
Oleh : Mashuri Alhamdulillah.
“Tilar putra meksih alit, kalangkung ing kawlasarsa, Mas Karebet jejuluke, semana apakumpulan, sagung kawula-warga, ngaos pitung dintenipun, ambengan anulya medal”.
Nukilan Babad Jaka Tingkir, pupuh 31, bait ke-3, dalam metrum tembang Asmaradhana tersebut menjelaskan masa kanak-kanak Sultan Hadiwijaya, penguasa Kerajaan Pajang antara 1549—1582. Raja yang tenar dengan nama Jaka Tingkir dalam cerita rakyat tersebut bernama asli Mas Karebet sebagaimana yang tergurat dalam babad tersebut. Sebagaimana orang Jawa, nama itu disematkan pada putera Ki Ageng Pengging yang bernasib yatim sejak kecil itu sebagai sebuah penanda peristiwa, karena pada saat kelahirannya sedang digelar pertunjukan wayang krebet di rumah ayahnya di Pengging. Wayang krebet adalah sebuah jenis wayang yang kini lebih mashur disebut wayang beber atau ringgit beber.
Namun, ngablak ala kadarnya ini tak hendak membicarakan sosok penguasa legendaris penerus Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak Bintara tersebut, tetapi menitikberatkan pada wayang bebernya. Wayang Beber demikian popular pada masa itu, yang dimungkinkan muncul pada era jauh sebelumnya. Hingga kini wayang Beber pun masih dapat dilacak tilasnya, meskipun hanya berada di dua titik di pulau Jawa. Terlebih, lakon wayang beber yang bermuara pada tradisi Panji, mengajarkan cinta kasih dan kedamaian, yang tentu saja dapat dijadikan sebagai pijakan kreatif dalam memahami gerak zaman.
Memang, wayang berposisi unik saat ini di kalangan generasi muda, meskipun UNESCO (badan PBB yang mengurusi ilmu pengetahuan) sudah menahbiskannya sebagai salah satu warisan dunia. Padahal dalam sejarah kebudayaan di Indonesia, wayang sangat beragam, mulai dari bahan pembuatannya, cerita, dan penyajian pertunjukannya. Oleh karena itu, dikenal dengan adanya wayang kulit, wayang golek, wayang klithik, wayang tengul, wayang beber dan lain sebagainya. Beberapa jenis wayang lainnya kurang popular. Tentu realitas itu adalah sebuah anomali.
“Warisan ini yang perlu diajarkan pada generasi kita sekarang. Soalnya, warisan ini tidak pernah diajarkan di sekolah. Padahal, kandungannya demikian berguna untuk kondisi kita sekarang ini, ketika nilai-nilai luhur mulai luntur,” tegas Sinarto, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Timur, dan seorang dalang wayang kulit purwo.
FENOMENA WAYANG BEBER
Wayang beber termasuk jenis wayang generasi tertua di Indonesia. Wayang beber merupakan cikal bakal wayang-wayang lainnya, terutama wayang kulit. Meski demikian, pertunjukan wayang beber berbeda dengan wayang kulit. Bila wayang kulit, yang dijalankan adalah tokoh-tokoh wayang yang dibuat dari bahan kulit, tidak demikian dengan wayang beber. Sesuai dengan asal namanya, beber berarti membentangkan. Adapun yang dibentangkan adalah segulungan gambar yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh wayang yang diceritakan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan wayang beber adalah pertunjukan wayang yang menggunakan gulungan gambar-gambar sebagai objek pertunjukan oleh seorang dalang. Gambar-gambar itu dilukis pada selembar kertas atau kain yang disusun berdasarkan adegan-adegan dalam cerita. Satu gulungan berisi beberapa adegan. Bila adegan berganti, dibentangkan gulungan gambar lainnya sebagai sambungannya. Semuanya dipentaskan oleh seorang dalang secara berurutan sesuai dengan narasi atau lakon yang dikisahkan.
Gambar wayang dalam wayang beber mirip dengan wayang kulit. Dilukis dengan teknik seni lukis tradisional, yang biasa disebut dengan sungging. Yang membedakannya, gambar wayang tidak sampai berlubang, sehingga yang tampak adalah sebuah lanskap tokoh wayang berjajar dengan panorama alam atau tempat. Satu gulungan terdiri atas beberapa objek dan biasanya berisi empat adegan. Satu cerita wayang beber biasanya terdiri atas lima atau enam gulungan. Apabila akan dipertunjukan, gambar-gambar cerita itu dibentangkan di atas sebuah tempat khusus.
Ihwal perbedaan antara wayang kulit dan wayang beber, Arif Mustofa, intelektual dan budayawan muda Pacitan, menjelaskan, memang ada perbedaan di antara keduanya. Dalam pertunjukan wayang kulit, sisi yang dipertontonkan cuma bayangan. Kalau wayang beber, yang dipertunjukkan adalah gambamya. Menurut dia, selain bentuk fisik, cerita yang dibawa dalam pertunjukan wayang beber dan kulit juga berbeda. Jika wayang kulit biasa menyajikan kisah Mahabarata, Ramayana, dan Baratayudha, wayang beber hanya bisa membawa kisah-kisah Panji yang melibatkan tokoh-tokoh seperti Dewi Sekartaji dan Joko Kembang Kuning (Panji Asmarabangun).
“Cerita wayang beber, terdiri atas enam gulung. Satu gulung berisi empat adegan yang disajikan satu persatu. Jadi dalam pertunjukan wayang beber Pacitan, gambar dalam gulungan disajikan seperempat demi seperempat,” tandas Arif Mustofa.
Sementara itu, ihwal yang lebih dahulu mana wayang beber atau wayang kulit, terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara para ahli. “Kalau mengutip penjelasan Dr. Serrurier dan Raden Mas Utaya, wayang beber adalah induk wayang kulit. Logikanya, sebelum dipotong dan diukir menjadi wayang kulit, maka wujud wayang ini masih dalam lembaran kertas,” papar Arif Mustofa.
“Sebaliknya, Dr. G.A.J. Hazeu mengatakan, wayang beber hanyalah tiruan dari wayang kulit. Hazeu beralasan, pengetahuan membuat arca muncul lebih dahulu ketimbang membuat gambar. Kedua, kata wayang berasal dari wayangan atau bayangan.” tutur pria yang menjadi tenaga pengajar di STKIP PGRI Pacitan tersebut.
Sementara itu, wayang beber di Indonesia tinggal berada di dua tempat, yaitu di Kabupaten Pacitan, tepatnya di Dusun Karang Talun, Desa Gedompol, Kecamatan Donorojo, Pacitan dan di Gunung Kidul Yogyakarta, tepatnya di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul, Wonosari, yang disebut sebagai Wayang Beber Wonosari. Menurut beberapa sumber, perbedaan antara kedua Wayang Beber ini terletak pada tingkat keasliannya. Wayang Beber Pacitan tidak mengalami perubahan, baik dari segi ritual, bentuk, lakon, maupun gending (iringan musik). Wayang Beber Pacitan terjaga keasliannya, tanpa diubah sedikit pun. Sedangkan pada Wayang Beber Wonosari tidak demikian. Menurut seorang seniman Pacitan, Wayang Beber Wonosari telah mengalami perubahan, yakni dalam hal gendhing dan bahasanya. Bisa jadi karena itulah, Presiden Soeharto, sekitar 50 tahun lalu, menganggap wayang beber cuma ada satu, yaitu di Pacitan.
“Wayang beber yang ada saat ini hanya satu-satunya di dunia, dan itu ada di Pacitan, sebuah kawasan tertinggal di Jawa Timur. Dimana warganya terpaksa menanam padi di sela-sela batu,” tutur Presiden Soeharto, dalam sebuah pementasan wayang beber di Jakarta pada tahun 1969, terhadap Sumardi, 63 tahun, dalang generasi ke-13, yang sudah almarhum, warga Dusun Karang Talun, Desa Gedompol.
Wayang Beber Pacitan memang memiliki kekhasan tersendiri dan beberapa kali mengalami revitalisasi yang tetap berjalan dalam koridor tradisi. Pakem dan kesakralannya tetap dipertahankan, meskipun untuk sosialisasi sudah disesuaikan dengan kondisi kekinian. Dalam satu sisi, kesejarahan dan keasliannya dapat dirunut hingga zaman Majapahit terutama untuk wayang beber pusaka. Di sisi lain, sudah ada modifikasi yang merupakan revitalisasi terutama untuk unsur pembentuk seni wayang dan kecintaan pada budaya Jawa. Kini, beberapa generasi muda sudah melakukan pengenalan kembali kepada warisan Wayang Beber Pacitan.
Sebenarnya, pada dalam satu dasawarsa ini, wayang beber yang modifikasi sudah merambah di luar Pacitan. Cerita mulai diperkaya dengan cerita lainnya. Begitu pula dengan iringan musiknya. Hal itu pula yang dilakukan para dalang wayang kulit, sehingga wayang ini masih tetap sering dipentaskan dan mendapatkan tempat dalam kalbu masyarakat. Para penggiat revitalisasi wayang beber tidak hanya di tempat asal wayang beber saja, seperti di Pacitan dan Wonosari, tetapi juga di beberapa pusat kebudayaan lainnya.
Di beberapa kawasan, terdapat banyak pembaharu seni wayang beber yang masuk dalam pengembangan wayang beber kontemporer. Di antaranya adalah wayang beber di Yogyakarta, Wayang Beber Kota di Solo dan Komunitas Wayang Beber Metropolitan di Jakarta, dan lainnya. Wayang Beber Kota digagas oleh Dani Iswardana. Pada 14 Februari 2005, pentas pertama kali di Balai Soedjatmoko, Solo. Cerita yang dibawakan dalam pementasan tidak lagi menggunakan Panji itu sebagai sebuah narasi penceritaan, tapi hanya spirit Panji itu masih melekat dalam bentuk gambar dan penceritaannya. Karena pesan tentang Panji itu adalah hilangnya cinta kasih, lalu mencoba untuk bangkitkan hal itu melalui sebuah kesadaran kritik sosial, seperti hilangnya pasar tradisi yang diganti dengan mal yang lebih kearah sosial. Cerita tersebut adalah hal tentang hilangnya cinta kasih itu yang diingatkan untuk di bangkitkan kembali.
Sementara itu, pertunjukan wayang beber oleh Komunitas Wayang Beber Metropolitan disesuaikan dengan kehidupan metropolitan di Jakarta yang menawarkan berbagai hiburan dan kesenian yang beragam bagi warganya. Komunitas ini mencoba untuk memunculkan fenomena metropolitan yang ada ke dalam bentuk karya seni pertunjukan Wayang Beber Kontemporer dan mencoba untuk menjawab permasalahan isu-isu perkotaan tetapi dengan bentuk kesenian.
“Sebenarnya Wayang Beber Pacitan sangat potensial untuk dikembangkan dan sesuai dengan kondisi kekinian. Ada pesan cinta yang universal di dalamnya,” tutur Endro Wahyudi, ketua Dekan Kesenian Pacitan.
SEJARAH & REVITALISASI WAYANG BEBER
Siapapun yang berwisata ke Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Penataran, Candi Jago, Candi Mirigambar dan candi lainnya, pasti akan melihat relief di dinding candi. Relief itu mengandung cerita-cerita. Dengan kata lain, relief merupakan kisah-kisah yang dipahatkan di batu, terutama berupa kisah-kisah wayang. Sebuah sumber menyebut, menurut kitab Serat Sastramiruda, relief candi itulah awal mula wayang sesungguhnya. Pewayangan di candi-candi itu disebut wayang watu (batu) dan pertama kali ada pada abad ke-9. Selanjutnya, kisah asal-usul yang tergurat dalam kitab kuno tersebut menuturkan, kemunculan wayang batu ditulis dalam candra sengkala atau sengkalan berbunyi gambaring wayang wolu, yang berarti 861 Saka. Ketika dikonversi menjadi tahun 939 Masehi.
Meski tidak ada kesesuaian penanggalan dari paradigma kesejarahan dalam Serat Sastramiruda, tetapi kitab itu adalah acuan utama dalam penelusuran asal-usul wayang beber. Selama, sumber asal-usul wayang beber lebih tergantung kepada tradisi tutur daripada tradisi tulis. Adapun Serat Sastramiruda adalah salah satu sumber tertulis yang masih dikenali dan menjadi rujukan dari berbagai kalangan ahli perwayangan. Uraian berikut ini merupakan saripati dari Serat Sastramiruda untuk menggambarkan sejarah awal kemunculan wayang dan posisi wayang beber di antara wayangnya, mulai masa Kerajaan Jenggala hingga Kerajaan Mataram Islam, mulai dari wayang lontar hingga wayang beber dluwang, meskipun Wayang Beber Pacitan memiliki versi kisahnya sendiri.
Masih mengacu pada sumber tersebut, dalam Serat Sastramiruda dikisahkan, ketika masa Kerajaan Kartasura tahun 1690 M, di bawah pemerintahan Amangkurat II di Kartasura, gambar wayang beber diciptakan kembali dengan lakon Joko Kembang Kuning. Cerita itu mencapai enam gulungan kertas dan pembuatannya selesai pada tahun 1692 M. Selain itu pada masa Pakubuwana II di Kartasura, juga dibuat wayang beber dengan siklus Panji dengan lakon Jaka Kembang Kuning dan Remeng Mangunjaya yang selesai dibuat pada tahun 1735 M. Ketika masa pemerintahan Pakubuwana II, terdapat pemberontakan Cina dan Keraton Kartasura dapat dikuasai pemberontak, yang didukung kerabat keraton, yaitu Mas Garendi (Sunan Kuning). Ketika dievakuasi, anggota kerajaan membawa semua benda-benda pusaka termasuk perlengkapan wayang beber Joko Kembang kuning. Sebagian dari wayang beber ini menghilang di daerah Gunung Kidul, Wonosari dan sebagian lagi berada di Desa Karangtalun, Pacitan, yang hingga saat ini masih dipegang dari generasi ke generasi secara turun-menurun.
Hanya saja, sejarah Wayang Beber Pacitan memiliki sejarah dan silsilah dalangnya sendiri. Sahdan, Wayang Beber yang ada di Pacitan adalah asli dari Kerajaan Majapahit. Dalam Babad Tanah Pacitan disebutkan Wayang Beber tersebut dibawa oleh Ki Naladerma sebagai imbalan dari sayembara yang diadakan oleh Prabu Brawijaya (Raja Majapahit) karena telah menyembuhkan puteri raja yang sakit. Pada saat itu, raja Majapahit dikhawatirkan oleh puterinya yang menderita sakit parah dan tidak kunjung sembuh. Oleh sebab itu, sang raja mengadakan sayembara bagi siapa pun yang mampu menyembuhkan puterinya yang sakit. Ki Naladerma yang mendengar berita tersebut tergugah hatinya untuk mengikuti sayembara. Ki Naladerma ingin menjajal kesaktiannya untuk menyembuhkan puteri raja karena Ki Naladerma kerap menyembuhkan penyakit orang-orang di desanya. Ki Naladerma mengobati sang puteri dengan mantranya. Raja menawarkan hadiah kepada Ki Naladerma, yaitu sebagai tumenggung di Keraton Majapahit. Namun, hadiah itu ditolak dia. Begitu pula dengan hadiah uang. Akhirnya raja menawarkan Wayang Beber kepada Ki Naladerma. Hadiah tersebut diterima Ki Naladerma dengan senang hati. Menurutnya, Wayang Beber merupakan hadiah yang tidak ternilai harganya karena dapat diwariskan kepada keturunannya.
Wayang Beber Pacitan diwariskan turun-temurun menurut garis keturunan secara vertikal. Dalang Wayang Beber Pacitan haruslah seorang laki-laki. Singkat cerita, Pada tahun 1900, Wayang Beber diwariskan kepada anak laki-laki dari Palesana yang bernama Pasetika dan dijuluki sebagai Gunakarya. Pada tahun 1940, kepemilikan Wayang Beber diambil alih oleh Sarnen, yang kemudian mendapat julukan Gunacarita. Pada tahun 1980, Sumardi (anak laki-laki Sarnen atau Gunacarita) menjadi dalang Wayang Beber yang ke-13 dan mendapat julukan Gunautama.
“Saya menerima warisan seperangkat wayang beber dari bapak saya, Ki Dalang Sarnen atau Gunacarita,” papar Sumardi, sebagaimana dikutip dari Mossaik, edisi Januari 2006.
Sumardi tidak memiliki anak laki-laki, sehingga Sumardi harus mewariskan Wayang Beber Pacitan kepada cucu laki-lakinya agar terjadi nunggak semi. Kala itu, Handoko, cucu Sumardi, masih kecil, sehingga belum bisa menjadi dalang. Namun, mengingat usianya yang sudah renta dan khawatir akan kepunahan pertunjukan wayang beber sepeninggalnya, maka Sumardi berpikir untuk meregenerasi dalang, yaitu melanggar adat turun-temurun dengan menunjuk orang lain sebagai dalang. Akhirnya, Sumardi menunjuk Rudi Prasetyo, seorang penggiat seni di Pacitan sebagai dalang, meskipun tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga dalang pakem Wayang Beber Pacitan.
Ketika Sumardi wafat pada sekitar 2012, praktis yang menjadi dalang adalah Rudi Prasetyo sebagai dalang, sambil menyiapkan dalang wayang beber yang sesuai dengan garis keturunan. Kini, Handoko pun mulai praktik dalang dengan wayang beber yang dikeramatkan dan untuk kepentingan sakral. Ringgit beber pusaka ini tersimpan dalam kotak wayang beber. Lebarnya hanya satu kaki, panjangnya empat kaki, dan tingginya satu setengah kaki. Gawang untuk panggung pada saat digelar dibuat dari kayu, panjangnya kurang lebih satu setengah meter dan tingginya setengah kaki. Iringan gamelannya berupa rebab, kethuk, kenong, kempul, serta kendang. Gendingnya hanya ayak-ayakan. Pada saat adegan perang, tabuhannya diperkeras tetapi jika sedang cerita, tabuhannya hanya lamban saja. Perjalanan menggelar wayang beber waktunya hanya setengah hari saja. Misalnya, mulai pukul 20.00 dan selesai pukul 24.00.
Dari cerita Gondolesono, wayang, kotak, cempala, serta semua tetabuhan merupakan pemberian dari Keraton Majapahit. Mulai menerima semua hal tersebut dari Prabu Brawijaya hingga sekarang, dan tidak ada yang mengalami perubahan. Walaupun ada yang rusak, Gondolesono tidak berani untuk memperbaikinya, meskipun memperbaikinya tidak terlalu sulit, sebab dia masih memunyai keyakinan bahwa semua wayang atau satu unit tabuhan itu masih merupakan barang dianggap keramat, tetapi takut dengan dampak atau balaknya.
“Ringgit beber pusaka harus pakai sesaji, yang terdiri dari kembang boreh, ketan yang ditumbuk halus, tumpeng dan panggang ayam, ayam hidup, jajan pasar dan pembakaran kemenyan. Untuk upacara ruwatan atau bersih desa perlu ada tambahan sesaji berupa sebuah kuali baru, kendi baru dan kain putih baru. Tetapi kalau menggunakan putran dapat tidak menggunakan sesaji karena hanya dari segi pertunjukan saja,” tutur Rudi Prasetyo.
Muatan wayang beber asli memang terbilang bersih dari pesanan. Hal itu berbeda dengan wayang kulit atau wayang krucil yang seakan-akan dapat leluasa bicara tentang apapun, terutama untuk persoalan aktual dan keseharian. Biasanya pertunjukan wayang beber, untuk memenuhi ujar dalam kultur Jawa, sama dengan nadhar dalam ajaran Islam. Misalnya ada warga yang sedih karena anaknya sakit dan tak kunjung sembuh.
“Sepanjang yang saya tahu, wayang beber hanya digunakan untuk medium permohonan. Agar niat seseorang bisa jadi lebih mudah. Niat kesembuhan, kemakmuran, atau mau melahirkan. Intinya, hanya bisa digunakan untuk hal baik saja,” tutur Sumardi, dikutip dari Mossaik, Januari 2006.
Unsur sakral memang tak dapat dipisahkan dalam tradisi wayang beber Pacitan, baik dari segi barang maupun fungsinya, karena untuk membersihkan wayang beber pusaka harus dengan bulu merak dan setiap bulan Suro atau Muharram. Namun kesenian tradisi ini termasuk terancam punah karena terdesak oleh nilai-nilai budaya modern. Usaha revitalisasi wayang beber telah dilakukan walaupun belum optimal karena beberapa hambatan. Pandangan lama atas wayang beber dan desakan budaya modern menghambat revitalisasi wayang beber. Demikian pula mentransformasikan Wayang beber dari seni sakral menjadi seni hiburan menjadi hambatan lain yang belum sepenuhnya teratasi. Oleh karena itu, revitalisasi wayang beber harus dimulai dengan kebijakan yang tepat, komitmen pemimpin daerah, dukungan masyarakat dan swasta, serta dilakukan secara sinergis antarpara pihak yang peduli terhadap wayang beber.
Para pemerhati budaya sangat mengerti persoalan tersebut. Oleh karenanya, batas-batas itu tetap dipelihara dan tidak dilanggar. Namun, agar wayang beber tidak hanya sekadar artefak yang tidak dikenali beberapa pemerhati budaya pun melakukan serangkaian revitalisasi. Revitalisasi yang dilakukan adalah mendekatkan wayang beber untuk turut menjawab persoalan-persoalan kekinian. Banyak orang kreatif yang peduli pada wayang beber agar tidak stagnan, bahkan mati dilindas arus zaman. Beberapa di antaranya melakukan kreasi-kreasi tanpa merusak pakem dan sakralitas. Itu tidak hanya untuk Wayang Beber Pacitan semata.
“Segala seni tradisi memang bagus direvitalisasi sesuai dengan zamannya agar berterima di kalangan para pewarisnya. Bila dibiarkan apa adanya, tentu tidak sesuai zaman dan akan hilang dengan sendiri. Termasuk di dalamnya kentrung, sandur, dan lainnya,” tegas Rohmat Djoko Prakosa, dosen Sekolah Tinggi Wilwatikta Surabaya.
Crit!
MA
On Sidopurno, 2021
Ilustrasi ramban Google. Jepretan sendiri ketlisut.