
Oleh: Sujaya, S. Pd. Gr
Penasehat DPP ASWIN
Sekolah seharusnya menjadi taman yang menumbuhkan budi pekerti dan kecerdasan. Di dalamnya, nilai-nilai kejujuran, empati, dan tanggung jawab dijaga sebagai pondasi karakter. Namun, realitas di lapangan tidak selalu seindah cita-cita. Di beberapa institusi pendidikan, kita justru menemukan lingkungan yang toksik—penuh intrik, konflik, dan kepentingan pribadi. Fenomena ini bagaikan noda yang menggerogoti tubuh pendidikan dari dalam, menghancurkan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi ruh sekolah.
1. Ketika Sekolah Kehilangan Jiwa
Lingkungan toksik muncul ketika individu-individu dengan perilaku negatif mendominasi ruang sosial sekolah. Mereka menjadikan sekolah bukan lagi tempat pengabdian, melainkan arena kekuasaan dan adu pengaruh. Ironisnya, perilaku semacam ini sering kali dimulai dari pimpinan yang semestinya menjadi panutan. Alih-alih menciptakan iklim kerja yang sehat, justru yang tumbuh adalah budaya saling curiga, bisik-bisik, dan fitnah.
Dalam salah satu kasus nyata di sebuah sekolah menengah, kondisi ini tampak sangat jelas. Guru-guru senior yang berprestasi dan telah mengabdi lebih dari satu dekade atau di atas dua puluh lima tahun tiba-tiba didepak dengan isu yang tidak berdasar. Beberapa di antaranya adalah guru berkompetensi langka—seperti pengajar PPKN, IPA, Matematika dan bidang studi penting lainnya. Mereka tersingkir bukan karena kinerja buruk, melainkan karena menjadi korban intrik dan politik internal. Sekolah yang dulu dihormati berubah menjadi ladang konflik emosional.
Ki Hajar Dewantara pernah mengingatkan bahwa “Di mana ada teladan, di situ ada pendidikan.” Ketika teladan justru digantikan oleh intrik, maka sekolah kehilangan jiwanya. Yang tersisa hanyalah struktur formal tanpa makna moral.
2. Efek Domino: Hancurnya Iklim Akademik dan Moral
Budaya toksik bukan sekadar persoalan hubungan antarindividu, tetapi sudah menjalar ke jantung sistem pendidikan. Guru-guru yang tersisa bekerja dalam ketegangan, takut bersuara, dan kehilangan motivasi. Kolaborasi runtuh, inovasi mandek, dan semangat belajar murid ikut menurun. Dalam suasana yang penuh tekanan, mustahil bagi nilai-nilai pendidikan sejati untuk tumbuh.
Paulo Freire, dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, menyebut bahwa pendidikan sejati harus membebaskan manusia dari penindasan, bukan menciptakan penindasan baru. Sekolah toksik justru melahirkan bentuk penindasan terselubung—di mana suara guru dibungkam, kritik dianggap ancaman, dan kesetiaan diukur dari kepatuhan pada kekuasaan, bukan pada nilai kebenaran.
Akibatnya, siswa pun menjadi korban tak langsung. Mereka belajar di tengah atmosfer negatif, menyaksikan ketidakadilan tanpa mampu memahami akar persoalannya. Secara psikologis, hal ini menanamkan pesan berbahaya: bahwa dalam kehidupan, kebenaran bisa dikalahkan oleh kekuasaan.
3. Akar Masalah: Kepemimpinan Tanpa Integritas
Tidak ada sekolah yang tiba-tiba menjadi toksik. Semuanya bermula dari krisis integritas pada level kepemimpinan. Ketika kepala sekolah atau pejabat pendidikan gagal menjadi teladan, maka nilai-nilai moral pun kehilangan arah. Mereka yang memimpin dengan emosi, bukan dengan visi, akan menciptakan budaya saling menjatuhkan.
Dalam sistem pendidikan modern, kepemimpinan moral adalah inti keberhasilan. Kepala sekolah bukan hanya manajer administratif, tetapi juga penjaga nilai dan etika. Ia seharusnya menuntun, bukan mengintimidasi; memotivasi, bukan memanipulasi. Ki Hajar Dewantara menegaskan, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” — di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan. Prinsip ini seolah hilang di tengah kultur kekuasaan yang mementingkan citra pribadi daripada kualitas pendidikan.
4. Harapan: Membangun Sekolah yang Sehat dan Bermartabat
Kita tidak boleh menyerah pada keadaan. Sekolah harus direformasi dari dalam, dimulai dengan membangun budaya integritas, keterbukaan, dan empati. Dinas pendidikan, pengawas, dan masyarakat perlu menjadi pengawal moral agar tidak ada lagi penyalahgunaan wewenang. Guru-guru juga harus berani bersuara dan bersatu melawan ketidakadilan dengan cara profesional dan bermartabat.
Pendidikan sejati bukan sekadar soal kurikulum atau fasilitas, tetapi soal karakter dan kejujuran. Sekolah yang sehat bukanlah yang megah secara fisik, melainkan yang kokoh secara etika. Hanya dengan mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, pendidikan akan kembali pada jalurnya sebagai sarana memanusiakan manusia.
Penutup
Sekolah toksik adalah paradoks dari cita-cita pendidikan nasional. Di balik seragam dan slogan moral, tersimpan luka dan kehilangan makna. Namun, di tengah semua itu, masih ada guru-guru yang berjuang dengan hati, mengajar dengan cinta, dan bertahan dengan integritas. Mereka adalah penjaga terakhir nilai-nilai luhur pendidikan.
Sebagaimana pesan Ki Hajar Dewantara: “Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
Tugas kita adalah memastikan, bahwa sekolah—sebagai rumah besar ilmu—tidak lagi diracuni oleh toksisitas, tetapi dipenuhi oleh keteladanan, kasih, dan keadilan.
Indramayu. 12/10/2025
