Mantra dan Sesaji

 

Dalam literatur dan kaidah kebudayaan Jawa (Kejawen) tidak ditemukan adanya aturan dalam kalimat doa serta tata cara baku menyembah Tuhan. Dalam budaya Jawa dipahami bahwa Tuhan Maha Segalanya dan kekuasaan-Nya tiada terbatas. Sama juga dalam kejawen, karena bukanlah agama, maka dalam falsafah kejawen, yang ada hanyalah wujud laku spiritual dalam tataran batiniahnya serta laku ritual dalam tataran lahiriahnya.

Laku ritual merupakan simbol dari laku spiritual. Adapun contoh dari laku ritual ini, di antaranya mantra dan sesaji/sesajen. Namun sayangnya, banyak kalangan yang tidak memahami asal usul dan makna dari semua itu, akhirnya dengan begitu saja memberikan asumsi bahwa mantra sama halnya dengan doa.

Sementara, sesaji dipersepsikan sama maknanya dengan ritual menyembah Tuhan. Asumsi dan persepsi ini salah besar.

Lalu, bagaimanakah yang benar?

MANTRA JAWA

Menurut definisi umum, mantra Jawa diambil dari kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu “mantra” atau “manir”, yang merujuk pada kata-kata dalam kitab suci umat Hindu, Veda. Dalam masyarakat Melayu, mantra atau juga dikenal sebagai jampi, serapah, atau seru. Mantra adalah sejenis pengucapan yang terdengar seperti puisi yang mengandung unsur sihir dan ditujukan untuk memenuhi keinginan penuturnya.

Sehingga, pengertian mantra Jawa antara lain merupakan ayat yang dibaca untuk melakukan sihir. Yaitu melakukan sesuatu secara kebatinan, seperti menundukkan musuh, melemahkan musuh, atau memikat wanita.

Namun, pengertian ini berbeda dengan pengertian mantra dalam kejawen. Maka, akibat dari pengertian ini, muncullah kesalahan memaknai mantra secara simpang siur, dimana mantra dianggap sebagai hal yang selalu berhubungan dengan setan/makhluk halus dan bersifat negatif/hitam.

Misalnya, lafal komat kamit yang diucapkan seorang dukun santet itu bukanlah sejenis mantra, namun password atau kata kunci, atau kode isyarat berupa kata-kata untuk memanggil sekutunya yakni sejenis jin, setan, atau makhluk gaib sebagai pesuruh agar mencelakai korbannya.

Perlu dipahami, mantra berbeda dengan sihir. Mantra juga tidak sama maknanya dengan doa. Doa merupakan permohonan kepada Tuhan. Sementara, mantra itu ibarat upaya untuk menarik picu senapan yang bernama daya hidup.
Daya hidup manusia merupakan pemberian Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian sesaji, laku sesirih (mencegah), dan laku semedi memiliki makna tata cara memberdayakan daya hidup agar dapat menjalankan kehidupan yang benar, baik, dan tepat, yakni menjalankan hidup dengan mengikuti kaidah memayu hayuning bawana.

Daya hidup manusia tersebut biasanya disebut dengan aura magis. Setiap manusia memiliki berbagai macam aura magis sejak dilahirkan. Dengan begitu lahirlah ilmu Jawa yang bertujuan untuk menandai perbedaan aura magis seseorang berdasarkan weton dan wuku.

Kesimpulan, mantra merupakan sarana untuk mengakses daya hidup (Raga), sama juga dengan sugesti atau afirmasi. Oleh karena itu penggunaan mantra tidak menyalahi aturan agama yang anda anut.

SESAJI/ SAJEN

Sesaji atau sajen, jika dipandang dari perspektif agama, terkadang dianggap berkonotasi negatif, yakni sebagai biang kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Namun, benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini?

Alangkah baiknya janganlah terjebak oleh keterbatasan akal budi dan nafsu golek menange dhewe (mencari menangnya sendiri) dan golek benere dhewe (mencari benarnya sendiri). Dalam Ilmu kejawen, maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi melalui jalan spiritual yang kreatif. Hal itu ditujukan untuk menyelaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia dengan seluruh ciptaan Tuhan. Khususnya kekuatan alam dan makhluk gaib.

Dengan kata lain, sesaji merupakan penyeimbangan manusia dalam hal gaib terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Penyeimbangan diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri paling mulia di antara makhluk lainnya. Sebab, kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal budi dalam diri sendiri. Bila akal budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi bangkrut, bahkan bisa lebih hina dibandingkan dengan binatang paling hina.

Kesimpulan: Sesaji bisa dianggap syirik jika anda tujukan untuk menyembah selain Allah, dan jika anda gunakan hanya untuk pelengkap penghormatan sesama mahluk silahkan saja.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com