https://menaramadinah.com/92469/judul-tulisan-bunda-rini-yang-mengharukan-dan-inspiratif.html

 

Oleh : H. Sujaya, S. Pd. Gr.
( Guru SMP SMPN 3 Sindang Indramayu)

Akhir semester ganjil baru saja selesai, para siswa menerima Buku Raport yang merupakan laporan nilai hasil belajarnya selama belajar di sekolah. Banyak kita temui guru, khususnya wali kelas mendapatkan tanda sayang (hadiah) dari siswa atau orang tua /wali siswa.

Timbul permasalahan, bagaimananya hukum guru menerima tanda sayang (hadiah) dari siswa atau orang tua siswa/wali siswa. Baik dipandang secara perspektif etika profesi maupun hukum agama.

Sebenarnya memberikan tanda sayang (hadiah) pada guru sebenarnya adalah hal yang lumrah dan biasa dalam tradisi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, ada beberapa pihak yang menganggap hal ini terlihat kurang etis, entah dari pihak orang tua /wali ataupun dari oknum guru.

Seorang guru meluangkan waktu yang cukup banyak untuk murid-muridnya. Layaknya orang tua di rumah, guru melanjutkan peran sebagai pendidik yang mengarahkan murid di sekolah. Tidak hanya materi pelajaran berdasarkan buku-buku panduan, melainkan juga pelajaran hidup, karakter, mental, dan spiritual murid dibimbing di sekolah.

Oleh karena itu, terjalin ikatan batin yang kuat antara guru dan murid. Seorang murid yang telah menyelesaikan sekolahnya, akan tetap mengingat gurunya dengan baik. Tidak jarang, mereka akan mengirimkan hadiah sebagai tanda sayang (hadiah) untuk gurunya.

Hadiah-hadiah ini biasanya akan diberikan murid, seperti saat kenaikan kelas, saat ulang tahun guru, hari guru atau saat hari raya.

Pemberian hadiah terhadap guru semakin lama menjadi semakin populer, begitu juga saat sekarang ini. Tidak hanya sekolah-sekolah swasta atau sekolah favorit yang melakukannya. Bahkan, sekolah negeri di pelosok negeri pun berinisiatif memberikan hadiah sebagai tanda sayang (hadiah) pada gurunya. Ada yang memberi hadiah atas nama pribadi dan ada yang memberi hadiah secara kelompok ataupun patungan.

Hukum Guru Menerima Tanda Kasih (Hadiah)

Sebenarnya bolehkah guru menerima tanda kasih (hadiah) dari siswa?

A.Perspektif Etika Guru

Menerima hadiah sebenarnya boleh saja, asalkan tidak berlebihan dan tidak memberatkan murid. Pemberian yang berlebihan juga akan menimbulkan kecanggungan bagi guru yang menerima. Oleh karena itu, ada beberapa catatan bagi guru yang menerima tanda sayang (hadiah) dari murid, di antaranya adalah sebagai berikut:

1.Tidak Meminta
Seorang guru jangan pernah meminta hadiah kepada murid secara tersurat maupun tersirat meskipun dalam konteks bercanda. Ini karena murid akan berusaha mengabulkannya.

Kemungkinan ada perasaan malu dan sungkan dalam diri murid jika tidak memberikan hadiah.

Nah, jangan sampai murid merasa terbebani dengan hal ini. Jika guru meminta hadiah, dikhawatirkan murid akan merasa minder dan merasa gundah saat di sekolah. Lagipula, tidak etis rasanya, meminta-minta kepada murid, sekalipun murid tersebut berasal dari keluarga yang mampu.

2.Tidak Membiasakan
Di beberapa sekolah, ada kebiasaan yang tidak tertulis untuk memberikan hadiah pada guru setiap pembagian rapor. Hendaknya orang tua tidak perlu memaksakan memberi hadiah, hanya karena ikut-ikutan orang tua yang lain.

Guru juga tidak perlu memberi sinyal kepada murid untuk membawa hadiah saat pembagian rapor.
Seandainya ada yang memberi hadiah, cukup terima saja dan langsung simpan di bawah meja agar tidak terlihat oleh orang tua lain yang mungkin tidak membawa hadiah. Jangan malah melebih-lebihkannya dengan mengucapkan terima kasih berulang kali.

3.Tidak Dipublikasikan

Zaman sekarang, kejadian apa pun sering kali di-share di media sosial secara narsis. Begitupun guru-guru yang sering membagikan kegiatan belajarnya di media sosial. Akan tetapi, ketika guru menerima hadiah dari murid, jangan menjadikannya status di media sosial, walaupun dengan alasan mengucapkan terima kasih dan tanda sayang.

Ucapan terima kasih cukup disampaikan pada saat menerima hadiah saja. Tidak perlu berlebihan agar tidak menimbulkan rumor yang kurang bagus bagi guru dan pihak sekolah. Ini karena media sosial bisa diakses oleh banyak orang dan Anda tidak bisa mengendalikan pikiran mereka. Tidak semua orang menanggapi secara positif. Selalu saja ada pihak yang pro dan kontra terhadap postingan di media sosial.

4.Tidak Membedakan
Ada murid yang mampu memberi hadiah, tetapi ada juga yang tidak mampu memberi hadiah. Dalam menghadapi hal ini, guru tidak boleh membeda-bedakan sikap terhadap murid dan orang tuanya. Perlakukan mereka semua dengan sama, keramahan dan kasih sayang yang sama pada semua murid.

5.Tidak Memaksakan
Di beberapa sekolah, ada orang tua yang “terpaksa” untuk membelikan hadiah pada guru dengan dalih merasa tidak enak karena kelas lain memberi hadiah, sedangkan kelas anaknya tidak memberi hadiah.

Sebenarnya ini tidak perlu. Namun, jika tetap ingin memberi hadiah, berilah sesuai dengan kemampuan orang tua. Tidak perlu memaksakan memberi sesuatu yang mewah sehingga mengorbankan orang tua lain untuk ikut patungan. Akan lebih baik jika memberikan sesuatu yang sederhana, tetapi ada nilai cinta kasih di sana. Sebagai contohnya, memberi kue hasil bikinan sendiri atau apa pun yang sifatnya lebih personal.

Ada atau tidaknya hadiah dari murid, seorang guru harus mengajar dengan semangat dan disiplin untuk mendidik murid-murid hingga menjadi generasi penerus yang berhasil. Tak jarang kita menemukan murid-murid yang sudah berhasil sengaja datang untuk menemui gurunya. Tidak hanya hadiah yang mereka bawakan, tetapi segenap cinta, kasih sayang, dan rasa hormat mereka berikan dengan tulus.

Begitu juga orang tua akan merasa tersentuh saat anaknya diperhatikan dengan baik, dibimbing mengerjakan soal-soal, serta dibina menjadi pribadi yang berkarakter. Bagi orang tua di daerah pelosok, rasa terima kasih pada guru sangat ketara, saat anak-anak mereka dibantu untuk mengurus sekolah lanjutan.

Guru yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk mendampingi murid-murid mengurus hal ini, sudah pasti akan diingat sepanjang masa oleh murid. Jika perasaan ini sudah muncul di dalam hati, tidak sedikit tanda kasih yang akan mereka berikan pada guru.

Di daerah pesisir, para nelayan sering kali menyisihkan ikan tangkapan terbaik mereka untuk diberikan pada guru anaknya. Begitupun di daerah pegunungan, segala hasil bumi yang bagus akan disisihkan untuk guru anak-anak mereka. Hadiah ini sebagai ucapan terima kasih dan tanda sayang karena telah meluangkan waktu untuk mengajari, mendidik, dan membimbing anak-anak murid yang beraneka ragam karakternya.

B. Perspektif Hukum Agama Islam

Secara hukum Islam, guru boleh menerima tanda sayang atau hadiah dari siswa/orang tua siswa/ wali, namun dengan syarat-syarat tertentu, yaitu :
– Hadiah bersifat simbolis dan tidak melampaui batas kewajaran
– Tidak memberikan pengaruh yang tidak seharusnya terhadap hubungan guru dan murid.
– Tidak menerima hadiah dalam bentuk uang tunai, hadiah berharga, atau hadiah yang memiliki nilai komersial tinggi.
– Tidak membedakan perlakuan terhadap murid berdasarkan pemberian hadiah.
– Tidak meminta hadiah kepada murid secara tersurat maupun tersirat.

Menurut Imam Nawawi, larangan menerima hadiah hanya berlaku bagi pegawai yang berposisi sebagai wakil pemerintah. Seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Pejabat pemerintah lainnya. Sementara, bagi profesi lain, termasuk guru, menerima hadiah sebagai bentuk penghargaan tidak masalah, selama tidak mempengaruhi proses belajar-mengajar.

Dalam Islam, menerima hadiah dari siswa, orang tua/wali murid hukumnya haram. Hal ini karena hadiah bila yang diberikan karena kekuasaan atau jabatan.

Namun hukum guru menerima hadiah dari siswa dalam Islam
secara umum bisa menjadi haram.

Hal ini karena adanya potensi penyalahgunaan wewenang dan timbulnya kecurigaan terhadap objektivitas guru dalam menjalankan tugasnya.

Alasan pengharaman:
* Suap: Hadiah dapat dianggap sebagai bentuk suap yang dapat mempengaruhi penilaian guru terhadap siswa.

* Penyalahgunaan wewenang: Guru yang menerima hadiah bisa saja memberikan perlakuan khusus kepada siswa yang memberikan hadiah.

* Hilangnya objektivitas: Hadiah dapat mengaburkan objektivitas guru dalam menilai prestasi siswa.

Namun, ada beberapa pengecualian:
* Hadiah yang nilainya kecil dan tidak menimbulkan kecurigaan.

* Hadiah yang diberikan secara terbuka dan tidak bersifat pribadi.

* Hadiah yang diberikan setelah selesai masa pembelajaran.

Penting untuk diingat,
niat pemberi hadiah: Jika niat pemberi hadiah murni sebagai tanda terima kasih, maka hukumnya bisa berbeda.

Namun, tetap perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan fitnah atau kecurigaan.

* Nilai hadiah: Semakin besar nilai hadiah, semakin besar pula potensi penyalahgunaan.

* Hubungan guru dan siswa: Semakin dekat hubungan guru dan siswa, semakin besar pula potensi konflik kepentingan.

Agar terhindar dari keraguan dan masalah, sebaiknya guru menolak semua bentuk hadiah dari siswa. Jika memang ingin memberikan apresiasi kepada guru, sebaiknya dilakukan dengan cara yang lebih tepat, misalnya dengan memberikan ucapan terima kasih atau kartu ucapan.

Berikut beberapa dalil yang sering dijadikan rujukan:
* Hadis Nabi:
* “Hadiah bagi pejabat (pegawai) adalah ghulul (khianat).” (HR Ahmad)

Hadis ini secara umum melarang penerimaan hadiah oleh pihak yang memiliki wewenang, termasuk guru.

Pandangan Ulama:
Imam An-Nawawi, Beliau menjelaskan bahwa hadiah yang diberikan karena kekuasaan atau jabatan hukumnya haram. Sementara ulama lainnya: Banyak ulama yang sependapat bahwa menerima hadiah dari siswa dapat mempengaruhi objektivitas guru dalam menilai dan memberikan perlakuan khusus pada siswa tertentu.
[21/12 15.40] H Sujaya: Bolehkah Guru Menerima Tanda Sayang (Hadiah) dari Siswa atau Orang Tua/Wali?