Sejarah Idhul Adha

 

Bagi umat muslim, keutamaan perayaan akan hari Idul Adha sama halnya dengan Idul Fitri. Hari Idul Adha biasanya ditetapkan beberapa bulan setelah perayaan Hari Idul Fitri, yang mana memiliki sebutan sebagai Hari Raya Kurb

Tepatnya pada tanggal 10 Dzulhijjah, nantinya akan ditetapkan sebagai hari istimewa berupa Hari Idul Adha. Setelah melaksanakan salat ied, nantinya umat muslim akan berbondong-bondong menonton atau bahkan mengikuti prosesi penyembelihan hewan kurban di lingkungan mereka.

 Hari Idul Adha identik dengan penyembelihan hewan kurban, biasanya adalah sapi, kambing, hingga domba. Penyembelihan hewan kurban tersebut tentu saja memiliki tata cara tersendiri sehingga tidak sembarang orang dapat melakukannya.

Lalu, mengapa ya Hari Idul Adha itu identik dengan penyembelihan hewan kurban? Bagaimana sejarah terjadinya perayaan Hari Idul Adha? Bagaimana pula amalan-amalan yang dapat dilaksanakan segenap umat muslim ketika Hari Idul datang?

Yuk simak ulasan berikut ini supaya Grameds memahami akan sejarah dari Hari

Apabila membicarakan mengenai sejarah dari Hari Idul Adha, maka tentu saja akan berkaitan dengan kisah teladan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Yap, kedua nabi tersebut adalah termasuk dalam dua puluh lima Nabi yang wajib diketahui oleh segenap umat Islam. Hari Idul Adha itu merupakan peringatan akan peristiwa kurban, yakni ketika Nabi Ibrahim bersedia untuk mengorbankan puteranya, Nabi Ismail. Hal tersebut dilakukan oleh Beliau sebagai bentuk kepatuhannya terhadap perintah Allah SWT.

Diceritakan pada kala itu, Nabi Ibrahim yang telah berusia lanjut (terdapat suatu riwayat yang menyatakan bahwa usia Beliau mencapai 85 tahun) bersama istrinya, Siti Hajar, belum dikaruniai seorang anak. Nabi Ibrahim sangat menginginkan kehadiran seorang anak laki-laki supaya kelak dapat meneruskan perjuangannya dalam menegakkan syiar ajaran Allah SWT di muka bumi ini.

Setiap hari, Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah SWT supaya segera diberikan keturunan. Saking tekunnya Beliau dalam berdoa, doanya diabadikan dalam Al-Quran, yakni pada surah Ash-Shaffat ayat 100:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

Artinya: Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.

Nah, melalui doa-doa tersebut akhirnya Allah SWT mewujudkan keinginan Nabi Ibrahim melalui istri keduanya, yakni Siti Hajar. Perlu diketahui bahwa Nabi Ibrahim menikahi Siti Hajar tepat setelah Beliau melakukan kunjungan ke wilayah Mesir.

Selanjutnya, Nabi Ibrahim pun membawa Siti Hajar ke Mekah untuk tinggal disana. Keduanya melangsungkan pernikahan dan beberapa saat setelah itu, Siti Hajar mengandung hingga lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Peristiwa akan lahirnya anak laki-laki Nabi Ibrahim ini juga dituliskan dalam Al-Quran, yakni pada surah Ash-Shaffat ayat

Artinya: Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (bernama Ismail).

Sayangnya, kebersamaan Nabi Ibrahim dengan anak dan istrinya tidak dapat dirasakan dalam waktu yang lama. Sebab, Allah SWT memerintahkan Beliau untuk segera kembali ke istri pertamanya, yakni Siti Sarah di kota Yerusalem. Namun, meskipun begitu, Nabi Ibrahim dan Siti Hajar tetap ikhlas dan tawakkal dalam menerima perintah-Nya. Bahkan, Allah SWT juga mengabadikan peristiwa tersebut ke dalam Al-Quran, yakni pada QS Ibrahim ayat 37.

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Artinya:  “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezeki lah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Nabi Ibrahim tentu saja sangat berat hati dan sedih karena harus meninggalkan Siti Hajar dan Ismail yang kala itu masih menyusui, di daerah Mekkah. Beliau tidak langsung meninggalkan mereka begitu saja, tetapi melakukan persiapan dengan membekali istri dan anaknya dengan beberapa potong roti dan sebuah air di guci untuk diminum. Selama ditinggal oleh suaminya, Siti Hajar mengalami banyak sekali cobaan, salah satunya adalah kesulitan untuk menemukan sumber air minum yang layak untuk anaknya. Bahkan, pencariannya akan sumber air minum tersebut dilakukannya dengan cara berjalan cepat sebanyak tujuh kali, dari Shafa ke Marwah.

Nah, peristiwa akan pencarian sumber mata air itulah yang kemudian “diabadikan” dalam proses ibadah Sa’I yang menjadi salah satu rukun ibadah Haji, yakni dengan lari-lari kecil dari Shafa ke Marwah. Perlu kamu ketahui bahwa sumber mata air yang ditemukan oleh Siti Hajar tersebut menjadi sumber air abadi yang kemudian dinamakan sebagai zam-zam.

Setelah beberapa tahun kemudian, akhirnya Nabi Ibrahim kembali lagi ke Mekah untuk menemui Siti Hajar dan Ismail. Nabi Ibrahim tentu saja bahagia, apalagi Ismail sudah tumbuh menjadi anak yang sehat (dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada saat itu usia Ismail kira-kira 6-7 tahun). Namun, belum lama menikmati pertemuannya dengan keluarga tercintanya, Allah SWT memberikan ujian lagi kepada Nabi Ibrahim.

Pada saat itu, melalui mimpi, Allah SWT memberikan perintah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih puteranya, Ismail. Hal tersebut tentu saja membuat Nabi Ibrahim bimbang, karena itu merupakan perintah langsung dari Allah SWT, tetapi di sisi lain, Beliau juga sangat sayang kepada anaknya tersebut. Kemudian, dengan sekuat hati, akhirnya Nabi Ibrahim memberanikan diri untuk mengajak bicara dengan Ismail bahwa dirinya har

Jawaban Ismail membuat Nabi Ibrahim kaget, sebab puteranya ternyata bersedia untuk dijadikan kurban sebagaimana perintah dari Allah SWT.

 

Akhirnya, waktu untuk menyembelih Ismail pun datang. Awalnya, Nabi Ibrahim sangat ragu untuk mengarahkan pisau kepada anaknya. Kemudian, Ismail berkata “Wahai Ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepadamu. Engkau akan menemuiku insyaAllah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah Allah SWT…”

 

 

Hal tersebut membuat Nabi Ibrahim bersedih sekaligus bersyukur, dan seraya berkata “Bahagialah aku mempunyai seorang putra yang taat kepada Allah SWT, bakti kepada kedua orang tua dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah SWT…”

 

Kemudian, ketika prosesi penyembelihan tiba, diikatkanlah kedua tangan dan kaki Ismail di atas lantai. Lalu Nabi Ibrahim dengan memejamkan matanya, memegang pisau (parang)nya ke arah leher Nabi Ismail dan penyembelihan pun dilakukan. Namun, Allah SWT langsung mengganti posisi Nabi Ismail tersebut dengan domba yang diturunkan dari langit. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran yakni pada QS As-Shaffat ayat 107-110.

 

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

Artinya: “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (As-Saffat: 107)

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ

Artinya: Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (As-Saffat: 108)

سَلَامٌ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ

Artinya: (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. (As-Saffat: 109)

كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

Artinya: Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (As-Saffat: 110)

Nah, melalui peristiwa penyembelihan Nabi Ismail yang kemudian digantikan menjadi hewan domba oleh Allah SWT itulah yang menjadikan sejarah dari Hari Raya Idul Adha. Tidak hanya itu, melalui peristiwa hidup yang dialami oleh Nabi Ibrahim beserta keluarganya juga menjadikan lahirnya Kota Makkah dan Ka’bah sebagai kiblat umat muslim di seluruh dunia beserta dengan keberadaan air zam-zam yang tidak pernah kering sejak ribuan tahun silam. Secara tidak langsung, keberadaan air zam-zam dan ibadah sa’I juga menjadi tonggak perjuangan dari seorang wanita yang sabar dan tabah.