Menulis Ditengah Realita : Memetik Optimisme di Tengah Ujian Haji 2025

 

Oleh: Firman Arifin
Dosen PENS, Jamaah Haji 2025, Kloter 92 Nurul Hayat

Tulisan ini tidak lahir dari sekadar pengalaman, tapi dari keberanian melihat cahaya di balik kekacauan.

Tahun ini, Haji 2025 bukanlah perjalanan ibadah yang mulus. Banyak dari kami menghadapi sistem baru, jadwal yang kacau, syarikah yang tumpang tindih, bahkan kehilangan jatah tenda di Arafah. Jika haji adalah perjalanan batin, maka tahun ini ia adalah uji kelulusan tingkat akhir, dengan soal-soal kehidupan yang jawabannya bukan di mulut, tapi di hati.

Saya menyaksikan langsung kawan-kawan jamaah menangis karena kelelahan menunggu bis yang tak kunjung datang. Ada yang terpisah dari rombongan, ada yang berjalan dengan kaki palsu, tertatih menaklukkan jumrah, dan ada yang hanya bisa berdoa di pinggir tenda, tak sanggup lagi bergerak.

Namun… justru dari situlah saya mulai menulis.

*Realita Tidak Bisa Dipoles, Tapi Bisa Ditanam Hikmah*

Sebagai penulis, saya tak ingin jadi juru bicara basa-basi yang memoles kenyataan. Tapi juga bukan tukang kritik yang cuma menyebar pesimisme. Maka saya memilih satu posisi, penanam harapan di ladang kenyataan.

Saya tahu, jamaah kecewa. Tapi bukankah di balik kecewa itu ada pelajaran tentang sabar?
Saya tahu, sistem berantakan. Tapi bukankah itu melatih kita menguatkan koordinasi dan komunikasi antarsesama jamaah?

Seperti rangkaian listrik paralel, saat satu sumber lumpuh, yang lain bisa menopang. Maka saya melihat para jamaah saling bantu, saling antar makanan, saling doakan. Haji 2025 ini, jika dilihat dengan lensa kebersamaan, justru menyala terang!

*Ketika Tenda dan Hotel Jadi Rebutan: Ujian Moral Lebih Berat dari Fisik*

Salah satu momen paling menyentuh hati sekaligus menyedihkan adalah ketika saya mendengar dan mengalami sendiri, ada tenda kami yang diserobot rombongan lain. Bahkan ada hotel yang bukan haknya, tapi diambil alih oleh jamaah yang “merasa berhak” karena lelah atau kecewa pada pengaturan.

Akibatnya, ada jamaah yang akhirnya terlempar, tidur di tempat seadanya. Saya tertegun. Bukan hanya karena sistemnya kacau, tapi karena kita diuji pada titik terdalam. Apakah kita akan menyelamatkan diri dengan menyakiti yang lain?

Saat itu, saya bertanya pada diri saya.
Apakah kita mau melakukan hal yang sama?

Apakah kita mau menempati tenda orang lain hanya karena tenda kita tidak ada?

Itu seperti sandal kita hilang di masjid, lalu kita dengan santainya mengambil sandal orang lain. Mungkin kita merasa “wajar”, toh kita juga kehilangan. Tapi di situlah batasnya. Antara yang hanya marah karena haknya hilang, atau berubah menjadi zalim karena mengambil hak orang lain.

*Menulis untuk Membaca Hikmah Tersembunyi*

Dalam dunia teknik, kami mengenal istilah “troubleshooting”. Ketika sistem error, bukan berarti sistem itu gagal. Bisa jadi, hanya satu komponen yang longgar atau tidak cocok. Maka, solusi bukan membuang semuanya, tapi memahami titik lemahnya, lalu menguatkan kembali.

Menulis buat saya adalah proses troubleshooting ruhani. Saya menulis bukan karena semuanya baik-baik saja. Tapi karena saya ingin mengurai simpul masalah, mencari logika langit di balik keruwetan bumi.

Saya menulis bukan untuk mengaburkan fakta, tapi menyulam makna dari reruntuhan ekspektasi.

*Optimisme itu Bukan Buta, Tapi Cerdas Memilih Sudut Pandang*

Saya dan istri:
Sekloter, sesyarikah, sehotel
Sering bareng, sesakali terpisah
Bahkan kamar berdampingan di nomor: 1026 dan 1028.

Kami bersama dalam susah dan senang. Tapi saat diuji, kami saling mengingatkan, “Kita bukan sedang berlibur. Kita sedang dipanggil Allah untuk diuji dan disembuhkan.”

Ketika Arafah tidak sesuai harapan, saya bilang ke hati saya, “Mungkin inilah Arafah sejati. Bukan kemewahan, tapi kehampaan yang menelanjangi ego.”

Ketika jumrah penuh debu dan peluh, saya bilang ke kaki saya, “Ayo jalan terus. Ini bukan sekadar batu, ini simbol perlawanan terhadap bisikan setan.”

*Haji 2025, Bukan Gagal, Tapi Sukses Menyadarkan*

Jadi, kalau ada yang bertanya, “Bagaimana Haji 2025 menurutmu?”
Saya akan jawab: “Ini bukan haji yang sempurna, tapi inilah haji yang menyempurnakan kesadaran.”

Bukan karena semua fasilitas terpenuhi, tapi karena semua keluh disalurkan jadi doa.
Bukan karena semua tenda nyaman, tapi karena semua hati dipaksa kembali pada Tuhan.

Menulis tentang ini adalah cara saya menjaga agar haji ini tak sekadar jadi memori foto, tapi jadi energi perubahan.
Karena saya percaya, ujian terbesar bukan saat di tenda Mina, tapi ketika pulang dan membawa makna dari sana.

Dan tentu saja, kita tidak boleh berhenti di doa dan tulisan. Pemerintah melalui Kementerian Agama, dan seluruh KBIH, perlu duduk bersama. Mencari solusi terbaik untuk tahun-tahun berikutnya. Karena error bukan untuk disimpan, tapi untuk diselesaikan. Bukan untuk ditutupi, tapi untuk ditransformasi menjadi perbaikan sistemik.

Dengan harapan dan ikhtiar bersama, haji bukan hanya menjadi ibadah, tapi momentum perbaikan umat.

#Haji2025
#HajiBahagia
#HajiArafahMahsyar
#RefleksiArafah
#ArafahTitikNol
#WukufDenganHati
#PerjalananMenujuAllah