgasana yang ia rebut kembali berkat kesetiaan empat tiang penyangga utamanya, para senopati: Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Sora, dan Nambi. Mereka adalah saudara seperjuangan yang mencicipi pahit getirnya pelarian, berlumur lumpur dan janji.
.
Namun, sejarah, seperti nasib, terkadang memunggungi mereka yang paling berjasa….
.
Malam itu, di Tuban, jauh dari hingar bingar Trowulan, bulan purnamasida tergantung bundar, putih susu di atas langit. Ranggalawe, genta yang selalu berbunyi nyaring, kini duduk seorang diri di beranda rumahnya. Panggulnya terasa berat, seolah memikul seluruh beban kerajaan yang baru berdiri. Ia dikenal sebagai sosok yang blak-blakan, tak mengenal basa-basi istana, tapi kini, genta itu retak dan terdiam.
.
Ia menghela napas panjang, sangat panjang, seolah menghela seluruh udara yang menyesakkan dadanya dan melontarkannya kembali ke malam sunyi. Napas itu bukan sekadar udara; itu adalah lontaran beban yang terbuat dari sumpah setia yang diabaikan, dari luka yang tak terbalas, dan dari janji yang dikhianati.
Apa pasal ?
Adalah ketika tiba saatnya Sang Prabu menunjuk Patih, jurang itu terbuka. Nama yang disebut, yang dipeluk dan didudukkan di sisi terdekat Raja, adalah Nambi.
.
Bagi Ranggalawe, kabar itu bagai tikaman dingin di punggung. Betapa sepi, betapa perih. Ia merasa kesetiaannya, yang setebal baja, telah diremehkan. Ia merasa jiwanya terasing, dibuang ke padang sunyi, sementara pujangga dan penjilat berpesta di ibu kota. Kekalahan itu bukan soal tahta, tapi rasa dikhianati oleh dharma itu sendiri. Ia melihat Majapahit yang baru berdiri telah memudar kejujuran nuraninya.
.
“Hanya karena Nambi pandai melayani dan bermulut manis, ia merebut posisi yang seharusnya milik mereka yang mempertaruhkan nyawa!” Bisikan getir itu meracuni hatinya, mengubah loyalitasnya yang mendidih menjadi bara pemberontakan.
.
Raden Wijaya, terjepit antara janji lama dan perhitungan politik, mengirim Kebo Anabrang dan Lembu Sora—dua sahabat dan juga paman Ranggalawe—untuk membujuk. Di tepi Sungai Brantas, yang airnya mengalir tenang seolah tak peduli pada drama manusia, mereka bertemu.
.
Lembu Sora, sang paman, mencoba membujuk, matanya memancarkan kepedihan. “Lawe, anakku. Dengarkan Pamanda. Pulanglah. Berlutut di hadapan Sang Prabu. Kekecewaan ini besar, tapi jangan hancurkan semua yang telah kita bangun. Kembalilah, dan terima keputusan Raja. Semua ini demi Majapahit.”
Ranggalawe berdiri tegak, membiarkan angin sungai menerpa wajahnya. Nada suaranya dingin, penuh getir. “Pamanda bicara tentang Majapahit? Majapahit macam apa yang dibangun di atas pengkhianatan nurani? Justru seharusnya Pamanda yang berdiri di posisi Patih itu! Atau, kalau bukan Pamanda, aku! Kami yang berdarah-darah di medan perang, bukan mereka yang hanya pandai merangkai kata! Aku tidak akan kembali, Pamanda. Raja telah buta.”
Lembu Sora mendesah. Ia gagal.
.
Kebo Anabrang, yang selalu tegak dan patuh pada titah, bersuara berat, “Lawe, berhentilah. Apapun keputusan Sang Prabu, ia adalah Matahari kita. Kesetiaan kita tak boleh berbalik, bahkan jika hati tak rela.”
Ranggalawe tertawa getir, tawanya kering seperti daun jatuh. “Kepatuhan tanpa nurani adalah bangkai, Anabrang! Engkau memilih untuk menjadi anjing setia, aku memilih menjadi ksatria yang menuntut kebenaran!”
.
Pertarungan pun pecah. Mereka berdua sama kuat di darat, namun ketika pertempuran merembet ke air Tambak Beras, keunggulan Kebo Anabrang—seorang ahli pertempuran air—muncul. Ranggalawe terperangkap dalam pelukan maut jurus supit urang. Kebo Anabrang menjepitnya kuat-kuat di bawah permukaan sungai. Ranggalawe berjuang sekuat tenaga, namun ia tak bisa lepas. Ia tewas bukan karena sabetan senjata, melainkan karena kehabisan napas, mati lemas, ditelan air yang seharusnya menjadi saksi bisu kejayaan mereka. Darah pertama pengikut setia itu tumpah, mewarnai air sungai, menjadi tanda duka yang abadi bagi kerajaan.
.
Saat tubuh keponakannya terbujur kaku, sesuatu dalam diri Lembu Sora patah. Logika perang lenyap digantikan jeritan batin seorang keluarga. Ia tak mampu lagi membedakan mana kawan dan mana musuh. Dengan mata berkaca-kaca yang dipenuhi amarah dan duka, Lembu Sora mencabut kerisnya dan menghujam Kebo Anabrang, membalas dendam yang tak terhindarkan.
.
Duka di Istana
Lembu Sora, dengan hati yang hancur, menyerahkan diri ke hadapan Sang Prabu. Di istana, tangis Raja Kertarajasa pecah. Air matanya bukan hanya untuk dua ksatria yang gugur, tapi juga untuk dirinya sendiri, raja yang gagal menjaga hati para pejuang.
“Apa yang telah kubangun, Sora? Apakah darah mereka adalah harga dari tahtaku?” ratap Sang Prabu, merasa mahkotanya terbuat dari pecahan hati para sahabatnya.
Lembu Sora bersujud, air matanya menetes membasahi lantai. “Hukumlah hamba, Gusti. Hamba telah mencabut nyawa kawan demi kepedihan keponakan hamba.”
Sementara itu, Patih Nambi berdiri mematung di sudut. Ia tak mampu mengeluarkan satu pun kata. Ia tahu, di balik kemegahan jabatannya, ia adalah pangkal dari petaka ini, sebuah bisul perih yang pecah dan mengalirkan nanah di hari-hari termegah Majapahit.
.
Malam itu, di timur, hutan Tarik—tempat Majapahit dilahirkan—diselimuti kabut yang tebal. Pepohonan besar seolah membungkuk, daun-daunnya tak bergerak, mengantarkan kepergian Ranggalawe dan Kebo Anabrang. Angin yang berembus tidak membawa suara gembira, melainkan hanya desah perih yang panjang. Sebuah kerajaan baru telah berdiri, namun rohnya telah terluka parah, dan langit di atas Tarik menjadi saksi bisu masa kelam yang baru dimulai.
.
.
