Peranan Media dan Literasi dalam Pendidikan Karakter Islami

 

Ditulis untuk Tantangan Menulis Bersama, Tema : Pendidikan Islam dalam Perspektif Karakter Islami oleh Penerbit al Haramain Lombok 2024

Oleh :
H. Sujaya, S. Pd. Gr.
(SMPN 3 Sindang Kab. Indramayu Jawa Barat)

Keberhasilan proses pendidikan tidak sepenuhnya bergantung pada kegiatan yang dilakukan dalam pendidikan formal yaitu lembaga sekolah. Bahkan para ahli pendidikan kritis seperti Ivan Illich (1972) dan Paulo Freire (1970) menaruh curiga bahwa pendidikan formal hanya membelenggu manusia, terutama untuk kelompok yang tak bisa mengakses pendidikan formal, terutama dari kelompok tertinggal.

Jadi bukan hanya sekolah yang berperan dalam pembentukan karakter. Pendidikan karakter islami sebenarnya dapat dilakukan dalam berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, media massa, dan literasi.

Sesuai judul maka penulis hanya akan memfokuskan pembahasan pada peranan Media massa dan literasi saja. Karena media massa dan literasi juga memiliki pengaruh besar dalam pembentukan karakter masyarakat adalah media massa dan literasi.

Argumentasi utamanya adalah pendidikan harus dilihat dari pengembangan karakter suatu bangsa. Pemanfaatan media massa dan literasi dalam keperluan strategi penanaman karakter merupakan suatu sumber yang memiliki peran strategis dalam penanaman karakter.

A. Pengaruh Media Massa dan Media
Sosial terhadap Pembentukan Karakter

Dalam ilmu komunikasi sendiri mengenal kekuatan media massa dalam mempengaruhi individu dan masyarakat selalu mengalami perubahan.
Menurut Severind dan Tankard (2001), media massa pada awalnya memilki pengaruh yang amat besar antara tahun 1920-1940. Kemudian muncul teori- teori terakhir tentang teori komunikasi yang menjelaskan bahwa media massa memilki pengaruh yang kuat pada aspek kehidupan masyarakat, terutama pada anak usia sekolah dasar.

Menurut Harold Lasswell (1948) dan Charles Wright (1959) media memiliki empat fungsi utama. Pertama, media melakukan pengawasan lingkungan dan menjadi mata masyarakat untuk mengamati peluang dan ancaman yang ada di lingkungan setempat. Kedua, mengumpulkan bagian-bagian masyarakat untuk menghadapi tantangan dan peluang yang ada dalam lingkungan. Disini media memiliki fungsi sebagai penghubung sumber daya yang ada dalam masyarakat sehingga semua dapat digunakan untuk memanfaatkan peluang ataupun untuk. memecahkan masalah. Ketiga, media meneruskan warisan sosial dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan menjadi forum tempat anggota masyarakat belajar mengenai nilai, norma dan pola prilaku yang diterima di masyarakat. Keempat, media memiliki fungsi hiburan dengan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mendapatkan kesenangan.

Media massa terdiri atas Media cetak dan Media elektronik. Media massa memiliki peran penting dalam proses sosialisasi. Kehadiran Media massa sangat mempengaruhi tindakan dan sikap anggota masyarakat terutama anak-anak.
Nilai-nilai dan norma yang disampaikan akan tertanam dalam diri anak melalui penglihatan maupun pendengaran yang dilihat dalam acara. Tayangan-tayangan yang mengandung nilai-nilai tertentu secara tidak langsung akan tertanam dalam diri penontonnya. Oleh karena itu media massa menjadi media yang efektif dan strategis untuk menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai positif.

B. Program Literasi Media untuk Pendidikan Karakter Islami

Pendidikan karakter islami sebenarnya dapat dilakukan dalam berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, media massa, dan literasi.
Data dari Badan Pusat Statistik (BSP) menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 278,69 juta jiwa. Namun sangat disayangkan, hal ini berbanding terbalik dengan jumlah minat bacanya. Dilansir dari data UNESCO, hanya 0,001% masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca. Hal itu berarti, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang suka dan aktif membaca. Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program of International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019, minat baca Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara. Dengan kata lain, Indonesia masuk dalam bagian 10 negara yang memiliki tingkat literasi terendah di antara negara-negara yang disurvei. Berdasarkan data OECD tingkat literasi Indonesia masih berada di tingkat 74 dari jumlah 79 negara di dunia Sehingga hal inilah yang perlu menjadi pemikiran dan introspeksi untuk terus meningkatkan gerakan literasi dan tidak berhenti menebarkan semangat kegiatan literasi .
Pada umumnya, literasi diartikan sebagai kemampuan baca, tulis, dan pemahaman terhadap satu masalah. Menurut Lestari, dkk. (2021), literasi merupakan proses pembelajaran yang dilakukan secara komprehensif untuk mengidentifikasi, memahami informasi, berkomunikasi, dan menghitung menggunakan bahan cetak dan tertulis dengan berbagai konteks.
Lalu, pernahkah kita berpikir bagaimana dunia tanpa literasi? Mungkin, bagai sebuah tempat, hanya akan ada kegelapan, hitam tanpa penerang. Bagaimana tidak? dengan literasi, seseorang dapat memperkaya kosakata, mengoptimalkan kinerja otak (sebab sering digunakan untuk menulis dan membaca), memperluas wawasan dan memeroleh informasi terbaru, meningkatkan kemampuan interpersonal seseorang, meningkatkan kemampuan memahami informasi dari bahan bacaan, mengasah kemampuan verbal, memperbaiki kepekaan terhadap informasi dari berbagai media, serta melatih diri untuk bisa merangkai kata dengan baik.
Tentunya kita bertanya-tanya, mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut Rusti (2023), beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kemampuan literasi di Indonesia faktor penyebabnya adalah :
1.Kurangnya Minat Membaca
Minat didefinisikan sebagai perasaan suka dan tertarik terhadap sesuatu. Sedangkan membaca, memiliki banyak manfaat seperti meningkatkan aktivitas otak, menambah pengetahuan, dan mengasah daya ingat. Sehingga, dengan berkurangnya minat baca, berkurang pula sistem kerja otak dalam memahami suatu masalah.

2.Saran dan Prasarana yang Kurang Memadai
Fasilitas atau sarana dan prasarana yang disediakan, sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah perpustakaan, taman baca masyarakat, dan ketersediaan buku-buku bacaan. Benar bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam mendukung program Merdeka Belajar Ke-23 telah membagikan buku bacaan di seluruh Indonesia dalam bentuk buku bacaan bermutu. Namun, siapa yang dapat menjamin bahwa buku-buku tersebut akan sampai di pelosok negeri? Harus diakui bahwa Indonesia masih memiliki keterbatasan, terutama akses ke wilayah pedesaan.

3.Kemiskinan dan Hubungan dalam Keluarga
Peran penting keluarga sangat dibutuhkan untuk peningkatan literasi dari rumah. Peran yang dimaksud, bisa diberikan keluarga dalam bentuk kasih sayang, memberikan nasihat, dan diskusi tentang apa yang telah dilakukan anak. Sebaliknya, jika hubungan dalam keluarga tidak harmonis, juga akan berdampak pada anak. Terkait dengan itu, peran orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Kurangnya perhatian orang tua juga dapat memengaruhi kemampuan membaca, menulis, bernalar, dan juga berhitung. Selain itu, perlu juga dipahami bahwa kemiskinan juga berpengaruh pada rendahnya tingkat literasi. Karena, kemiskinan mengakibatkan keluarga tidak mampu menyediakan buku dan sarana belajar lainnya.

4.Pengaruh Ponsel dan Televisi
Sebagai sarana hiburan, televisi memegang peran yang sangat penting. Menonton televisi sudah menjadi rutinitas yang dilakukan banyak orang sehingga kebiasaan membaca menjadi menurun. Saat ini, kemajuan teknologi bahkan telah menciptakan alat baru yang sangat berguna, mudah, bahkan menghibur, dalam bentuk ponsel. Ponsel tidak bisa lepas dari genggaman. Bukan hanya orang tua, anak-anak juga menggunakannya. Ponsel menawarkan banyak tayangan dan fitur, seperti permainan, youtube, tiktok dan lain sebagainya, sehingga menggeser minat seseorang terhadap kegiatan membaca buku. Hal ini tentu saja berdampak pada kemampuan literasi.

5.Kualitas Pendidikan dan Model Pembelajaran di Sekolah
Kualitas pendidikan yang beragam di setiap daerah juga menjadi faktor penting yang memengaruhi literasi. Kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas serta model pembelajaran yang tidak efektif, merupakan kendala yang harus dicarikan solusinya. Metode mengajar, prosedur, dan kemampuan guru merupakan alat utama untuk mewujudkan tujuan pembelajaran.
Khusus tentang literasi digital, menurut Ekonom Senior INDEF Aviliani dalam CNBC Indonesia Tech & Telco Outlook 2023, Selasa menyebut tingkat literasi digital di Indonesia hanmasih rendah hanya sebesar 62%. Jumlah tersebut paling rendah jika dibandingkan negara di ASEAN lainnya yang rata-rata mencapai 70%. Masyarakat Indonesia kalau kita lihat literasi (digital)-nya baru 62%. Negara di Korea sudah 97%. Rata-rata di ASEAN sudah 70%. Jadi, memang tingkat literasi digital kita masih rendah. Sementara itu Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan menyebut bahwa posisi masyarakat Indonesia dalam literasi digital berada di rata-rata angka 3,54 dari indeks 1-5. Angka posisi itu meliputi digital skill, digital safety, digital cultur, dan digital etic.
Melihat beberapa faktor penyebab di atas maka perlu upaya terobosan untuk bergerak dan membuat perubahan. Maka dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan literasi di Indonesia, diperlukan berbagai upaya yang komprehensif, di antaranya menerapkan kegiatan literasi yang efektif dan menarik perhatian, menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang peningkatan literasi siswa, melakukan kolaborasi dengan para orang tua untuk pembiasaan membaca, serta melakukan model pembelajaran oleh guru di sektor pendidikan yang tidak membosankan.
Dalam rangka membangun pendidikan karakter, maka budaya literasi sangat penting digerakkan di Sekolah. Melalui kegiatan literasi di sekolah tersebut, karakter yang akan dicapai peserta didik; (1) berakhlak mulia, (2) berpikir kritis, (3) kreatif, serta (4) integritas (tanggung jawab). Kesimpulannya dengan menerapkan budaya literasi di sekolah, maka di dalam diri seorang siswa akan terbentuk karakter yang baik.

C. Peran Jurnalisme Islam dalam Menyebarkan Nilai-nilai Karakter

Jurnalistik Islami adalah proses meliput, menulis, dan menyebarkan berita tentang agama dan umat Islam dengan tujuan membangun persepsi dan citra positif tentang Islam dan kaum Muslim. Jurnalistik Islami juga bisa dimaknai sebagai “proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat muatan dan sosialisasi nilai- nilai Islam”.
Dengan demikian, jurnalistik Islami dapat dikatakan sebagai crusade journalism, yaitu jurnalisme yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, dalam hal ini nilai-nilai Islam.

Jurnalistik Islami pun bernafaskan jurnalisme profetik, suatu bentuk jurnalisme yang tidak hanya melaporkan berita dan masalah secara lengkap, jelas, jujur, serta aktual, tetapi juga memberikan interpretasi serta petunjuk ke arah perubahan, transformasi, berdasarkan cita-cita etik dan profetik Islam. Ia menjadi jurnalisme yang secara sadar dan bertanggungjawab memuat kandungan nila-nilai dan cita Islam (M. Syafi’i Anwar, 1989:166).

Jurnalistik Islami, dengan demikian, mengemban misi ‘amar ma’ruf nahyi munkar, sebagaimana firman Allah SWT,
“Dan hendaklah ada sebagian di antara kamu sekelompok orang yang senantiasa mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, dan mencegah yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. 3:104).

Jadi, jurnalistik Islami adalah upaya da’wah Islamiyah juga. Karena jurnalistik Islami bermisi ‘amar ma’ruf nahyi munkar, maka ciri khasnya adalah menyebarluaskan informasi tentang perintah dan larangan Allah SWT.

Jurnalis berpesan (memberikan message) dan berusaha keras untuk mempengaruhi komunikan (khalayak, massa) agar berperilaku sesuai dengan ajaran Islam.
Setidaknya ada lima peran jurnalistik islami sebagai media dakwah:
1.Sebagai Pendidik (Muaddib)
Melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran Islam daru rata-rata khalayak pembaca. Lewat media massa, ia mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Wartawan atau media Islam memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam dari berperilaku yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.

2.Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid).
Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim.
Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam.
Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam.
Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu menggali –melakukan investigative reporting– tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Peran Musaddid terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers Barat biasanya biased (menyimpang, berat sebelah) dan distorsif, manipulatif, alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak disukainya.
Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) yang merupakan produk propaganda pers Barat yang anti-Islam.
3.Sebagai Pembaharu (Mujaddid)
Penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Jurnalis Muslim hendaknya menjadi “jurubicara” para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.

4.Sebagai Pemersatu (Muwahid)
Jurnalis atau media Islam harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam.

Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi [both side information] harus ditegakkan.
Jurnalis Muslim harus membuang jauh-jauh sikap sektarian yang baik secara ideal maupun komersial tidaklah menguntungkan (Rusjdi Hamka & Rafiq, 1989).

5.Sebagai Pejuang (Mujahid)
Pejuang-pembela Islam. Melaui media massa, jurnalis Muslim berusaha keras membentuk pendapat umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan lil’alamin, serta menanamkan ruhul jihad di kalangan umat.

Referensi :
Abidin, Yunus, Tita Mulyati, dan Hana Yunansah. 2021. Pembelajaran literasi: Strategi meningkatkan kemampuan literasi matematika, sains, membaca, dan menulis. Bumi Aksara.

Haryanti, Trini. 2014.Membangun Budaya Literasi dengan Pendekatan Kultural & Komunikasi Adat.†Tulisan pada http://www. triniharyanti. id.

Pradana, Fransiska Ayuka Putri. 2020. Pengaruh Budya Literasi Sekolah Melalui Pemanfaatan Sudut Baca Terhadap Minat Membaca Siswa Di Sekolah Dasar 2.

Rizqiyah, Ani Malikhatur, dan Meilan Arsanti. 2022. Membangun Pendidikan Karakter Melalui Pembudayaan Literasi di Sekolah.

Romli ASM, Jurnalistik untuk Pemula Cet. VI (Rosda 2005); Romli ASM, Jurnalistik Dakwah (Rosda 2004), dan Jurnalistk Terapan (Batic Press 2005).

Sudrajat, Ajat. 2011. Mengapa Pendidikan Karakter? Jurnal Pendidikan Karakter 1

Sujaya, SPd. Menimbang-urgensi-aplikasi-talenta-ayu-disdik-kab-indramayu-dalam-meningkatkan-literasi-digital. –menaramadinah.com

www.romeltea.com