
Oleh: KH. Ali Badri
Pada pertengahan tahun 2019, saya kedatangan tamu dari Winongan, diantara obrolan kami saat itu, sang tamu curhat terkait cungkup makam nenek Habib Umar bin Hafizh yang katanya melindas beberapa makam lain. Sayapun menyarankan untuk membicakan hal ini dengan pihak yang berwenang agar bagian bangunan yang melindas makam itu dibongkar, yang membongkar biar pihak yang berwenang saja atau Satpol-PP. Tamu itupun tersenyum penuh arti, saya memahami senyum itu sebagai isyarat dari kata “mana berani”. Saat itu memang tidak ada yang berani membantah apalagi memperkarakan habaib, tidak seperti sekarang!
Tidak lama dari itu ada kasus “kecil” di Sidogiri yang menimpa KH. Mas Nur Hasan, keponakan KH. Mas Fuad (Pengasuh Pesantren idogiri sekarang). Ceritanya beliau melamar putri seorang Al-Jufri untuk putra beliau, lamaran itupun diterima dan ditentukanlah tanggal pernikahan, namun pernikahan itu dijegal oleh Habib Taufiq Assegaf (Ketua Umum Rabithah Alawiyah sekarang). Katanya, Habib Taufiq menyuruh orang untuk mendatangi KH. Mas Nur Hasan dan memaksa beliau untuk menyatakan pembatalan pernikahan itu dengan direkam video.
Untuk diketahui, ini bukan yang pertama kali Habib Taufiq mempersekusi pernikahan putra Kiyai dan putri “Habib”. Saya teringat ketika seorang Kiyai sepuh Rembang (Pasuruan) juga bercerita pada saya, katanya beliau didatangi oleh Habib Taufiq yang masih sangat muda ketika itu, Habib Taufiq marah-marah karena Kiyai itu menikahkan putranya dengan seorang gadis Assegaf. Padahal gadis Assegaf itu ditelantarkan oleh ayahnya sejak kecil dan Kiyai itulah yang merawatnya hingga dewasa, beliau juga mendidiknya dengan baik sehingga ia menjadi Ustadzah. Ke mana Habib Taufiq dan Rabithah Alawiyah ketika ada “habaib” kawin cerai dan anak-anak mereka ditelantarkan? Apa memang harus muhibbin yang mengurus anak-anak Habib yang terlantar itu?!
Dan untuk diketahui pula, pemahaman dan sikap ekstrim Habib Taufiq itu adalah warisan Rabithah Alawiyah di masa penjajahan dan fatwa Habib Utsman Bin Yahya (Mufti Kerajaan Belanda di Betawi), padahal Mufti Hadramaut telah berfatwa menentang fatwa Habib Ustman itu, bahkan para petinggi Rabithah Alawiyah ketika itu memusuhi Mufti Hadramaut dan Habaib Haramaut lainnya karena tidak membela Rabithah Alawiyah dan tidak membela fatwa Habib Utsman. Inilah pemicu konflik imigran Hadramaut selama 7 tahun sejak tahun 1905 hingga 1942, gara-gara pemahaman dan sikap ekstrim ini merekapun bertikai hebat layaknya bukan sesama muslim, merekapun membuat malu bangsa Arab di negeri-negeri Arab, bahkan Kerajaan Saudi dan Kerajaan Al-Katsiri Hadramaut tidak mampu menghentikan pertikaian itu. Kata Habib Abdurrahman Assegaf (Mufti Hadramaut), pertikaian ini menghabiskan dana sangat besar, termasuk dana yang dikeluarkan oleh Kerajaan Saudi dan Kerajaan Al-Katsiri ketika mengirim delegasi ke Jawa. Begita besarnya dana itu sehingga Habib Adurrahman Assegaf berandai dana itu digunakan untuk membangun Hadramaut. Sayapun berandai dana itu digunakan untuk membantu perjuangan kemerdekaan. Saat itu para Kiyai dan santri sedang perlu dana untuk perjuangan kemerdekaan, tapi Rabithah Alawiyah dan Al-Irsyad malah menghamburkan dana untuk pertikaian yang memalukan!
Kembali ke kasus Sidogiri, KH. Mas Nur Hasan kemudian menceritakan masalah beliau kepada beberapa Kiyai, termasuk kepada saya. Ketika itu saya hanya merasa prihatin dan tidak bisa membantu, karena nasab beliau bersambung pada Basyaiban melalui Kiyai Asror Bangkalan, sementara Habib Taufiq menolak nasab Kiyai Asror sebagai Basyaiban. Ketika itu saya masih memegang Rabithah Azmatkhan, saya sedang menjaga hubungan baik dengan Habib Taufiq sebagai pengurus Rabithah Alawiyah, apalagi pernah terjadi kesepakatan Habaib di rumah Habib Taufiq ketika mereka menjawab surat saya ke Rabithah Alawiyah, bahwa antara Rabithah Alawiyah dan Rabithah Azmatkhan agar tidak saling mengganggu. Sebagian Keluarga Basyaiban sudah lama bergabung dengan Rabithah Alawiyah, sayapun merasa tidak berhak untuk terlibat dengan kasus KH. Mas Nur Hasan ini, saya hawatir dianggap mau ikut-ikutan mengurus nasab Basyaiban. Ketika itu saya berkata kepada KH. Mas Nurhasan: “Seandainya antum Azmatkhan maka saya pasti akan temui Habib Taufiq.” Untuk diketahu, masyayikh Sidogiri itu berasal dari dua keluraga yang kemudian menyatu dengan pernikahan, yang pertama dari keturunan Sayyid Sulaiman yang katanya Basyaiban, yang kedua dari keturunan Sunan Ampel yang ketika itu disepakati sebagai keluarga Azmatkhan. Namun Rabithah Alawiyah, termasuk Habib Taufiq, menolak nasab masyayikh Sidogiri yang ke Sayyid Sulaiman Basyaiban melalui Kiyai Asror Bangkalan.
Diantara orang yang dicurhati oleh KH. Mas Nur Hasan adalah Gus Huda (Bugul Pasuruan), dalam rekaman video yang sudah menyebar di Youtube, Gus Huda menceritakan awal curhatan itu yang berujung pada perseteruan antara beliau dan Habib Taufiq dan berlanjut pada kasus makam Winongan. Setelah mendengar cerita KH. Mas Nur Hasan itu, Gus Huda menjari geram pada Habib Taufiq namun tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga yang terfikir oleh beliau hanya membalas perlakuan Habib Taufiq itu dengan menyebarkan aib beliau, dimana kata Gus Huda, Habib Taufiq itu suka kawin cerai. Gus Huda bermaksud untuk menjatuhkan nama Habib Taufiq dengan menyebarkan “aib” itu, sehingga suatu Ketika Gus Huda mengomentari sebuah postingan di sebuah group WA yang sedang bercanda membicarakan “janda”, Gus Huda berkomentar dengan mengatakan “jangan-jangan itu jandanya Habib Taufiq”. Rupanya ada yang meng-SS kometar itu dan dikirim ke Habib taufiq. Tidak lama dari itu ada yang menelpon Gus Huda dan mengajak ketemuan, Gus Huda menemui pihak penelpon itu yang ternyata seorang Habib, Habib itu marah-marah dan mengajak paksa Gus Huda untuk ikut mobil mereka dan katanya mau dibawa menemui Habib Taufiq di Pesantren beliau (Assunniyah), Gus Huda merekam kejadian itu dengan video, saya kenal dengan Habib yang di video itu. Karena mearasa tidak aman maka orang yang menemani Gus Huda melarang beliau ikut mobil Habib itu, maka Gus Huda bilang ke Habib itu kalau beliau mau menuyusul saja. Setalah Habib itu pergi, Gus Huda meminta pendapat Mas Hamid dan Gus Su’adi dan mereka melarang Gus Huda untuk menemui Habib Taufiq. Untuk diketahui, Gus Huda dan Mas Hamid adalah keturunan Kiyai Musa yang batu nisannya dipepet oleh pondasi cungkup makam Al-Haddar Winongan, mereka berdua ditambah Gus Su’adi adalah penggagas normalisasi makam Winongan. Mulai nyambung dengan judul kan?
Konflik Gus Huda dengan Habib Taufiq berlanjut hingga banyak polisi datang ke rumah Gus Huda, singkatnya permusuhan terus berlanjut, Gus Huda merasa jengkel dan dari awal memang mau menjatuhkan nama Habib Taufiq sebagai pembalasan atas perlakuan beliau terhadap KH. Mas Nur Hasan Sidogiri, hingga suatu Ketika, katanya, Gus Huda bertemu dengan seorang pengacara, ia mengaku sering datang ke Diskotik Pentagon Surabaya dan sering bertemu Habib Taufiq di diskotik itu. Kontan saja Gus Huda merasa mendapat bahan untuk menjatuhkan nama Habib Taufiq dengan isu Diskotik Pentagon, hingga kemudian virallah Habib Taufiq disebut “Wali Pentagon”. Habib Taufiq memperkarakan Gus Huda terkait “fitnah Pentagon” itu, namun entah kenapa kepolisian tidak menindak-lanjuti. Menurut saya, kalau Ketika itu polisi langsung menindak-lanjuti justru akan merugikan Habib taufiq, walaupun beliau menang dalam kasus fitanahannya namun bisa jadi akan terungkap juga ke publik tentang kasus beliau dengan Kiyai Sidogiri itu, bahkan bisa jadi Gus Huda akan melibatkan banyak janda yang katanya adalah mantan-mantan istri Habib Taufiq.
Cerita itu sudah menyebar di Youtube, jadi saya hanya menjelaskan kronologi sesuai cerita yang sudah beredar, supaya masyarakat tahu duduk persoalannya dan bisa menilai dengan adil. Seandainya cerita ini masih menjadi rahasia maka tentu saja saya tidak akan mebukanya.
Singkat cerita, perseteruan Gus dan Habib yang memuncak sejak “kasus Sidogiri” itu kemudian bersambut dengan kasus makam Winongan, Gus Huda dan Mas Hamid yang merupakan keluarga dari tuan makam yang terhimpit itu mengumpulkan keluarga besar mereka untuk “mendemo” cungkup makam Al-Ahaddar. Setahu saya, mereka berdua dan Gus Su’adi hanya mengupayakan normalisasi makam agar dilakukan oleh pihak berwenang, bahkan dalam video Ketika “pembongkaran makam” itu, Mas Hamid dengan jelas mengatakan bahwa beliau memberi Waktu dua hari untuk menyelesaikan masalah cungkup itu, bukan mau membongkar saat itu juga. Namun situasi tiba-tiba memanas ketika Kepala Desa menyatakan bahwa cungkup dan jalan menuju cungkup itu tak berizin, salah seorang dari mereka langsung berkata kepada Kepala Desa: “Kalau begitu saya minta izin untuk membongkarnya.” Kepala Desa belum sempat menjawab tapi orang itu langsung meng-eksekusi bangunan cungkup dan diikuti oleh yang lain. Mas Hamid dan tokoh-tokoh yang lain tidak bisa berbuat apa-apa hingga bangunan itu hancur, bahkan daintara pelaku pembongkaran itu rupanya ada yang salah faham sehingga ia bukan hanya membongkar cungkup, tapi juga membongkar makam. Kekisruhan di media menjadi semakin heboh ketika banyak juga yang salah faham mengira itu pembongkaran makam palsu.
Saya rasa penjelasan ini cukup untuk memahami akar masalah polemik makam Winongan. Semoga Allah membimbing semua pihak yang bersalah untuk menyadari kesalahannya dan memohon ampun kepada Allah, kemudian Allah memberikan jalan keluar yang memuaskan semuanya. Amin
