Fenomena Pengemis dari Indramayu dalam Pandangan Hukum : Antara Realitas Sosial dan Ketidaktegasan Penegakan Hukum

 

Oleh: Dudung Badrun, SH., MH. ( Advokat dan Pemerhati Sosial, Tinggal di Indramayu).

Fenomena pengemis yang berasal dari Indramayu semakin menjadi sorotan, tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga telah menembus batas wilayah hingga ke kota-kota besar seperti Jakarta dan Cirebon. Ironisnya, praktik ini bukan lagi sekadar bentuk keprihatinan sosial, tetapi telah berkembang menjadi sebuah “pekerjaan” yang terorganisir, bahkan menggiurkan dari sisi ekonomi.

Ketika kami bersantap di sebuah rumah makan Padang di samping Kantor Disdukcapil, sebelah timur Bundaran Kijang, atau saat menunggu fotokopi di depan Universitas Wiralodra (UNWIR), tak sampai satu jam, lebih dari tiga orang datang meminta-minta. Mereka berpakaian bersih, tidak tampak seperti orang yang benar-benar kekurangan secara fisik. Anehnya, beberapa saat kemudian, saat menumpang elef jurusan Cirebon, kami menjumpai kembali orang-orang tersebut, kini tengah dalam perjalanan pulang ke desanya. Ada yang turun di Prapatan Sukaurip, ada pula di Simpang Tiga Toang Jendil (Tinumpuk).

Mengemis: Dari Praktik Tradisional Menjadi Mata Pencaharian

Mengemis kini bukan sekadar ekspresi keterdesakan ekonomi, melainkan telah berubah menjadi sebuah pola hidup dan mata pencaharian. Beberapa laporan menyebutkan bahwa dalam satu hari, pengemis bisa memperoleh Rp150.000 bahkan lebih, sedangkan buruh tani yang harus bekerja di bawah terik matahari hanya mendapatkan Rp100.000. Ketimpangan ini membentuk pola pikir pragmatis dan malas bekerja di kalangan sebagian masyarakat, terutama generasi muda.

Lebih parahnya lagi, aktivitas ini tak lagi dilakukan secara individu, melainkan dikoordinir oleh pihak tertentu. Di Cakung, Jakarta Timur, setiap pagi sekitar pukul 06.00 WIB, para pengemis asal Indramayu di-drop di titik-titik strategis seperti lampu merah, dan dijemput kembali sore harinya. Fenomena ini menunjukkan adanya sistem dan manajemen dalam praktik mengemis, yang bahkan melibatkan “bos pengemis” yang dikenal masyarakat berasal dari sebuah desa antara Muntur dan Manggungan. Kondisi rumahnya? Tak kalah megah dari rumah anggota DPR RI.

Landasan Hukum: Ada Tapi Tak Berlaku

Padahal, jika merujuk pada hukum positif, Pasal 504 dan 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan tegas melarang tindakan mengemis di tempat umum. Namun, ketentuan hukum ini seolah tak punya nyawa karena tidak menjadi prioritas penegakan oleh Aparat Penegak Hukum (APH), Satpol PP, maupun pemerintah desa (Pemdes).

Pasal 504 KUHP menyebutkan bahwa:

> “Barang siapa meminta-minta di jalanan atau di tempat umum lainnya, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam minggu.”

Sementara Pasal 505 ayat (1) berbunyi:

> “Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.”

Sayangnya, penegakan terhadap pasal ini nyaris tidak terdengar. Masyarakat dibiarkan terbiasa, pemerintah pun terkesan membiarkan. Akibatnya, tindakan mengemis yang seharusnya menjadi persoalan sosial dan hukum berubah menjadi aktivitas ekonomi yang sah secara sosial.

Refleksi dan Harapan

Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, bukan mustahil dalam beberapa tahun ke depan, mengemis akan benar-benar menjadi “profesi” yang diakui secara diam-diam oleh masyarakat. Ini berbahaya. Negara akan gagal dalam menciptakan masyarakat yang mandiri dan produktif. Pemerintah daerah, khususnya Kabupaten Indramayu, perlu merespons cepat fenomena ini, tidak hanya dengan pendekatan hukum, tetapi juga sosial, edukatif, dan ekonomi.

Rehabilitasi sosial, pelatihan keterampilan, serta pemberdayaan ekonomi di desa-desa asal pengemis perlu digalakkan. Bersamaan dengan itu, ketegasan aparat dalam menegakkan aturan menjadi keharusan. Mengemis bukan hanya soal belas kasihan, tetapi juga menyangkut harga diri bangsa.

Indramayu. 19/5/2025