Antara Rasisme, Wabah Mematikan tahun 1910 dan Dokter

 

Wabah pes melanda Hindia Belanda di tahun 1910. Wabah yang pernah menghabisi sepertiga penduduk Eropa  itu paling parah dialami oleh penduduk Malang, Jawa Timur. Korbannya lebih dari dua ribu orang. Berikut inimlaporan Aji Prasetyo Jurnalis Citizen.

Banyak dokter Belanda yang menolak ditugaskan ke Malang. Mereka selain tidak mau bersentuhan dengan penduduk pribumi juga takut dengan pandemi yang sangat mematikan itu.

Saat itulah seorang dokter pribumi mendaftarkan diri untuk jadi relawan. Namanya Dr. Tjipto Mangunkusumo, seorang dokter swasta yang sudah belajar ilmu kedokteran di STOVIA sejak usia 13 tahun.

Sebelumnya dia adalah dokter pemerintah. Tapi dia pribumi yang terlalu berani melawan rasisme dan kolonialisme. Saat orang pribumi diperlakukan tidak adil dan tidak terhormat di lingkungan sosial, orang Belanda sangat geram mendengar Helmhoed, topi kehormatan mereka, di rumah Dr Tjipto dijadikan pot bunga.

Jadi bisa ditebak kenapa dokter kurang ajar itu tidak lama berkarir sebagai dokter pemerintah.

Di Malang dokter yang masih berusia 25 tahun itu membaur dengan para penderita pes, mengobatinya tanpa melengkapi diri dengan masker maupun kaus tangan. Dia temukan seorang gadis kecil sebatangkara karena seluruh keluarganya tewas akibat wabah. Diangkatnya gadis kecil itu sebagai anak angkat. Dr Tjipto memberi nama puteri angkatnya itu Pesyati, sebagai pengingat peristiwa besar itu.

Hingga wabah itu akhirnya sirna, Ratu Belanda memberi Dr Tjipto bintang kehormatan Ridderorde sebagai penghargaan atas jasa dan keberaniannya. Namun belum lama setelah itu dia berselisih dengan seorang kontrolir yang mengakibatkan dia dimutasi. Konflik yang mengakibatkan permohonannya agar dikirim sebagai relawan ke Solo ditolak oleh birokrasi.

Dengan penuh marah, dia kembalikan bintang emas pemberian Ratu Belanda itu ke Batavia. Sepanjang perjalanan bintang kehormatan Belanda itu dia pasang di celana, tepatnya di bagian pantat.

Setelah berjumpa dengan E.F.E. Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro), Dr Tipto makin gila dalam mengkritik kolonialisme. Membuat Tiga Serangkai itu akhirnya ditangkap dan dibuang ke Belanda. Tapi semua itu tidak pernah menyurutkan kegarangannya.

Lihatlah sorot mata di foto-foto Dr Tjipto berikut. Benar-benar nampak kekerasan hatinya.

Kelak di sebuah wawancara, Presiden Sukarno jelas menyebutkan nama Tjipto Mangunkusumo selain Tjokroaminoto sebagai orang-orang yang sangat menginspirasinya.