Peringati Hari Batik Dan Sumpah Pemuda, BunDar dan ForSabda Adakan Pagelaran Seni Budaya

WARGA masyarakat Tulungagung, khususnya para seniman dan budayawan mendapat suguhan “hidangan” menarik pagelaran seni-budaya yang diadakan paguyuban BunDar (Bulan nDadari) bekerja sama dengan ForSabda (Forum Sarasehan Seni & Budaya) Tulungagung di joglo Ny Soehartini Lotu’s Garden Tulungagung, Jumat malam (21/10). Berikut ini laporan Wawan Susetya :

Yang menarik, pagelaran seni-budaya tersebut didukung berbagai komunitas seni atau sanggar-sanggar seni di Tulungagung, antara lain Griya Batik Gayatri, Sasana Budaya Ngesthi Laras, Permata Gayatri, Kompan (Komunitas Padhang Njingglang), Sanggar milik Andi Prasetya, Sanggar Gayeng, kru musik Dika & Rudy, dan sebagainya. Sejak habis Isya’, suara gamelan dari krawitan Sasana Budaya Ngesthi Laras pimpinan Ki Handaka sudah terdengar menyambut kedaangan para tamu yang mulai berdatangan.

Paguyuban BunDar lan ForSabda yang dibina Laksamana Muda (purn) Harry Yuwono memang memiliki visi-misi untuk melesarikan khasanah seni-budaya yang adiluhung warisan para leluhur Jawa. Sebelumnya, tanggal 12-14 Agustus lalu, Paguyuban BunDar juga menyelenggarakan rangkaian kegiatan dengan tajuk Kangen Tulungagungan yang menampilkan berbagai acara, antara lain pameran lukisan dan batik, musik keroncong, musk (band), tari dolanan, langen busana dan sebagainya di Lotu’s Garden. Sementara, ForSabda yang dibentuk tahun 2020, sejak saat itu hingga sekarang lebih fokus mengadakan sarasehan seni-budaya tiap bulan secara rutin.

Menurut Eshadi, ketua panitia kegiatan itu mengatakan bahwa acara pagelaran seni-budaya yang dihelat di Lotu’s Garden bulan Oktober itu untuk memperingati Hari Batik Dunia tanggal 2 Oktober dan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober. “Maka, selain menampilkan perform seni tari, musik, puisi dan perform live melukis juga menampilkan fashion show karya seni batik dan sarasehan tentang Sumpah Pemuda,” ujar Eshadi saat memberikan sambutan di awal acara.

Acara yang dipandu pembawa acara Elis Yusniyawati dan Renny Dyah Kurniawati itu diawali dengan menampilkan Tari Gambyong Pareanom yang dibawakan oleh 3 remaja putri SMA yaitu Dia, Dika dan Okta. Ketiganya menari dengan lemah-gemulai untuk memberikan penghormatan kepada para tamu undangan dan umum yang melihat di Lotu’s Garden malam itu.

Setelah itu dilanjutkan perform repertoar “harmoni” musik akustik (gitar akustik Raras, piano Aras), lagu Mbak Dika, puisi Eshadi, olah gerak tari Nia, fashion show Permata Gayatri, live painting oleh Anang Prasetyo dan permainan dakon bersama Mbak Enik dan Mbak Desak Okta. Ada tiga lagu yang dibawakan penyanyi kawakan asal Boyolangu, Mbak Dika, yaitu Sugih Tanpa Bandha (Sudjiwo Tedjo), Ingsun (Sudjiwo Tedjo) dan Damai Bersamamu (Chrisye). Tentu saja perform repertoar yang memadukan berbagai unsur seni budaya tersebut membutuhkan latihan secara serius hingga terwujud menjadi harmonis dan tampilan indah seperti itu.

Komunitas Permata Gayatri pimpinan Renny Dyah Kurniawati juga menampilkan Tari Minak Jinggo dengan garap gagrak baru dengan iringan krawitan yang sangat rampak. Karena garap gagrak baru, maka Komunitas Permata Gayatri juga membawa para yaga sendiri dari Rejotangan. Setelah itu ditampilkan Tari Remo yang dibawakan Andik Prasetya, mahasiswa pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

Dalam kesempatan itu, maestro budaya sekaligus penasihat Paguyuban BunDar dan ForSabda Laksda (purn) Harry Yuwono mengajak kepada hadirin (audience yang datang dari berbagai daerah) untuk berusaha melestarikan seni-budaya warisan para leluhur Jawa yang adiluhung. Apalagi hal itu juga sinkron dengan UU Kebudayaan No. 5 taun 2017 mengenani 10 OPK (obyek pemajuan kebudayaan), antara lain tradisi lisan, manuskrip, bahasa, seni, permainan rakyat, teknologi tradisional, pengetahuan tradisional, olah raga tradisional, adat istiadat, dan ritus.  Selain 10 OPK tersebut, ada lagi yang perlu digarap yakni cagar budaya dengan payung hukum lainnya.

“Sekarang ini sudah sangat banyak mahasiswa manca negara yang belajar seni ke negara kita, seperti seni krawitan, tari dan pedhalangan di perguruan tinggi seni ISI Yogyakarta dan ISI Surakarta. Itu sah karena mereka belajar, bukannya membajak. Itulah sebabnya, mengapa kita harus melestarikan seni budaya milik kita agar anak turun kita besuk-besuk sampai belajar seni budaya kita ke luar negeri. Ini pentingnya mengenai ketahanan budaya yang selanjutnya sampai pada ketahanan nasional,” demikian kata Laksda (purn) Harry Yuwono yang uga owner Lotu’s Garden.

Memang sudah sejak lama gamelan menjadi perhatian dunia, bahkan pada tahun 2005 sudah diakui oleh PBB di Amerika Serikat sebagai “warisan dunia”. Tak pelak banyak orang manca negara yang belajar langsung ke negara kita untuk belajar seni-budaya itu, bahkan banyak pula yang mendatangkan guru-guru seni-budaya dari negara kita ke sana. Bukan hanya di kawasan Asia dan Australia, tapi musik gamelan atau seni krawitan juga diminati dan berkembang pesat di Amerika dan Eropa.

 

Sarasehan Budaya

Setelah tampilan perform repertoar “harmoni” dengan berbagai unsur seni yang menarik sebelumnya, setelah itu dilanjutkan dengan sarasehat sebagai wujud apresiasi dari pagelaran seni-budaya. Sarasehan seni & budaya yang dimoderatori Elis Yusminayati, dosen UIN SATU Tulungagung sekaligus mahasiswa S-3 Unair Surabaya menampilkan tiga orang nara sumbere antara lain Eshadi yang mengupas tentang batik, Andi Prasetya tentang seni tari, dan Ki Wawan Susetya tentang sosok Minak Jinggo dari perspektif sejarah dan crita rakyat. Sarasehan juga mengangkat diskusi tentang Sumpah Pemuda yang terjadi tanggal 28 Oktober 1928 sebagai tonggak perjuangan bangsa Indonesia.

Eshadi yang juga owner Griya Batik Gayatri dalam sarasehan itu menjelaskan seluk-beluk mengenai batik sebagai seni peninggalan para leluhur Jawa. Dikatakan bahwa di Tulungagung sudah ada beberapa pengrajin batik, antara lain di Desa Majan, Ketanon dan Bangoan Kec. Kedungwaru, dan Kalangbret Kec. Kauman dan sebagainya.

“Dulu, pada tahun 1932, ada tokoh batik hebat di Tulungagung yaitu alm. Pak Sapuan yang banyak memberikan insprirasi kepada para pembatik sekarang,” jelasnya.

Eshadi yang nama lengkapnya Setyahadi itu memang sudah cukup lama menggeluti perbatikan. Ia bersama dengan istrinya, Wiji, merintis menjadi pengrajin batik dengan sepenuh hati. Tak ayal hingga sekarang, mereka telah memiliki karyawan hingga belasan orang yang mengerjakan men-canting, sedang Eshadi yang membuat motif batinya. Sementara itu, motif batik yang berkembang di Tulungagung, antara lain Baronggung, Gajah Mada, Sido Mukti, Kalang Kusuma, Satriya Manah, dan sebagainya.

Ssemakin lama, usaha batik Griya Batik Gayatri yang dikelola Eshadi dan istrinya semakin maju pesat. Wajar jika Griya Batik Gayatri sering mendapat undangan mengikuti pameran batik dari berbagai instansi, termasuk instansi di Surabaya dan Jakarta. Hal itu tentu makin melambungkan batik karya Eshadi dan istrinya Wiji hingga makin dikenal di Nusantara.

Nara sumber kedua, Andi Prasetya terlihat masih mengenakan pakaian remo ketika sarasehan. Ia menjelaskan mengenai perbedaan antara gerak tradisi dan tradisi gerak. Menurut Andi, gerak tradisi merupakan gerakan yang memiliki makna dalam tarian, sedang tradisi gerak merupakan kebiasaan gerak dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya gerakan orang mencuci muka biasanya secara umum seperti itu, tangannya membasuh wajah. Tapi kalau gerakan tersebut akan dijadikan menjadi gerakan tari tentu gerakannya berbeda dengan menampilkan kelembutan atau gerak yang lembut.

Tidak hanya itu, Andi Prasetya yang sekarang kuliah pasca sarjana di ISI Yogyakarta itu juga memberikan contoh dengan praktik langsung di hadapan audience (penonton). Andi pun menampilkan contoh berbagai macam gerak tari kepada penonton.

Andi yang belum lama ini telah mencipta karya tari gambyong khas Tulungagungan dan berencana didaftarake hak cipta (HAKI), selain sibuk kuliah pasca sarjana ing ISI Yogyakarta, ia juga sibuk melatih tari para siswa di sanggarnya. Selain itu, Andi juga membina dan mellatih para anggota komunitas pemain wayang uwong.

Narsum terakhir Ki Wawan Susetya yang mengisahkan sosok Prabu Minak Jinggo raja Blambangan yang saat itu dianggap mbalela terhadap Kerajaan Majapahit. Prabu Minak Jinggo mbalela terhadap Majapahit karena merasa telah diingkari oleh Ratu Kencana Wungu dalam sayembara mengalahkan Kebo Marcuet yang dianggap sebagai musuh Majapahit. Dalam sayembara itu, barangsiapa yang bisa menghabisi Kebo Marcuet, maka ia akan dijadikan suami oleh Ratu Kencana Wungu. Namun ketika Minak Jinggo berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, namun ia ditolak oleh Sang Ratu. Sebab keadaan badan dan wajah Minak Jinggo saat itu menjadi rusak berantakan. Meski menang dan dapat mengalahkan Kebo Marcuet, tapi ia mengalami dampak buruk dari perang itu hingga kondisinya sangat memprihatinkan. Tak ayal Minak Jinggo pun menagih janji di Majapahit, namun Ratu Kencana Wungu tidak menerimanya karena tidak senang melihat keadaan Minak Jinggo yang berubah seperti itu. Sejak itu, Minak Jinggo mbalela kepada Kraton Majapahit.

Ratu Kencana Wungu kemudian mengadakan sayembara lagi; barangsiapa yang bisa menyerahkan kepala Minak Jinggo, jia ia laki-laki akan dijadikan suami oleh Ratu Kencana Wungu. Saat itu, ada pemuda yang bernama Damar Wulan yang menjadi tukang ternak kuda di Kepatihan (Patih Logender) hendak ikut sayembara tersebut. Ketika di Kepatihan, nampaknya Damar Wulan memadu kasih dengan Anjarmara, putri Patih Logender. Anjasmara memiliki dua orang kakak laki-laki namanya Layang Seta dan Layang Kumitir.

Damar Wulan kemudian menyatakan ikut sayembara kepada Ratu Kencana Wungu dan mendapat izin. Setelah itu Damar Wulan segera berangkat ke Blambangan. Di sana, ia bertemu dengan dua wanita, namanya Wahita dan Puyengan, istri Prabu Minak Jinggo. Saat itu keduanya ingin melarikan diri dari cengkeraman Minak Jinggo. Setelah bertemu dengan Damar Wulan, dua orang perempuan itu merasa senang, bahkan berusaha membantunya dengan mengambil senjata andalan Minak Jinggo yaitu gada wesi kuning. Dan, ketika perang berhadapan dengan Minak Jinggo, maka Damar Wulan pun dapat mengalahkan musuhnya dengan mudah. Sebab senjatanya sudah berada di angan Damar Wulan berkat pertolongan Wahita dan Puyengan. Setelah itu, Damar Wulan memenggal leher Minak Jinggo, lalu membawa kepala itu hendak diserahkan kepada Ratu Majapahit. Damar Wulan pun diikuti pula Wahita dan Puyengan menuju Majapahit.

Di tengah perjalanan, Damar Wulan ketemu dengan Layang Seta dan Layang Kumitir yang berniat jahat kepadanya. Damar Wulan pun sempat pingsan. Setelah itu Layang Seta dan Layang Kumitir membawa lari kepala Minak Jinggo hendak diserahkan kepada Ratu Kencana Wungu. Karena keduanya telah membawa bukti berupa kepala Minak Jinggo, tak ayal Ratu Kenca Wungu pun tak bisa menolaknya. Sang Ratu pun siap hendak dinikahi oleh Layang Seta.

Tak lama berselang, Damar Wulan sudah tersadar dari pingsannya. Dengan dibantu Wahita dan Puyengan, akhirnya Damar Wulan melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Ia melaporkan bahwa telah berhasil membunuh Prabu Minak Jinggo, namun sayang kepala Raja Blambangan itu direbut oleh Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua kubu pun saling mengklaim kebenaran di hadapan Ratu Kencana Wungu. Untuk memutuskan perselisihan itu, maka Ratu Kencana Wungu memerintahkan Damar Wulan menghadapi Layang Seta dan Layang Kumitir. Siapa yang menang, maka dialah sesungguhnya telah mengalahkan Minak Jinggo. Dan, perang itu berakhir dengan kemenangan di pihak Damar Wulan.

Setelah mengalahkan Layang Seta dan Layang Kumitir, akhirnya Damar Wulan diakui dan diterima oleh Ratu Kencana Wungu. Sesuai dengan janjinya, maka Ratu Kencana Wungu siap dinikahi Damar Wulan. Pada kesempatan itu, Damar Wulan menikahi empat orang perempuan sekaligus, yaitu Ratu Kencana Wungu, Anjasmara, Wahita dan Puyengan. Bukan hanya itu saja, Damar Wulan juga dinobatkan sebagai Raja Majapahit oleh Ratu Kencana Wungu.

Demikian cerita rakyat mengenai Prabu Minak Jinggo yang dianggap mbalela kepada Majapahit. Padahal tidak demikian halnya bagi rakyat Banyuwangi, sebab Minak Jinggo justru dianggap sebagai pahlawan karena telah membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat Blambangan (Banyuwangi).

Sarasehan seni-budaya pun dilanjutkan dengan dialog (tanya jawab) yang dipandu oleh Elis Yusniyawati hingga jam 1 pagi. Suasanya makin gayeng. (WW).

o0o