Dari Kajian Kitab Hujjah Ahlussunah Wal Jamaah Yang Digelar Remaja Masjid Al-Musthofa Bakung Udanawu Blitar bersama Ustadz Imam Makrus ( Sambungan Bab 5 Penentuan Bulan Ramadan dan Bulan Syawal-).

 

Oleh: H.Imam Kusnin Ahmad SH.

Ustadz Imam Makrus melanjutkan. ” Mbah KH. Ali Maksum, Penulis Kitab Hujjah ASWAJA) mengatakan menukil sabda Nabi SAW :

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
“Dan jika kalian terhalang mendung” ujar Ustadz Imam Makrus menyitir dawuhnya KH Ali Maksum.

Kiai Ali Maksum dawuh, “Kami menemukan Madzhab Hambali sangat berhati-hati, mereka berpendapat bahwa ketika Bulan terhalangi di saat tenggelam pada hari ke-29 Bulan Sya’ban, maka tidaklah wajib menyempurnakan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari, wajib menginapkan niat, dan berpuasa pada hari berikutnya pada malam itu (hari setelah 29 Sya’ban). Sama halnya di dalam apa yang terjadi di Bulan Sya’ban atau di Bulan Ramadan, meniatkannya di Bulan Ramadhan. Namun jika sudah jelas di pertengahan Bulan Ramadan bahwa hari itu (hari setelah tanggal 29 Sya’ban, yang mana tidak wajib menyempurnakan 30 sya’ban) adalah masih termasuk Bulan Sya’ban maka tidak wajib menyempurnakan Bulan Ramadhan (menjadi 30 hari). Pendapat mereka ini dengan dinisbatkannya pada (penetapan) awal Bulan Ramadan,” ungkapnya.

“Adapun dengan dinisbatkannya pada akhir Bulan Ramadan maka sesungguhnya mereka seperti Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi, dan Madzhab Maliki di dalam pendapatnya dengan wajibnya menyempurnakan Bulan Ramadhan menjadi 30 hari ketika mereka terhalangi mendung. Semua itu merupakan amaliyah berdasarkan kehati-hatian dalam beribadah,” jelas Kiai Ali Maksum.

Seperti inilah, lanjut Ustadz Imam Makrus menyiitir dawuhnya Mbah KH Ali Maksum. ” Para madzhab empat bersepakat pada rukyatul hilal (melihat bulan) atau menyempurnakan (menjadi 30 hari) saja, maka tidak ada metode lain bagi mereka (madzhab empat) selain itu (selain rukyatul hilal atau istikmal), dan itulah praktek atas hadist yang telah disebutkan.

Maka tidak ada ibroh atas pendapat para ahli perbintangan alias ahli hisab bagi mereka (para madzhab), tidaklah wajib berpuasa bagi mereka (para madzhab) atas diri mereka [dengan metode hisab mereka] : [dan juga tidak] kepada orang yang mempercayai mereka [maksudnya pendapat mereka]. Kecuali, Imam Syafi’i dan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa pendapat ahli perbintangan boleh diambil ibroh di dalam hak dirinya dan hak orang yang membenarkannya (boleh berpuasa dengan metode hisab khusus baginya dan orang yang membenarkannya) dan tidak wajib bagi (berpuasa atau berbuka idul fitri) bagi orang-orang umum berdasarkan pendapat yang lebih unggul,” terang Mbah Ali Maksum.

“Para ulama’ yang menolak (metode hisab) menjadikan hujjah (dasar) bahwa sesungguhnya syariat telah menggantungkan puasa pada fenomena alam yang tetap, tidak berubah selamanya, yaitu rukyatul hilal [maksudnya rembulan di Bulan Ramadhan] atau menyempurnakan bilangan menjadi 30 hari [maksudnya dari melihat rembulan di Bulan Sya’ban],” terang Mbah Ali Maksum dalam Kitab Hujjah Aswaja, yang disitir ustadz Makrus.

Lalu KH. Ali Maksum, dawuh : Dari sahabat Ibnu Umar ra berkata :

تَرَائَ النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ، فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ – رواه أبو داود وصححه ابن حبان والحاكم
“Orang-orang melihat bulan kemudian aku mengabarkannya kepada Nabi SAW bahwa sesungguhnya aku melihat bulan, kemudian Beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang (untuk berpuasa) sebab puasa beliau”. [HR. Abu Dawud, dinilai Shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Hakim].

Dan dari sahabat Ibnu Abbas RA :

اِنَّ اَعْرَبِيًّا جَاءَ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ اِنِّيْ رَاَيْتُ الْهِلَالَ، فَقَالَ اَتَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ، قَالَ نَعَمْ، قَالَ اَتَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ، قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَاَذِّنْ فِي النَّاسِ يَابِلَالُ اَنْ يَصُوْمُوْا غَدًا – رواه الخمسة وصححه ابن خزيمة وابن حبان

“Sesungguhnya orang A’robi datang kepada Nabi SAW kemudian dia berkata, “Sesungguhnya aku telah melihat bulan”. Kemudian Beliau bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Alah ?”. Dia menjawab, “Iya”. Beliau bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah ?”. Dia menjawab, “Iya”. Beliau berkata, “Maka izinkanlah orang-orang wahai Bilal, untuk berpuasa besok””. [HR. Imam Lima (2), dinilai shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah dan Imam Hakim],” ungkap Ustadz Makrus.

Catatan (2) :
Imam Khomsah atau Imam Lima adalah Imam Ahmad bin Hambal (Imam Hambali), Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibnu Majah, dan Imam Turmudzi.

Kemudian, KH. Ali Maksum) berkata .” Dari sini kita bisa memahami bahwa ibroh (dalam penetapan awal Bulan Ramadan dan awal Bulan Syawal) adalah dengan rukyatul hilal (melihat bulan), tidak dengan wujudnya bulan dan juga tidak dengan ilmu tentang wujudnya bulan dari metode hisab,” tegas Mbah KH Ali Maksum.

“Dan hadist-hadist ini menafsiri makna firman-Nya yang Maha Luhur :

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُـمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Dan barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah : 185).

Artinya barang siapa di antara kalian menyaksikan masuknya bulan (Ramadan dan Syawal) dengan melihat bulan, maka wajib bagi setiap orang yang melihatnya atau penglihatan orang lain telah menetap di sisinya (mendengar orang lain telah melihat bulan) untuk berpuasa. [Merujuklah pada Kitab Tasir Jalalain dan Kitab Hasyiyatus Showy],” tambah KH.Ali Maksum.

Dan ini adalah beberapa hujjah (dasar) yang bisa menguatkan pendapat bahwa ibroh di dalam penetapan 2 bulan, yaitu Bulan Ramadan dan Bulan Syawal adalah dengan rukyatul hilal (melihat bulan) tidak dengan wujudnya yang mana kadang diketahui dari metode hisab. Atau, menyempurnakan Bulan Sya’ban untuk berpuasa atau (menyempurnakan) Bulan Ramadan untuk hari raya menjadi 30 hari.

Adapun pendapat ahli perbintangan, meskipun itu dibangun dari kaidah-kaidah yang rumit maka kami melihat mereka saling berselisih pendapat, di dalam banyak kasus. Kemudian, sesungguhnya hadist yang telah disebutkan bisa dipahami tentang tidak adanya ibroh metode hisab, karena metode hisab membatasi wilayah-wiayah di dalam rukyatul hilal dan istikmal, dan metode hisab kadang-kadang bisa merusak istikmal.

Dan menetapkan Bulan Syawal juga seperti apa yang telah ditetapkan di Bulan Ramadan menurut kesepakatan di antara para madzhab empat dan lainnya yang bukan termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. “Kemudian, (saya akan memaparkan) kepadamu saat ini tentang perkataan Sayyid Ibnul Qosim Al-Khou’i, beliau berasal dari ulama’ Syi’ah Imamiyah,” katanya.

Beliau berkata :

وَلَا عِبْرَةَ بِغَيْرِ مَا ذَكَرْنَا (اَىْ رُؤْيَةِ هِلَالِ رَمَضَانَ اَوْ مُضِيِّ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا مِنْ شَعْبَانَ) مِنْ قَوْلِ الْمُنَجِّمِ وَنَحْوِ ذٰلِكَ
“Tidak ada ibroh dengan selain apa yang telah kami sebutkan [maksudnya, melihat rembulan di Bulan Ramadhan atau terlewatinya 30 hari Bulan Sya’ban] dari pendapat ahli perbintangan dan sebagainya”

Sampai beliau berkata :

لَابُدَّ فِيْ ثُبُوْتِ هِلَالِ شَوَّالٍ مِنْ تَحْقِيْقِ اَحَدِ الْاُمُوْرِ الْمُقَدَّمَةِ(يَعْنِيْ رَؤْيَةَ الْهِلَالِ وَشَهَادَةَ عَدْلَيْنِ اَوْ اِكْمَالِ الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ) فَلَوْ لَمْ يَثْبُتْ شَيْءٌ مِنْهَا لَمْ يَجُزِ الْاِفْطَارُ
“Wajib di dalam penetapan rembulan di Bulan Syawal dari realisasi salah satu dua perkara yang telah dijelaskan” [maksudnya melihat bulan dan penyaksian 2 orang adil atau menyempurnakan bilangan 30 hari]. maka jika tidak ditetapkan sesuatu dariya maka tidak diperbolehkan berbuka (idul fitri).”. [Kitab Al-Masail Al-Mutanajjiyah, oleh Imam AL-Khou’i cetakan kedua, percetakan Al-Adab di Najaf, tahun 1382 H, hal. 149}.

Ketika mereka (penduduk Badui) sudah menghadiri salat Id dan keluar dari Kota (tempat yang sama untuk melaksanakan) salat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari maka sesungguhnya gugurlah salat Jum’at bagi mereka (penduduk Badui) dan boleh bagi mereka meninggalkan salat Jum’at dan menggantinya dengan salat Dhuhur. Sedangkan Madzhab Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu tidak menggugurkan salat Jum’at dari sebagian orang, maka tetaplah wajib melaksanakan salat Jum’at baginya secara mutlaq. (3). IH (intaha/selesai).

Catatan (3) :
Berbeda dengan keadaan zaman dulu bahwa masjid satu negara hanya ada satu tempat, sehingga orang-orang Badui merasa berat mendatangi masjid-masjid kali untuk salat Id dan salat Jum’at karena terkendala jarak. Namun, saat ini bahkan di setiap daerah memiliki masjid tersendiri, jadi salat Jum’at tetaplah wajib hukumnya bagi laki-laki islam, baligh, berakal, dan mukim.

[Tempat di mana dilaksanakan salat Id di dalamnya].
Melaksanakan salat Id di dalam masjid lebih utama jika masjid itu luas, karena masjid adalah tempat yang lebih utama, lebih mulia, lebih bersih dari selainnya, dapat terlasanakannya dilaksanakan salat 2 rokaat Takhiyatul Masjid, dan beri’tikaf. Dan karena sesungguhnya para imam melaksanakan salat Id di Kota Mekkah di dalam masjid, wallahu a’lam.*( Bersambung)*