Menelusuri Jejak Intelektual & Sanad Qiraat al Muqri’i KH. M. Moenawir Krapyak Jogja

 

Sosok KH. M. Moeunawir dikenal sebagai Mahaguru Ulama Nusantara, khususnya dalam bidang ilmu qiraat Al-Qur’an. Berikut ini laporannya :

 

Namanya begitu harum seiring dengan tersebarnya jaringan keilmuan beliau lewat murid-murid di berbagai penjuru tanah air. Meski telah lama Pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir, Dusun Krapyak Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta ini telah berpulang ke Rahmatullah namun keberkahan ilmunya terus bisa kita rasakan sampaikan detik ini. Meski begitu takkan ada sosok segemilang KH. Moenawir yang telah berhasil menebar cahaya ilmu Al-Qur’an di Nusantara ini, tanpa jasa guru-guru mulai yang telah dengan ikhlas mendarma baktikan ilmunya seraya mendoakan murid-muridnya.

Dalam buku “Manaqibus Syaikh: K.H. M. Moeunawir Almarhum: Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta” yang diterbitkan oleh Majelis Ahlien (Keluarga Besar Bani Munawwir) tahun 1975 disebutkan guru pertama KH. M. Moeunawir adalah ayah beliau sendiri, Kyai Abdullah Rosyad, putra dari Kyai Hasan Bashori yang menikah dengan putri Kyai Nur Jalifah, Trenggalek. Kyai Abdullah Rosyad adalah putra keempat dari 7 bersaudara, berikut urutannya Kyai Moh. Hamim (Kauman, Yogjakarta), Nyai Misbah Rejondani, Nyai Hasan Mukhtar, Kyai Abdullah Rosyad (Dongkelan Jogjakarta), Nyai Ali (Muntilan, Magelang), Kyai Muhaiyat (Tukangan, Yogyakarta), Kyai Abdurrahman.

Kakek KH. M. Moeunawir, yakni KH. Hasan Bashori adalah ajudan Pangeran Diponegoro. Ia pernah mendapat tugas dari Pangeran Diponegoro untuk merebut daerah Kedu dari tangan penjajah Belanda waktu itu. Terbukti dengan surat Pangeran Diponegoro sebagai berikut:

“Surat ini datang dari saja kandjeng Gusti Pangeran Diponegoro serta Pangeran Mangkoe Boemi di Djogyakarta Adiningrat kepada semoea teman di Kedoe, menjatakan bahwa sekarang negeri Kedoe sudah saja minta. Orang semuanja mesti tahoe akan hal ini, laki-laki, perempuan, besar ketjil, tidak perloe diseboetkan satoe persatoe. Adapoen orang jang saja soeroeh namanja Kasan Besari, djikaloe soedah mengikoeti soerat oendangan saja ini biarlah lekas sedia sendjata, biar reboet negeri dan betoelkan agama rasoel. Djikalaoe ada jang berani tiada maoe pertjaja akan boenjinja soerat saja, maka dia saja potong lehernya.” Kamis tanggal 5 boelan Hadji tahoen Be (31 – Djoeli – 1825).

Dari surat diatas, maka itu maka beliau diangkat oleh Pangeran Diponegoro menjadi Komandan Pasukan. Ditilik dari nasab KH. Hasan Bashori dan Pangeran Diponegoro masih terhitung family. Zainul Milal Bizawie dalam Jejaring Ulama Diponegoro mengatakan bahwa KH. Hasan Basori adalah putra Kyai Nur Iman Mlangi bin Amangkurat IV (dari pernikahan dengan RA. Susilowati bin Untung Suropati) bin Pakubuwono I bin Amangkurat I bin Sultan Agung Hanyokrokusumo. Dari garwa ampeyan (selir) Mas Ayu Tejawati, Amangkurat IV dikaruniai putra yang bernama Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubowono I yang merupakan kakek buyut Pangeran Diponegoro.

Setelah Perang Jawa (1825-1830) berakhir, Kyai Hasan Bashori sendiri diasingkan oleh Kolonial Belanda ke Manado Beliaupun menetap disana hingga wafat. Sejak dulu Kyai Hasan Bashori ingin sekali menghafalkan kitab Suci Al-Qur′an. Setelah ia mencoba berkali-kali merasa berat, maka ia melakukan riyadhah dan mujahadah. Akhirnya beliau mendapat ilham, bahwa apa yang dicita-citakannya itu baru akan dianugerahkan pada keturunannya
kelak.

Kyai Abdullah Rosyad sendiri mempunyai empat orang istri, salah satu diantaranya adalah Nyai Khodijah (Bantul) yang menurunkan: KH. Mudzakkir (ayah Prof. Abd. Kahar Mudzakkir), KH. M. Moeunawir, Kyai Muhdi, Kyai Amiruddin (w. 1941), Kyai Abdul Rahman, Nyai Ma′shum, Nyai Romiyah, Ny. Kubrodini (w. 1957). KH. Abdullah Rosyad sendiri juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghafal Al-Qur′an, ia melakukan riyadhah dan mujahadah selama 9 tahun dalam usaha untuk menghafal Al-Qur′an. Sewaktu di tanah suci Mekkah Kyai Abdullah Rosyad pun mendapat ilham sebagaimana ayahnya, bahwa yang akan dianugerahi hafal Al-Qur′an adalah anak cucunya kelak.

Maka setelah beliau dikaruniai putra, dalam hal ini KH. M. Moeunawir, maka sebagai targīb (spirit) nderes Al-Qur′an, beliau memberikan hadiah uang sebesar Rp. 2.50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya satu kali. Ternyata hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan sekalipun hadiah sudah tidak diberikan lagi, sang putra masih tetap melakukannya.

Nyantri ke Jawa Madura
Setelah belajar kepada ayahandanya, KH. M. Moeunawir belajar kepada beberapa ulama’ diantaranya KH. Abdullah Kanggotan, Pleret, Bantul, KH. Soleh Darat Semarang juga guru dari Syaikh Mahfudz Tremas, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH Idris Jamsaren, Raden Ajeng Kartini dan lain-lain, KH. Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo Watucongol Magelang, dan Syaikhona Kholil bin Abdul Lathif, Demangan, Bangkalan.

Di antara nama guru KH. Moenawir diatas yang saat kami telusuri adalah ketika KH. M. Moeunawir mondok di Demangan Bangkalan. Sebagaimana KH. Soleh Darat, Syaikhona Kholil dikenal sebagai mahaguru ulama Nusantara. Diantara muridnya adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. As’ad Syamsul Arifin dan lain-lain yang kelak mereka akan mendirikan Nahdlatul Ulama’ pada 31 Januari 1926. Syaikhona Kholil selain dikenal sebagai sosok alim Allamah juga masyhur akan kewaliannya. Diantara karomahnya adalah mampu memprediksi masa depan calon muridnya, termasuk KH. M. Moeunawir bin Abdullah Rosyad.

Dikisahkan saat pertama kali KH. M. Moeunawir datang mondok di Bangkalan, saat itu dikumandangkan adzan dari masjid. Maka santri pun berbondong-bondong menuju masjid untuk menunaikan sholat. Maka ketika iqomat dikumandangkan, maka tiba-tiba Syaikhona Kholil meminta kepada KH. M. Moeunawir santri barunya tersebut untuk menjadi imam seraya mengatakan bahwa dia adalah seorang muqri’ (ahli qiraat).

Selain dikenal sebagai Ahli Fiqh dan Nahwu, Syaikhona Kholil juga seorang muqri’. Diantara Guru Qiraat Syaikhona Kholil adalah Syaikh Ali ar-Rahbini. Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Al Rahbini adalah seorang ulama ahli qiraat di Makkah. Adapun putra beliau yang bernama Syaikh Muhammad bin Ali disebutkan dalam kitab Siyar wa Tarajim karya Syaikh Umar Abdul Jabbar, bahwa Syaikh Muhammad lahir pada tahun 1286 H atau sekitar 1871 dan wafat tahun 1351 H atau sekitar 1934 M. Maka Syaikh Muhammad bin Ali lebih muda 36 tahun dari Syaikhona Kholil. Beliau masuk dalam jajaran ulama Makkah abad ke-13, sezaman dengan Sayyid Abbas bin Abdul Aziz Al-Maliki, kakek Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki dan guru Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. (alrahbini.or.id).

Dalam Taqrirat Syaikhona Kholil ala Mandzumah Nuzhati Thullab disebutkan bahwa Syaikhona Kholil pernah berguru kepada Syaikh Ahmad bin Muhammad ar-Rifa’i al-Hulwani al-Kabir Ad-Dimasyqi (1228 H – 1307 H) seorang Syaikhul Qurro’ Syam dan pengarang Kitab Al-Lathaiful Bahiyyah Syarah al-Minhatu Saniyyah fi Ilmi Tajwid. Syaikh Ahmad al-Hulwani adalah murid langsung Sayyid Ahmad bin Ramadhan al-Marzuqi al-Maliki al-Misri (1205-1257 H) bersama Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1232 H -1304 H), pengarang Mukhtasor Jiddan syarah Matan al-Jurumiyyah yang juga guru dari Syaikhona Kholil Bangkalan.

“Informasi sanad diatas diperoleh dari KH. Yasin Kepang, Bangkalan cucu Syaikhona Kholil dari Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani. Namun Syaikhona Kholil masih sempat berguru langsung kepada Sayyid Ahmad Ramadhan al-Marzuqi” ujar Lora Usman Hasan Su Kakov Ketua Lajnah Turost Syaikhoina Ilmi Syaikhona Kholil Bangkalan ketika kami sowan ke kediamannya pada 18 Desember 2020 silam.

Syaikh Ahmad al-Marzuqi yang dikenal sebagai penulis Kitab Aqidatul Awwam juga mempunyai murid yang masyhur di Indonesia yakni Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Batuhampar (1777 M -1899 M). Hal ini kami saksikan langsung saat melihat manuskrip sanad Syaikh Abdurrahman Batuhampar pada 17 Nopember 2020 silam di sekitar areal makamnya di Nagari (Desa) Batuhampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat bersama KH. Ma’ruf Khozin, KH. Muhammad Idrus Ramli, Ajengan Ahmad Ginanjar Sya’ban, Gus Najih Ramadhan, Buya Apria Putra dan kawan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).

Syaikh Abdurrahman adalah kakek dari Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia H. Muhammad Hatta (1902 M -1980 M) atau dikenal dengan Bung Hatta. Bung Hatta yang dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat ini adalah putra Syaikh Muhammad Jamil (1873-1903 M) bin Syaikh Abdurrahman Batuhampar. Kelak pada 17 Agustus 1945, beliau bersama Ir. Ahmad Soekarno atau Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta.

Mengaji ke Tanah Suci
Setelah puas menimba ilmu di tanah air, maka pada tahun 1888 M. KH. M. Moeunawir melanjutkan pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (Dua Tanah Suci), baik di Makkah Al-Mukarromah maupun di Madinah Al-Munawwaroh. Diantara guru KH. Moenawir saat belajar disana tersebutlah sosok Syaikh Yusuf bin Yusuf bin Husain bin Abdillah bin Sayyid bin Hajar ad-Dimyathi al-Makki. Nama lengkap Syaikh Yusuf diatas kami sadur dari Mu’jam Tarikh at-Turast al-Islamiy fi Maktabati Alami karya Syaikh Ali ar-Ridha Qurroh Baluth dan Syaikh Ahmad Thuran Qurroh Baluth. Dalam Harakatu Ihya’ at-Turats fi Mamlakati al-Arabiyah dikatakan bahwa Syaikh Yusuf Husain adalah pengarang Kitab ad-Dur an-Nadhid fi Bayani Tajwid al-Fadz al-Qur’an al-Majid. Manuskrip kitab ini saat ini tersimpan di perpustakaan Makkah al-Mukarramah, yang berlokasi tak jauh dari Masjidil Haram.

Bangunan perpustakaan seluas 10 x 18 meter tersebut berdiri diatas tanah yang sebelumnya adalah rumah Abdul Muthalib yang menjadi tempat kelahiran cucunya, Nabi Muhammad SAW. Setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, maka rumah tersebut dihuni oleh Aqil bin Abi Thalib dan keturunannya. Selanjutnya di atas tanah mulia tersebut didirikan masjid oleh Khairuzan, ibunda Khalifah Harun ar-Rasyid (w. 809) dan dibongkar pada tahun 1950 oleh Raja Abdul Aziz bin Sa’ud (w. 1953). Lahan tersebut bahkan sempat menjadi terminal sampai kemudian didirikan perpustakaan oleh Syaikh Abbas al-Qatthan (Republika.com).

Kitab ad- Dur Nadhid fi Bayani Tajwid al-Fadz al-Qur’an al-Majid diatas diterbitkan oleh Percetakan Al-Majidiyyah tahun 1331 H / 1913 M. Ahmad Ginanjar Sya’ban menyebutkan bahwa Percetakan (mathba’ah) “al-Taraqqi al-Majidiyyah” yang berbasis di Makkah dan didirikan oleh Syaikh Majid bin Shalih al-Kurdi pada tahun 1327 H (1909 M). Syaikh Majid al-Kurdi sendiri adalah adik ipar dari Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi (w. 1916), seorang ulama besar Makkah Koto Tuo, Ampek Angkek, Agam, Sumatra Barat, imam dan khatib Masjidil Haram, dan Mahaguru Ulama Nusantara seperti Pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari (w. 1947) dan Pendiri Muhammadiyyah KH. Ahmad Dahlan (w. 1923) yang merupakan suami dari Siti Rum’ah binti Abdulloh Rosyad atau adik kandung KH. M. Moeunawir

Sampai saat ini, Tim Sanad Qiraat Nusantara belum menemukan tarajim (biografi) yang lengkap tentang sosok Syaikh Yusuf Husain. Namun menurut penelusuran kami sejauh ini ada murid Syaikh Yusuf Hajar selain KH. M. Moeunawir yakni Syaikh Abdul Latif bin Fakhruddin Qori al-Hindi (w. 1937), guru dari Syaikh Zakaria bin Abdillah Bila (w. 1992), ulama keturunan Labuhan Batu, Sumatera Utara dan kawan akrab Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani (w. 1990). Selanjutnya adalah Syaikh Ahmad Abdullah Nadzirin (w. 1951) guru dari Anregurutta As’ad bin Abdurrasyid (w. 1952), Pendiri Pondok Pesantren As’adiyah, Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan.

Dalam naskah sanad KH. Arwani Amin (w. 1994), Kudus yang diberikan langsung oleh KH. Moenawir pada 7 Jumadil 1355 H atau sekitar tahun 1936 dijelaskan bahwa Syaikh Yusuf Hajar adalah murid Syaikh Sa’id bin Ahmad Sa’ad Untar. Disebutkan dalam naskah sanad lain, KH. Arwani Amin memperoleh sanad dari gurunya Syaikh Abu Su’ud bin Yusuf asy-Syafi’i saat belajar di Pondok Pesantren Jamsaren, Surakarta pada tahun 1918 di bawah asuhan KH. Idris Jamsari (w. 1923). Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa Syaikh Abu Su’ud berguru kepada Sayyid Hasan bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Ja’fari yang merupakan murid dari Syaikh Sa’id Untar.

Selanjutnya Syaikh Sa’id Untar belajar kepada Syaikh Ahmad bin Abdurrahman al-Haruni, murid dari Syaikh Abu al-Izz Muhammad bin Musthofa Hasan ad-Dimyathi (w. 1870), penyusun kitab Ma’rifatu I’jaz al-Qur’an al-Karim. Syaikh Muhammad bin Mustofa ad-Dimyathi berguru kepada Syaikh Abdullah Luth bin Abdullah bin Ahmad al-Ghanam yang murid dari saudara kandungnya Muhammad Ayub Luth. Diriwayatkan bahwa setidaknya Syaikh Muhammad Ayub Luth pernah mengambil sanad dari lima ulama, diantaranya adalah Syaikh Abdullah an-Naqqas, Syaikh Muhammad Thal, Syaikh Hasan bin Ahmad al-‘Awadili ad-Dimyathi, Syaikh Ali bin Umar bin Ahmad al-Mihi dan Syaikh Abdul Karim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi.

Nama terakhir sering disebut menjadi guru langsung dari KH. Moenawir dan hal ini banyak tertulis dalam berbagai sanad. Namun berdasarkan riset kami mengatakan bahwa hal itu kurang tepat. Sebagaimana Syaikh Yusuf Hajar, memang tarajim (biografi) lengkap Syaikh Abdul Karim ad-Dimyathi belum ditemukan. Namun di beberapa kitab, salah satunya Jawahirul Hisan fi Tarajim al-Fudhola’ al-A’yan min Asatidzat wa Khallan karya Syaikh Zakaria Bila, diketahui bahwa Syaikh Abdul Karim ad-Dimyathi adalah ulama yang sekurun dengan Syaikh Ali al-Mihi.

Syaikh Ali bin Umar al-Mihi adalah guru Syaikh Sulaiman al-Jamzuri dalam bidang ilmu qiraat. Hal ini sebagaimana dituliskan dalam bait keempat Nadzam Tuhfatul Athfal wal Ghilman fi Tajwid al-Qur’an
سَمَّيْتُهُ بِتُحْفَةِ الأَطْفَالِ * عَنْ شَيْخِنَا المَيْهِي ذِيْ الْكَمَالِ
“Saya namai ia (kitab ini) dengan Tuhfatul Athfal” dari guru kami al-Mihi, yang memiliki kesempurnaan”

Dalam Fathul Aqhfal syarah Tuhfatul Athfal, Syaikh Sulaiman al-Jamzuri menyebutkan bahwa gurunya bernama lengkap Syaikh al-Alim Allamah al-Bahru Fahamah Sayyidi wa Ustadzi Nuruddin Ali bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Naji al-Mihi, semoga Allah SWT memberikan kebermanfaatan bagi ilmunya. Kepadanya, Syaikh Sulaiman al-Jamzuri belajar ilmu qiraat dari Thariq (Jalur) as-Syatibiyyah karya Imam Abul al-Qosim bin Firruh bin Kholaf bin Ahmad ar-Ruaini asy-Syatibi al-Andalusi ad-Dharir (w. 1194) dan Kitab ad-Durroh al-Mudhiyyah (karya Imam Abu al-Khair Muhmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Yusuf al-Jazari (w. 1429)

DR. Yasir Ibrahim al-Mazru’i dalam Audhohu Dalalat fi Asanid Al-Qiraat menyebutkan bahwa Syaikh Ali al-Mihi dilahirkan pada tahun 1139 H di Mih, sebuah daerah yang sama dengan Syaikh al-Jamzuri yakni di Provinsi al-Manufiyah, Mesir. Kota Mih saat ini bertetangga dengan Kota Sheben el-Kom di provinsi yang sama. Syaikh Ali Al-Mihi juga dikenal sebagai ulama besar bermadzhab Syafi’i.

Di kota tersebut Syaikh Ali al-Mihi belajar bersama Syaikh Abdul Karim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi belajar kepada ulama terkemuka seperti Syaikh Ismail Basytin al-Mahalli al-Marhumi al-Azhari. Syaikh Ali Al-Mihi menyelesaikan studinya di Universitas Al-Azhar, kemudian pindah ke kota Thanta dan menetap disana. Selama hidupnya beliau pernah menyusun kitab ar-Raqaiq al-Munaddzomah yang menjelaskan kitab Daqoiq al-Muhkamah karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w. 926) yang menjadi syarah (penjelasan) dari Muqoddimah al-Jazariyyah karya Ibnu Jazari. Sejak memutuskan untuk menetap di kota Thanta itu, beliau menyibukkan diri dengan mengajarkan ilmu syariat dan qiraat, hingga Allah SWT mewafatkannya pada 14 Rabi’ul Awwal 1204 Hijriyah atau bertepatan 1790 Masehi

Maka dari ini kami memberikan kesimpulan bahwa sanad KH. M. Moeunawir yang lahir pada tahun 1875 dan berangkat ke tanah suci tahun 1888, tetap bersambung dengan Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri ad-Dimyathi, namun harus melalui beberapa ulama. Meski begitu kami masih membuka peluang bagi siapa saja untuk ikut meneliti tentang sosok beliau dan berkenan mengkoreksi jika dikemudian hari ditemukan kekhilafan.

Berikut silsilah sanad KH. M. Moeunawir yang bersambung kepada Syaikh Abdul Karim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi.
1. KH. M. Moeunawir bin Abdullah Rosyad (w. 1944)
2. Syaikh Yusuf Husain ad-Dimyathi
3. Syaikh Sa’id bin Ahmad Sa’ad Untar
4. Syaikh Ahmad bin Abdurrahman al-Haruni
5. Syaikh Muhammad bin Musthafa ad-Dimyathi (w. 1870)
6. Syaikh Abdullah Luth bin Abdullah bin Ahmad al-Ghanam
7. Syaikh Muhammad Ayyub Luth bin Abdullah al-Ghanam
8. Syaikh Abdul Karim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi

Diatas kami juga sebutkan nama guru dari Syaikh Muhammad Ayyub Luth adalah Syaikh Ahmad bin Hasan al-‘Awadili. Disebutkan bahwa Syaikh Ahmad al-‘Awadili memiliki murid yang lain bernama Syaikh Muhammad Syatha ad-Dimyathi (w. 1851). Dalam Audhohu Dalalat fi Asanid al-Qira’at dijelaskan bahwa Syaikh Muhammad Syatha Zainuddin bin Mahmud bin Ali As-Syafi’i adalah ulama kelahiran Dimyath, Mesir. Beliau adalah ayahanda dari Syaikh Abu Bakar Syatha (w. 1892), Pengarang I’anatu Thalibin syarah Fath al-Mu’in dan guru dari ulama nusantara lainnya seperti Kyai Abdul Mannan Dipomenggolo, Pendiri Perguruan Islam Tremas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur pada tahun 1830.

“Syaikh Muhammad Syatha adalah guru dari KH. Abu Bakar (Kebasen Banyumas) yang memiliki murid, yakni guru saya Mbah Malik Kedungparuk, Purwokerto” kata Maulana Habib Muhammad Lutfi saat kami sowan ke kediamannya di Pekalongan, Jawa Tengah 17 Ramadhan 1442 H silam.

KH. Abdul Malik atau Muhammad Ashad dilahirkan di Kedung Paruk Purwokerto, pada hari Jum’at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H atau 1881 M dan wafat Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H yang bertepatan dengan 17 April 1980 M.. Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan “Surat Kekancingan” (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta.

Dalam Kifayatul Asanid lima ala min al-Asanid karya Syaikh Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Mannan Dipomenggola at-Tremasi al-Makki (w. 1920) dikatakan bahwa Syaikh Muhammad Syatha menurunkan sanad Al-Qur’annya kepada Syaikh Ahmad Al-Lakhbuth (w. 1883) yang memiliki murid bernama Syaikh Muhammad Syarbini ad-Dimyathi (w. 1903), guru dari Syaikh Mahfudz Tremas. Kepada Syaikh Muhammad Syarbini Syaikh Mahfudz banyak mengkaji beberapa kitab qiraat diantaranya Siraj al-Qari’ al Mubtada wa Tidzkar Muqri’ al-Muntaha karya Imam Ali bin Qasim bin Usman yang masyhur disebut Ibnu al-Qashih (w. 1399), Syarah ad-Duroh al-Mudhiyyah, Syarah Thoyibat an-Nasyr (kedua kitab ini adalah karya Ibnu al-Jazari. Di kemudian hari Syaikh Mahfudz menyusun kitab Ghunyah Tholabah Syarah Thoyibah an-Nasyr), Ithfafu Fudhola al-Basyr fi Qira’at Arba’at al-Asyr karya Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Banna (w. 1705) dan lain-lain.

Berikut catatan dan webinar kami tentang sanad Syaikh Mahfudz Tremas

Syaikh Mahfudz bin Abdullah Muqri’ Dunya dari Nusantara

Syekh Mahfudz at-Tarmasi, al-Muqri Dunya Dari Nusantara

Webinar Jejak Sanad Qiraat Syekh Mahfudz Tremas hingga KH. Arwani Amin Kudus

Dan ternyata KH. M. Moeunawir juga pernah belajar langsung kepada Syaikh Muhammad Syarbini ad-Dimyathi dan muridnya Syaikh Ibrahim bin Musa al-Khuzami as-Sudani (w. 1370). Hal ini kami dapati dari naskah sanad KH. Umar Sholeh (w. 1999), murid sekaligus menantu KH. M. Moeunawir. Sanad tersebut kami dapatkan setelah sowan ke kediaman KH. Muhammad Nawawi bin Umar di Pondok Pesantren Kempek, Gempol, Cirebon beberapa waktu silam. Dalam sanad tersebut disebutkan beberapa nama guru KH. M. Moeunawir selama menempuh studi sekitar 21 tahun (1888 – 1909) di Tanah Suci diantaranya : Syaikh Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Syarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrohim Huzami, Syaikh Manshur, Syaikh Musthofa, dan Syaikh Yusuf Hajar dan Syaikh Abdus Syakur.

Nama terakhir adalah seorang ulama Nusantara asal Surabaya. Ahmad Ginanjar Sya’ban mengungkapkan bahwa Syaikh Abdul Syakur bin Abdul Jalil bin Abdul Rahman Surabaya adalah menantu dari Sayyid Muhammad Syatha, juga ipar dari Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha (dikenal juga dengan Sayyid Bakri Syatha, w. 1899), pengarang kitab I’ânah al-Thâlibîn. Nama Syaikh Abdul Syakur Surabaya ini terekam dalam sanad KH. Hasyim Asy’ari yang meriwayatkan kitab “al-Hikam al-‘Athâiyyah” dari beliau pada Ramadhan 1318 H/Desember 1900 M.

Snouck Hurgronje dalam bukunya Mekka in the Latter Part of the 19th Century (diterbitkan pertamakali dalam bahasa Jerman pada tahun 1888), menulis sosok Syaikh Abdul Syakur Surabaya ini dengan gamblang. Dikisahkan Hurgronje bahwa Syaikh Abdul Syakur adalah seorang ulama sufi Makkah asal Nusantara yang memiliki forum intelektual dan majlis keilmuan dengan jumlah audiens ratusan.

Syaikh Abdul Syakur Surabaya memiliki seorang putra bernama Syaikh Hasan bin. Abdul Syakur bin Abdul Jalil bin Abdul Rahman al-Surabawi al-Makki (w. 1934), yang hidup dan berkarir di Makkah. Sosok Syaikh Hasan bin Abdul Syakur Surabaya ini terekam sebagai salah satu guru dari Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani (w. 1990).

Selain belajar kepada ulama-ulama diatas, demi keberkahan ilmu, KH. M. Moeunawir menekuni Al-Quran dengan Riyadhoh. Yakni beliau mengkhatamkan sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun. Lalu sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun. Kemudian lalu sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan terakhir adalah Riyadhoh membaca Al-Quran selama 40 hari tanpa henti hingga mulut beliau berdarah karenanya. Diantara sahabat yang menjadi saksinya adalah KH. Munawwar bin Nur, Sidayu, Gresik dan KH. Ahmad Badawi bin Abdurrasyid Kaliwungu.

Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, maka beliau pun kembali ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M. Dikutip dari Sejarah Pondok Bustanul Usyaqil Qur’an (BUQ) Betengan dikatakan bahwa kepulangan KH. M. Moeunawir ke tanah air diikuti oleh KH. Raden Muhammad Hamzah, putra Syaikh Mahfudz Tremas yang kelak akan menjadi muridnya dan belajar kepada pamannya, KH. Dimyati Abdullah hingga kemudian mendirikan BUQ di Demak, yang merupakan tanah kelahiran ibundanya.

Mendirikan Pesantren Krapyak
Manaqibus Syaikh: K.H. M. Moeunawir Almarhum: Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta mengisahkan bahwa sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M., beliau lantas mengajar Al-Quran di sekitar kediaman beliau di Kauman. Tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.

Selanjutnya beliau pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, K.H. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari K.H. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M. beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.

Pada 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar Al-Quran. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa K.H. Abdul Jalil. Konon, K.H. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan Kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.

K.H. M. Moenauwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca Surah Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M. Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran Al-Quran. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena Haibah, wibawa beliau.

Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh K.H.M. Moenauwir adalah Kitab Suci Al-Quran, yakni terbagi atas 2 bagian; Bin Nadzor (membaca) dan Bil Ghoib (menghafal). Santri bermula dari Surat Al-Fatihah, lantas Lafadz Tahiyyat sampai dengan Shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian Surat An-Nas sampai Surat An-Naba’, baru kemudian Surat Al-Fatihah diteruskan ke Surat Al-Baqoroh sampai khatam Surat An-Nas.

Selain itu, pengajian Kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910, seorang santri dari Purworejo, yang dianggap mampu oleh beliau, diperintahkan; “Ajarkanlah ilmu Fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”
Begitu seterusnya berkembang, baik kitab Fiqh maupun Tafsir, makin menonjol disamping Pengajian Al-Quran yang utama. Beliau mengajar secara sistem Musyafahah, yakni sorogan, tiap santri langsung membaca di hadapan beliau, jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya. Adab (Tata Krama) dalam pengajian Al-Quran sangat beliau tekankan kepada para santri.

Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah doa untuknya langsung oleh K.H.M. Moenauwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah, yang intinya berisi pengakuan Ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarottubur-Ruwat (Urutan Riwayat) atau Sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah saw. secara lengkap.

Banyak di antara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran Al-Quran pada khususnya. Misal;
KHR. Abdul Qodir Munawwir (Krapyak, K.H. Arwani Amin (Kudus), KH. Badawi (Kaliwungu, Kendal), Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono), KH. Umar Abdul Mannan (Mangkuyudan – Surakarta), Kyai Umar (Kempek – Cirebon), K.H. Noor (Tegalarum – Kertosono), K.H. Muntaha (Kalibeber – Wonosobo), K.H. Murtadho (Buntet – Cirebon), Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon), K.H. Abu Amar (Kroya), K.H. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu), Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo), K.H. Anshor (Pepedan – Bumiayu), K.H. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta), Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta), Haji Mahfudz (Purworejo), KH. Muhammad Sulaiman (Surakarta), KHR. Muhammad Hamzah (Betengan Demak), KH. Dimyati (Comal Pemalang), KH. Amin (Benda Bumiayu), KH. Abdul Fattah (Mangunsari, Tulungangung), KH. Hisyam Hayat (Kudus), dan lain-lain.

Berpulang ke Sang Khalik
Setelah 33 tahun berdakwah membumikan Al-Qur’an, maka Allah SWT memanggil Sang Ahlul Qur’an untuk kembali ke rahmat-Nya. Sebagaimana manusia pada umumnya, K.H.M. Moenauwir menderita sakit selama 16 hari. Pada mulanya terasa ringan, namun lama-kelamaan semakin parah. Tiga hari terakhir saat beliau sakit, beliau tidak tidur. Selama sakit, selalu berkumandanglah bacaan Surah Yasin 41 kali yang dilantunkan oleh rombongan-rombongan secara bergantian. Satu rombongan selesai membaca, maka rombongan lain menyusulnya, demikian tak ada putusnya.

Akhirnya, beliau, K.H.M. Moenauwir wafat Ba’da Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1942 M. di kediaman beliau di komplek Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Di kala beliau menghembuskan nafas terakhir, ditunggui oleh seorang putri beliau, Nyai Jamalah, yakni ketika rombongan pembaca Surah Yasin belum hadir.

Sholat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang bertakziyyah. Imam shalat jenazah kala itu adalah K.H. Manshur (Popongan – Solo), K.H.R. Asnawi (Bendan – Kudus), dan besan beliau K.H. Ma’shum (Suditan – Lasem).

Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren. Dan sepanjang jalan itulah, terlihat Kaum Muslimin dari berbagai golongan penuh sesak mengiring dan bermaksud mengangkat jenazah beliau, sampai-sampai keranda jenazah beliau cukup ‘dioperkan’ dari tangan ke tangan yang lain, sampai di Pemakaman Dongkelan.

Jenazah K.H.M. Moenauwir dikebumikan disana. Selama lebih dari seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai daerah untuk membaca Al-Quran. Beliau wafat meninggalkan Pesantren yang merupakan tonggak pemisah suasana. Suasana sebelum dibangun pesantren, Krapyak dikenal sebagai tempat rawan, penuh kegelapan, abangan dan sedikit yang menjalankan ajaran Islam. Bersamaan dengan didirikannya Pesantren, banyak pula usaha busuk dari golongan-golongan klenik yang dengki dan selalu merintangi perintisan Pesantren. Namun upaya-upaya itu musnah, dan suasana gelap beralih menjadi ramai dan meriah dengan alunan Ayat-ayat Suci Al-Quran dengan segala konsekuensinya.

Maka inilah sedikit dari hasil riset kami tentang Jejak Intelektual dan Sanad Qiraat al-Muqri’ KH. M. Moeunawir bin Abdullah Rosyad. Apa yang kami tuliskan mungkin belum sepenuhnya benar, maka kami berharap masukan kritikan dan saran anda semua. Ikhtiar kami ini semoga menjadi wujud khidmah kepada sang guru, Maulana Habib Muhammad Lutfi bin Yahya yang telah memberikan amanah kepada kami untuk menyusun penelitian Sanad Qiraat Nusantara yang beliau berikan judul ats-Tsurayya al-Munawwir fi Indunisiy yang bermakna Cahaya yang terang benderang di Indonesia.

Selain itu kami persembahkan untuk guru-guru Al-Qur’an yang telah berjasa dalam menebar cahaya Al-Qur’an di bumi pertiwi khususnya almarhum mertua kami KH. Hasanuddin bin KH. Jusuf Djunaedi (w. 2011), Pengasuh Pondok Pesantren Ilmu Al-Qur’an, Ciomas, Bogor yang mana beliau pernah sepuluh tahun lamanya menimba ilmu dibawah asuhan KH. Ali Ma’shum, menantu KH. M. Moeunawir Semoga segala amal baik KH. M. Moeunawir beserta keluarga dan muridnya diterima disisi Allah SWT, terkhusus kepada guru kami Almaghfurlahu KH. Najib Abdul Qodir Munawwir yang belum lama ini berpulang ke Rahmatullah ini, semoga kelak kita akan dipertemukan dengan beliau-beliaunya dengan berkah Al-Qur’an al-Karim.

Wallahu a’lam

Bogor, 3 Syawal 1442 H
Muhammad Abid Muaffan
Khadim Sanad Qiraat Nusantara