Meluruskan Kesalah Pahaman Sejarah Majapahit Akhir : Raja Terakhir Trowulan Bhre Pandan Salas Dyah Suraprabhawa Bukan Bhre Kertabumi dan Tidak Digulingkan Sultan Demak Bintoro

 

Oleh:
R.TB. Moggi Nurfadhil Satya, S.Sos., M.A.

Abstrak

Penulisan sejarah Majapahit akhir selama beberapa dekade mengalami distorsi akibat penyamaan istilah “Brawijaya V” dengan Bhre Kertabumi. Kajian ini meluruskan kekeliruan tersebut melalui analisis sumber epigrafis (Prasasti Jiwu, Petak, dan Śrāddha 1474 M), data Tionghoa sezaman, serta koreksi modern dari Dr. Nia Kurnia Sholihat dan Prof. Dr. R.B. Slamet Muljana.
Penelitian ini menegaskan bahwa raja terakhir di Trowulan ialah Bhre Pandan Salas Dyah Suraprabhawa, adik dari Dyah Rajasawardhana Sang Sinagara / Dyah Wijayakumara, sedangkan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhre Kertabumi—putra Sinagara—menggulingkan pamannya pada 1400 Saka = 1478 M.
Dengan demikian, kehancuran Majapahit bukan karena serangan Demak, melainkan perebutan tahta internal keluarga kerajaan.

1. Latar Belakang Genealogis

Dyah Kertawijaya mempunyai dua putra utama =

1. Dyah Rajasawardhana Sang Sinagara ( Dyah Wijayakumara);

2. Dyah Suraprabhawa (Bhre Pandan Salas).

Dari Sinagara lahir Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhre Kertabumi, yang kemudian menyerang pamannya Dyah Suraprabhawa pada 1478 M.[1]
Artinya, Bhre Kertabumi bukan raja terakhir di Trowulan, melainkan penguasa baru di Daha (Kediri).

2. Upacara Śrāddha tokoh yang wafat tahun 1474 M

Prasasti Jiwu / Jiyu I tentang Upacara Śrāddha bertarikh 1486 M, Memperingati seorang wanita bangsawan tinggi dua belas tahun setelah wafatnya di tahun 1474 M,
Menurut Dr. Nia Kurnia Sholihat, wanita itu ialah istri Sinagara, yaitu ibunda Girindrawardhana, bukan Dyah Suraprabhawa.[2]
Hal ini menjelaskan bahwa Upacara Śrāddha terhadap tokoh yang wafat tahun 1474 sebelum konflik 1478 M, terkait keluarga Sinagara, bukan Suraprabhawa.

3. Bukti Bahwa Pengkudeta Raja Majapahit Akhir Bukan Raden Patah

Beberapa fakta primer menegaskan bahwa pemberontak 1478 M bukan Raden Patah, melainkan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya sendiri:

1. Prasasti Jiwu dan Petak (sekitar 1486 M) menyebut nama Sri Maharaja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya sebagai raja yang “menyatukan kembali” Majapahit setelah perang saudara, tanpa menyebut keterlibatan Demak.[3]

2. Tidak ada catatan Tionghoa maupun Portugis abad XV yang menyinggung serangan Demak ke Trowulan pada 1478 M. Sebaliknya, catatan Xiao Zong Zhi Lu (1495) menulis bahwa utusan dari Bu La Ge De Na Mei (Bhre Kertabumi) datang ke istana Ming, menunjukkan Majapahit masih berdiri dan diakui secara diplomatik di bawah Girindrawardhana alias Bhre Kertabumi alias Bu La Ge De Na Mei [4]

3. Suma Oriental karya Tomé Pires (1513) menyatakan bahwa “raja di Daha (Majapahit) adalah keturunan Sinagara,” bukan bawahan Raden Patah. Demak disebut berdiri sendiri dan belum menaklukkan Majapahit saat itu.[5]

4. Prof. Slamet Muljana (1983) juga mengoreksi pandangannya sendiri (1968) dan menegaskan bahwa peristiwa 1478 M adalah perebutan tahta antara pamanda dan keponakan, bukan penaklukan Islam atas Majapahit.[6]

Dengan demikian, narasi “Majapahit runtuh oleh Demak” adalah tafsir belakangan dari sumber sekunder abad XVI–XVII yang tidak sezaman.

4. Implikasi Historis

Peristiwa 1478 M harus dipahami sebagai peralihan internal kekuasaan dinasti Kertawijaya, bukan perang agama atau invasi luar.
Majapahit di Daha masih berlanjut setidaknya hingga awal abad XVI, terbukti dari eksistensi gelar Girindrawardhana Bhre Kediri dalam prasasti serta pengiriman utusan ke Tiongkok.
Baru setelah wafatnya Girindrawardhana, pengaruh Demak mulai meluas, mengambil alih wilayah bekas Majapahit secara bertahap, bukan dengan satu penaklukan tunggal.

5. Kesimpulan =

1. Raja terakhir Majapahit di Trowulan ialah Dyah Suraprabhawa, adik Sinagara.

2. Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhre Kertabumi) menggulingkan pamannya tahun 1478 M dan memindahkan pusat kerajaan ke Daha.

3. Upacara Śrāddha tokoh yang wafat tahun 1474 M untuk ibunda Girindrawardhana, bukan Dyah Suraprabhawa.

4. Raden Patah tidak terlibat langsung dalam kudeta 1478 M.

5. Majapahit tidak “runtuh” pada 1478 M, melainkan mengalami transformasi politik internal.

Daftar Pustaka

1. Hasan Djafar, Girindrawardhana: Kehidupan Politik Majapahit Akhir, Jakarta, 1978.

2. Nia Kurnia Sholihat, Majapahit Akhir: Kajian Epigrafi dan Historis Berdasarkan Prasasti Jiwu dan Petak, UI Press, 2012.

3. Nia Kurnia Sholihat, “Analisis Epigrafi Prasasti Jiwu Upacara Śrāddha tokoh yang wafat tahun 1474 M”, Jurnal Arkeologi Indonesia 15 (2), 2012.

4. Liang Liji, Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis: 2.000 Tahun Hubungan Tiongkok–Indonesia, Beijing University Press, 2016.

5. Tomé Pires, Suma Oriental of the Red Sea to China, trans. Armando Cortesão, Hakluyt Society, 1944.

6. Slamet Muljana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Depdikbud, 1983.