Mochammad Rifai*
Konsekuensi yang tidak mungkin dihindari dari sebuah polemik antara pihak yang pro dan kontra adalah menciptaan gab atau minimalnya ada kondisi tidak nyaman di antara keduanya. Membawa kebenaran untuk tujuan melawan kebathilan itu pahit. Namun demikian Baginda Nabi Muhammad SAW berkenan memerintahkan “sampaikan kebenaran itu walaupun pahit”. Kebenaran dan kejujuran harus disampaikan dengan cara-cara dan metode yang pas agar bisa meminimalkan timbulnya konflik pisik atau kekerasan. Perjalanan sejarah perjuangan Baginda Nabi, segala bentuk kepahitan mulai dari cacian, fitnah sampai percobaan pembunuhan telah dialami. Jadi siapa pun yang membawa sebuah kebenaran kemudian mendapatkan kepahitan itu sebuah keniscayaan sebagai ujiannya.
Dewasa ini dengan viralnya polemik nasab klan Baalawi yang mengisbat para Habaib (sebutan jamak Habib) sebagai dzuriyah Nabi Muhammad SAW dari nenek moyangnya di Yaman. Ternyata hasil penelitian Kiai Imaduddin Utsman Al Bantanie melalui kajian ilmiahnya menyatakan bahwa tidak terbukti Klan Baalawi yang biasa dipanggil habib itu tidak menunjukkan adanya keturunan (cucu) Nabi Muhammad SAW. Artinya keberadaannya yang mengklaim diri mereka sebagai dzuriyah Nabi itu dipastikan oleh penelitian Kiai Imad (panggilan Kiai Imaduddin) tidak tersabung ke Nabi. Ada empat dasar atas simpulan tesisnya itu dari kajian sejarah, filologi, ilmu nasab (kitab-kitab nasab) dan tes DNA menguatkan hipotesisnya atas keraguan bahwa Habaib dari Klan Baalawi itu bukan dzuriyah Nabi, diterima. Artinya tesis menyimpulkan dengan siqnifikan bahwa Habaib dari Klan Baalawi tidak terhubung dengan genetika Nabi alias palsu. Bahkan kata Kiai Imad, jangankan sebagai dzuriyah Nabi, ras Arab saja kemungkinan dari uji DNA hanya 5% saja.
Jagad dunia maya ramai banget. Di luar kontrol yang berkepentingan, tidak bisa dibendung. Antara pujian, dukungan dengan segala ucapnya mulai dari yang halus, santun sampai kata-kata kasar menjadi ‘gebyah uyah’ ke siapapun yang memiliki wajah dan tampilan ke-Arab-an menjadi sasaran persikusi dan buli. Tidak hanya itu, para pendukungnya pun menjadi sasaran persikusi dan buli. Kekuatan ilmu benar-benar bisa menciptakan suasana kejiwaan yang dahsyat. Yang selama ini wajar-wajar saja dalam interaksi sosial sontak mendadak berubah menjadi saling berhadap-hadapan. Banyak tokoh harus kebakaran jenggot saat berstatemen di antara pilihan keduanya. Hukum sosial di medsos, namanya netizen begitu liberalnya bahkan anarkhis dengan hujatan-hujatan kebencian. Video pendek, tiktok, meme dan sejenisnya itu jumlahnya ratusan dan tiap hari selalu ada yang baru. Harigini jangan coba-coba melawan arus teknologi maya (digital). Netizen sangat kejam.
Sekali lagi bukanlah tujuan dari penelitian Kiai Imad, kecuali membawa kebenaran ke publik dan beliau siap untuk diuji oleh para pihak tentu dengan cara-cara sesuai dengan SOP karya ilmiah. Saya yakin pihak Kiai Imad tidak ada maksud dari tulisan ilmiah ini mengajak membenci siapa pun apalagi bermaksud memecah belah umat, sama sekali bukan tujuan. Memang di antara fungsi ilmu itu untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Itu sebab ilmu membutuhkan objektivitas, kejujuran dan sikap sportif. Ekstremnya ilmu itu tidak beragama dan tidak berideologi tetapi bagian dari sifat-sifat keagamaan menjunjung kejujuran dan menjunjung nilai kemanusiaan.
Jadi kalau ada yang merasa terdzolimi atau dirugikan dari polemik ini atau ada pihak yang berpeluang untuk mengungkapkan kejengkelan, dll. itu bagian dari efek domino atas kasus ini. Kalau mau jujur, semua sumber buruk dari para pihak sebut saja netizen sebenarnya berasal dari oknum-oknum habaib yang dinilai bertindak yang kurang bisa diterima; misalnya otak-atik sejarah nasional, palsu memalsu makam, ucapan-ucapan nggedabrus, juga kerap bernada merendahkan pemimpin bangsa, merendahkan martabat masyarakat muslim Nusantara, dst. Jelasnya itu sebagai bahan koreksi internal mereka.
Tidak ada alasan karena tidak setuju dengan tesisnya Kiai Imad, kemudian menyerang Kiai Imad dengan berbagai narasi-narasi negatif; sebutan-sebutan negatif seperti pembohong, dajjal, pemecah belah umat, mengacak-acak persatuan umat Islam, dst. Demikian juga sebaliknya, para pendukung hasil penelitian Kiai Imad, juga tidak ringan lidah dengan ujaran-ujaran yang provokatif dan tidak edukatif. Niatan dari Kiai Imad dan kawan-kawan yang seide membawa kebenaran penelitian tentang nasab Klan Baalawi, yang paling substansial adalah menegakkan kebenaran karena menyangkut nama besar Rasulullah Muhammad dan keluarganya. Nabi Muhammad adalah nabinya orang muslim sedunia, tidak benar kalau hanya seolah hanya pantas dimiliki etnis Arab dan dzuriyah-dzuriyahnya. Maka semua umat Islam di manapun berhak dan berkewajiban untuk membela, melindungi dari siapa pun yang berpotensi bisa merusak kesucian beliau. Semua yang dilakukan oleh Kiai Imad dan pendukungnya tidak lain sebagai wujud kecintaan kepada junjungan bersama Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Saran. Sikap bijak harus diambil oleh klan Baalawi atas hasil penelitian ilmiah Kiai Imad itu. Pertama bersedia menerima hasil penelitian ilmiah Kiai Imad dalam pernyataan resmi lewat organisasi yang menaungi yaitu Rabithah Alawiyah. Kedua mengubah organisasi eksklusif Rabithah Alawiyah menjadi ormas biasa. Ketiga dengan ikhlas tidak menggunakan gelar habib sebagai identitas dzuriyah Nabi, kecuali sebagai sebutan khas etnis keturunan Yaman. Keempat mohon maaf kepada bangsa Nusantara atas tindakan beberapa oknum anggota Rabhitah Alawiyah yang bertentangan dengan azas nilai kesejarahan dan budaya Nusantara. Kelima tetap menjalankan aktivitas sebagai warga negara sah republik ini, melakukan siar-siar Islam di Nusantara dengan caranya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai lokal-nasional yang berlaku.
Saya yakin sikap sportif dzuriyah Baalawi tidak akan runtuh jika dengan sikap gentle diambil. Tokoh-tokoh dari Bani Hadrami yang menyandang gelar ustad, ulama, yang tersebar di Tanah Air. Mereka pemuka-pemuka agama yang memiliki kompetensi keilmuan yang mumpuni, pastilah masih dihormati oleh masyarakat.
Mochammad Rifai, Pengamat sosial, politik dan pendidikan. Tinggal di Genteng, Banyuwangi.