Ulil Tidak Pernah Berubah

Catatan Moh. Shofan.

Semalam saya mengikuti acara Merayakan Keberkahan Usia Ulil ke-55 Tahun, yang digelar secara virtual. Saya menunggu Ulil bicara dan berharap ia bisa merefleksikan pemikirannya untuk memeroleh jawaban atas pertanyaan; benarkah Ulil telah berubah?

Benarkah Ulil melakukan pertaubatan atas pikiran-pikiran nakalnya? Saat kesempatan Ulil bicara tiba, saya rela untuk tidak menghisab rokok, dan mendengarkan dengan amat sangat seksama apa yang akan disampaikannya.

“Tak ada yang berubah dalam pemikiran saya. Tak ada yang perlu saya koreksi atau dihapus (dinasakh)”, tegas Ulil. Ulil, menegaskan bahwa Ngaji Ihya, yang dilakukannya dalam beberapa tahun terakhir ini, adalah cara kembali kepada tradisi dengan kaca mata yang baru. Kembali ke tradisi dengan kesadaran penuh bahwa tradisi adalah sesuatu yang tidak boleh diterima begitu saja. Justru, menurut Ulil, tantangan hari ini adalah membaca ihya dan menyuguhkannya pada publik modern dengan segala tantangan dan dinamikanya.

Ulil mengaku sebagai pengagum al-Ghazali. Membaca tulisan al-Ghazali, jelas Ulil, memang tidaklah mudah. Meski demikian, di bidang filsafat khususnya, bahasan Ghazali jauh lebih clear dan terang ketimbang filsuf yang aslinya. Dalam penulisan Ihya, Al-Ghazali, selalu menyisipkan kiasan-kiasan yang hidup. Semua pembahasan (wacana) yang bersifat teoritis, di tangan al-Ghazali, menjadi hidup. Sebab ia mengungkapkannya dengan metafor-metafor yang bisa membangkitkan imajinasi setiap pembacanya. Kemampuan al-Ghazali, menyuguhkan dialog imajiner dalam kitabnya, inilah yang membuat Ulil kagum terhadap sosok al-Ghazali.

Justru, cara penyajian Islam yang sederhana, menurut Ulil, akan menghambat bagi kemajuan Islam. Maka, jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah the spirit of questioning, yakni dengan mempertanyakan, mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Karenanya, umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Ulil merasa wacana Islam liberal ada keterbatasannya. “Setiap diskursus ada limitnya; reformisme ada limitnya, tradisionalisme ada limitnya. Salah satu keterbatasan JIL adalah engagement, kurang melibatkan tradisi”, jelas Ulil.

Begitulah. Ulil kembali kepada tradisi dengan keyakinan baru; ada hal hal yang bisa dikembangkan, dikritik dan bahkan dibuang. Bagaimana membuat tradisi kontekstual pada dua level; kontekstual pada zamannya dan konteks zaman kini.

Bagi Ulil, masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “hukum Tuhan”. Kalimat ”Tak ada hukum Tuhan”, yang dilontarkan Ulil, menurut Rizal Malarangeng, dalam acara semalam, adalah sebuah kalimat yang tegas, yang tidak didapati pada pemikir-pemikir sebelumnya. Ulil-lah yang secara tegas dan berani mengatakan itu. Bagi Ulil, hukum Tuhan harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan oleh Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.

Bibit pemberontakan Ulil—yang di kemudian hari melahirkan JIL—justru dimulai dari lingkungan pesantren. Ia mengaku dipertemukan pada jenis pemikiran dan sumber bacaan yang liberal, mulai dari Cak Nur, Gus Dur, Munawir Sjadzali, Masdar F. Masudi, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib.

JIL menjadi sangat terkenal secara nasional dan kontroversial setelah Ulil Abshar-Abdalla, menulis artikel di Kompas, pada 2002, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam”. Artikel ini ditulis karena menurut Ulil pemikiran Islam sekarang ini cenderung membeku—sulit didebat dan tak bisa dipersoalkan”. Cara penyajian Islam yang sederhana, bagi Ulil akan menghambat bagi kemajuan Islam.

Jika Cak Nur pada tahun 1970-an, menyajikan paper berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang menegaskan perlunya sekularisasi, maka artikel Ulil berjudul “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” menjadi kontroversial karena menegaskan perlunya menyegarkan kembali pemikiran Islam yang mengusung ide-ide sekitar pemikiran Islam, dan wacana seputar sekularisme, liberalisme, dan pluralisme.

Jika Beccaria, filsuf Italia, mengawal transisi pencerahan menuju negara modern—transisi ini berangkat dari negara monarkis yang tiranistik menuju reformasi birokrasi negara modern yang lebih liberal—maka Ulil, dengan keluasan ilmunya, ingin menegaskan perlunya menyegarkan kembali pemikiran Islam yang dirasa mengalami kemandegan, membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks, meyakini kebebasan beragama, dan memisahkan otoritas otoritas keagamaan dan politik, demi mewujudkan negara sekuler yang bebas dari intimidasi agama.

Ulil, dengan kebesaran namanya dan kecemerlangan pemikirannya, digambarkan oleh Neng Dara, sebagai pemikir yang kesepian, karena dentuman ide idenya dan keberaniannya yang menuai banyak ancaman, tak mendapatkan dukungan dan pembelaan dari negara atau organisasi yang membesarkannya. Dan, barangkali, kesepian dan kegelisahan, bagi Ulil, adalah sebagai cara berada di dunia. Kesepian inilah barangkali yang mengantarkan Ulil bertransformasi menjadi manusia ruhani.

Selamat ulang tahun Gus Ulil Abshar Abdalla semoga selalu sehat dan tak pernah lelah memberikan pencerahan. []ç