Mengenang Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari Wafat 7 Ramadhan

Ramadhan tahun itu, umat Islam Indonesia sebetulnya telah memulai menghirup udara kemerdekaan. Namun situasinya tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan mungkin lebih menderita. Pasalnya, mereka tengah menghadapi Agresi Militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947. Persis 2 hari memasuki bulan Ramadhan.

Beberapa hari kemudian, pada 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, di kediaman Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari yang tengah berusia 76 tahun itu kedatangan dua utusan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Bung Tomo.

Salah seorang utusan itu bernama Kiai Gufron, pemimpin Sabilillah Surabaya. Keduanya mengabarkan situasi bangsa selepas Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947.

“Jenderal Spoor sudah merebut Singosari, Malang,” ujar perwakilan itu.

Rais Akbar Nahdlatul Ulama itu kaget luar biasa. Jatuhnya kota perjuangan, pusat markas tertinggi Sabilillah, badan kelaskaran rakyat yang dipimpin KH Masykur itu, sangat mengejutkannya.

“Masya Allah, masya Allah!” pekiknya.

Lalu ia memegang dan menekan kepalanya kuat-kuat. Keterkejutan yang hebat ini membuatnya pingsan.

Mendengar kabar itu, KH Hasyim Asy’ari mengalami pendarahan otak. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang, tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya sangat parah sekali.

KH Hasyim Asy’ari dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Jombang, Jawa Timur, sebagai kusuma bangsa. Atas jasa-jasa perjuangannya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya.

***

Menurut Choirul Anam, santri Kiai Hasyim mulanya hanya 28 orang pada tahun 1899. Kemudian menjadi 200 orang pada 1910. Pada sepuluh tahun berikutnya, santri berlipat lagi menjadi 2000 orang. Masih menurut Choirul Anam yang mengutip pendapat Jepang, pada tahun 1942, murid KH Hasyim Asy’ari diperkirakan 25 ribu orang.

Tentang pesantren Tebuireng dan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Saifuddin Zuhri menyebutkan bahwa: Pesantren Tebuireng pada tahun 1939-1940 tetap berada di bawah langit yang cerah dalam masa keemasannya. Tebuireng menjadi mercusuar pondok-pondok pesantren di seluruh Indonesia. Tebuireng menjadi trade mark dan identitas kaum santri. (Abdullah Alawi disarikan dari KH Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren).

Diketik Ulang :
JRM Dakwah Inspiration