Mengenal Pesantren Al Hamdaniyah Sidoarjo

 

NAMANYA Pondok Pesantren Al Hamdaniyah. Lokasinya di Desa Siwalanpanji, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo. Berdiri tahun 1787, inilah pondok pesantren tertua di Jawa Timur. Berikut ini Hendri Nurcahyo :

Nama-nama Ulama terkenal ternyata pernah mondok di sini. Dan yang menarik, sebagian besar bangunannya dibiarkan seperti aslinya. Berdinding anyaman bambu (gedhek) yang sebagian nampak mengelupas dan tiang-tiang kayu tanpa pernah diganti. Maka berkunjung ke kompleks pondok ini bagaikan memasuki lorong waktu.

Nah, nama desanya itu juga menarik. Siwalan Panji. Karena itu pesantren ini juga kerap disebut dengan nama “Pondok Panji.” Sebagai pegiat Budaya Panji, saya merasa senang bisa berkunjung ke pondok ini. Buku saya “Memahami Budaya Panji” saya hadiahkan untuk Muhammad Hasyim Fathurrozi S.Pd.I, pengasuh pondok. (Gak nyambung ya? Gak papa).

Pesantren ini didirikan KH Hamdany yang berasal dari Pasuruan dan KH Ya’qub. Semula berdiri di atas tanah-tanah rawa, makanya semua bangunan lama berupa rumah panggung. Hanya mushola yang nampak modern, karena tidak mencukupi untuk jamaah yang semakin banyak. Namun kayu-kayunya masih digunakan untuk melengkapi bangunan modern ini.

Sayang sungguh sayang keaslian bangunan mushollahnya dihilangkan digantikan bangunan masjid baru. Nilai sejarahnya dan jejak sejarah peradaban Islam hilang.

Kenapa bangunan pesantrennya dipertahankan? “Supaya barokah,” ujar Rizal, salah satu pengasuh. Inilah yang harus dipertahankan. Jangan sampai dibongkar.

Maka ditunjukkanlah mana kamar yang dulu digunakan oleh KH. Hasyim Asy’ari (kakek Gus Dur), KH. Sahal Mahfudz (Pesantren Maslakul Huda, Pati) di kamar B-6, KH As’ad Syamsul Arifin (Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus) di B-5, juga kamar KH. Abdul Karim (Pesantren Lirboyo) di kamar C-1. Juga ulama KH Wahid Hasyim, KH Ridwan Abdullah dan KH Alwi Abdul Aziz, pernah juga mondok di sini. Semua kamar-kamar itu masih seperti aslinya.

Saat ini jumlah santri di pesantren ini ada sekitar 300 santri. Sementara yang keluar masuk dalam program insidental tidak terhitung lagi. Termasuk, mereka yang datang dari luar negeri, terutama Malaysia yang ingin merasakan nyantri di sini untuk jangka waktu tertentu. Masyarakat umum bisa ikut program yang disebut “Tabarukan” tersebut. Satu hari saja, bahkan setengah hari, juga gak papa.

Nah, Komunitas Seni Budaya BrangWetan hendak membuat program Tabarukan ini. Kemarin (18/4) sudah dibicarakan dengan pengasuh pondok, Kyai Hasyim yang menemui saya dan Fatkurrahman dari BrangWetan, diantar teman lama Catur, yang bertetangga dengan pondok tersebut. Mau ikut? Tunggu ya… (*)