BERUNTUNG MENJADI ORANG BIASA

Dr. Sukidin, MPd.9

Malam ini aku benar-benar gak merasa mengantuk sehingga juga tidak bisa tidur. Dalam suasana yang sepi, bagaikan menelusuri lorong waktu kehidupan.

Ternyata rute perjalanan hidup ini sudah cukup panjang. Memori tentang masa-masa sekolah sampai hijrah ke kota semuanya seolah terpampang dengan jelas.

Seperti anak desa pada umumnya, ketika kecil juga merasa punya hak untuk memiliki cita-cita. Bukan untuk melawan taqdir, tapi kata kebanyakan orang untuk merubah nasib, atau kalau dalam istilah sosiologi disebut melakukan mobilitas sosial. Kami sadar bahwa masa depan itu harus diperjuangkan. Singkat cerita kami sudah terseleksi menjadi orang kota, tapi gaya tetap ndeso.

Sumber kehidupan semuanya difasilitasi negara, karena kami sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kami memang cukup aktif berdakwah dalam pengembangan ilmu, namun orientasi karir menjadi sangat dominan mewarnai sistem kehidupan.

Ukuran sukses yang menjadi parameternya adalah berdasar pangkat, jabatan dan bahkan berbasis materi. Ornamen-ornamen simbolik seperti rumah besar, kendaraan, industry kos-kosan, investasi menjadi obrolan gayeng yang menyenangkan.

Kesibukan yang terus mendera, fokus kegiatan kehidupan dunia akhirnya terus bergumul pada mengejar target, mencapai prestasi dan keunggulan-keunggulan yang berbasis keduniawian.

Pada titik kulminasi ini kemudian ada refleksi dan autokritik bahwa ada ruang rohani yang tercecer. Akhirnya kita perlu berpikir ulang bahwa roh agama merupakan jawaban atas problem rohani yang menimpa kita. Sudah saatnya kita kembali pada kehidupan yang diisi dengan spirit agama. Agama kita jadikan pondasi, pandangan hidup dan referensi bertindak dalam kehidupan sehari-hari.

Beri ijin kami memotret kehidupan salah satu teman yang hidup di pedesaan. Dia tidak pernah memperoleh fasilitas negara. Untuk urusan ekonomi, dia berjuang dengan membangun usaha bersama istri dan anak-anaknya. Dalam beragama, dia juga berjuang dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Mengasuh anak yatim dengan keringat dan jerih payahnya.

Mengelola TPQ dan merangkap sebagai marbot masjid, cek sound pun dia lakukan. Sebagai manusia dia terkadang mengeluh, tapi itu wajar mungkin karena kelelahan berjuang demi syiar Islam. Kisah tentang dia ini barangkali memang sederhana.

Namun bila dikaji lebih dalam, ternyata memiliki spirit beragama yang luar biasa dan layak disuritauladani.

Melalui tulisan sederhana ini, barangkali diperlukan menggeser orientasi kehidupan tidak semata bekerja untuk mengoleksi materi tapi perlu dihadirkan orientasi penyeimbang yaitu aspek agama. Disamping itu mental kemandirian dan tidak mengandalkan fasilitas juga perlu dimiliki oleh masing-masing individu. Sebagai generasi penerus pasca sahabat nabi, kita harus memiliki motivasi syiar dan berdakwah untuk terus memajukan panji-panji Islam.

Barangkali masih relevan tentang pesan yang sangat populer dari John F. Kennedy yang pernah mengatakan, jangan tanyakan apa yang diberikan negara padamu tapi tanyakanlah apa yang telah anda berikan pada negaramu. Hal ini juga sering digelorakan oleh Bung Karno dalam upaya mengobarkan semangat juang mengisi kemerdekaan. Berjuang untuk negara dan agama memiliki nilai yang sangat mulia.

Buat dia, temanku yang di desa itu. Sudahlah jangan berharap apa-apa, teruslah mengukir dengan perilaku baik dan terus berdakwah sesuai kemampuanmu. Beruntunglah dia menjadi orang biasa. Namun amal baiknya akan dikenang sepanjang masa.

*Penulis adalah Dosen Magister Prodi Pendidikan IPS FKIP Universitas Jember