FAKULTAS HUKUM UNTAG BANYUWANGI DALAM TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI DENGAN WEBINAR NASIONAL “KONTROVERSI REVISI UU KEJAKSAAN”

Banyuwangi-menaramadinah.com’Di tengah bergulirnya wacana mengenai pembaharuan hukum pidana nasional, baik RKUHP maupun RUU KUHAP yang tak kunjung ada kepastian kapan akan disahkan, justru pembentuk undang-undang menggagas perubahan terhadap RUU Kejaksaan. Hal ini ditandai dengan adanya kesepakatan antara Pemerintah dan DPR RI untuk memasukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Prolegnas Prioritas 2020, awal Juli 2020 saat Rapat Kerja Baleg DPR RI bersama Pemerintah dan DPD RI.

Bila dilihat dari sejarahnya, RUU a quo bukanlah hal yang baru karena RUU a quo sudah mulai muncul pada Prolegnas 2010-2014, yang kini ditindak lanjuti kembali. Substansi RUU a quo tidak hanya sekedar mengenai Kejaksaan dalam konteks kelembagaan maupun hal-hal yang bersifat administratif, namun juga mengenai kewenangan jaksa dalam menjalankan fungsinya sebagai salah satu komponen dalam sistem peradilan pidana.

Tentu dengan adanya substansi yang demikian baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada mekanisme serta tata kelola sistem peradilan pidana yang ada selama ini. Maksud dan tujuan dilakukannya revisi terhadap UU Kejaksaan melalui RUU ini ialah untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang dapat menjalankan fungsi secara bebas dari pengaruh dan tekanan pihak manapun. Selain itu melalui perubahan UU, mendorong profesionalisme lembaga kejaksaan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.

Konsekuensi dari alam demokrasi, di tengah pembahasan terhadap RUU a quo tidak dapat dibendung adanya pro dan kontra. Perdebatan mengemuka baik dari kalangan akademisi maupun kalangan praktisi hukum, khususnya berkenaan dengan adanya upaya penguatan kewenangan jaksa dalam RUU Kejaksaan yang disinyalir berpotensi mereduksi kewenangan lembaga penegak hukum yang lain, dimana kedudukan serta kewenangannya sama-sama diatur oleh undang-undang.

Bertolak dari adanya perbedaan persepsi yang muncul mengenai polemik tentang RUU Kejaksaan, kiranya Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi sangat berkepentingan untuk hadir di dalamnya dengan bingkai forum akademis, webinar nasional dengan tema “Menakar Urgensi Revisi UU Kejaksaan: Pro Dan Kontra RUU Kejaksaan”, untuk dapatnya memberikan sumbangsih pemikiran sebagai wujud kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional.

Webinar Nasional yang digelar secara virtual pada hari Sabtu, 10 Oktober 2020 oleh Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, diikuti lebih dari 455 pendaftar, dengan moderator Yanti Devi Wijaya, S.H., M.Pd., dan dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum, Rudi Mulyanto, S.H., M.Kn. ini menghadirkan lima narasumber, yaitu Dr. Rocky Marbun, S.H., M.H. (Penulis buku Sistem Peradilan Pidana/Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila), Aditya Wiguna Sanjaya, S.H., M.H., M.H.Li. (Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Dr. Erdianto Efendi, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau), Demas Brian Wicaksono, S.H., M.H. (Peneliti Hukum Kelembagaan Negara, Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi), dan Fachrizal Afandi, S.Psi, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Ph.D Candidate Leiden University).

Demas Brian Wicaksono, S.H., M.H. memaparkan tentang apakah proses perumusan RUU Kejaksaan sudah sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundangan-undangan, dan perspektif hukum tata negara dalam melihat RUU Kejaksaan. Dalam paparannya, RUU Kejaksaan ini juga dimungkinkan adanya potensi sengketa kewenangan polri dan kejaksaan di hadapan Mahkamah Konstitusi.

Dalam paparannya, Aditya Wiguna Sanjaya, S.H., M.H., M.H.Li. mengurai beberapa perubahan tentang kewenangan kejaksaan dalam RUU Kejaksaan yang baru, antara lain adanya tambahan kewenangan penyidikan oleh jaksa, dan yang menjadi kontroversi bagaimana ke-independensi-an kejaksaan sebagai salah satu lembaga kehakiman yang harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, sementara dalam RUU Kejaksaan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tidak terdapat perubahan, masih berlaku Pasal 19 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004.

Menurut Dr. Erdianto Efendi, S.H., M.Hum. dalam paparannya, yang seharusnya dilakukan bukan penambahan kewenangan, tetapi memperkuat institusi, yaitu dengan menumbuhkan sikap intelektual aparatur Kejaksaan, memberikan kewenangan penuh kepada jaksa di lapangan, longgarkan sistem komando, meningkatkan kepercayaan publik melalui perbaikan integritas dan jenjang karie yg fair, meningkatkan kesejahteraan jaksa, Kejaksaan harus terbuka terhadap semua pihak, jangan terkesan eksklusif, meningkatkan peran pengawas eksternal, membebaskan penegakan hukum dari kepentingan politik.

Menurut Fachrizal Afandi, S.Psi, S.H., M.H., ada beberapa kelemahan mendasar dari UU 16/2004 tentang Kejaksaan, antara lain memposisikan Kejaksaan murni sebagai bagian eksekutif, mekanisme pengangkatan dan masa Jabatan Jaksa Agung, bergantung Keputusan Politik Presiden, membuka peluang intervensi politik pemerintah dan DPR, adanya hirarki komando ala militer, Jaksa Agung adalah penanggung jawab tertinggi, adanya Asas Oportunitas terpusat, dan pengaturan independensi Jaksa tidak jelas, serta pengaturan pemeriksaan tambahan tidak jelas.
Dr. Rocky Marbun, S.H. berpendapat, bahwa yang perlu untuk diubah adalah perlunya adanya lembaga yang mengawasi pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan, bukan penambahan kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan, tapi siapa yang mengawasi jika penyidikan itu sudah berjalan dengan benar atau tidak.

Bagaimanapun teori dan aturan yang ada dalam peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya itu pada dasarnya adalah sama, yang penting adalah harus ada perubahan pola pikir untuk ke arah yang lebih baik, yang dapat menutup celah kelemahan dalam sistem peradilan pidana.

Dengan webinar ini diharapkan akan dapat meningkatkan pemahaman baik bagi kalangan akademisi maupun masyarakat luas mengenai polemic RUU Kejaksaan, dan memberikan masukan bagi pembentuk undang-undang untuk mempertimbangkan kembali mengenai kelemahan yang ada pada RUU Kejaksaan.

Narasumbernya dari Banyuwangi, Riau, Surabaya, dan Leiden, Belanda, pesertanya nyaris 500 orang dari Sabang-Merauke. (Yanti Devi Wijaya, Dosen Fakultas Hukum Untag Banyuwangi)