
Oleh : Mohammad Faris Rifqi
Tepat pada hari ketujuh di bulan Januari di tahun 2020. Selagi terik matahari tak diliputi mendung, selagi semangat dan kesempatan terbentang di depan mata, saya bersama bung Syifa dan nona Yekti memutuskan untuk mengeja pengalaman baru di Dukuh Duplang yang berada di Desa Kamal, Jember. Dukuh atau Pedukuhan smerupakan bentangan wilayah pemukiman di suatu desa yang dibatasi oleh area persawahan ataupun aliran sungai. Dalam suatu desa biasanya terdapat beberapa dukuh. Setelah kejatuhan Soekarno dan merangkaknya Soeharto menuju kursi tertinggi kekuasaan negara, istilah “pedukuhan/dukuh” kemudian digantikan dengan sebutan atau istilah “pedusunan/dusun”. Istilah dukuh/pedukuhan mungkin juga menjadi momok dalam memori rezim Soeharto.
Masih ingat novel yang ditulis Ahmad Tohari yang berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk”? Dalam novel tersebut diceriterakan seorang ronggeng dan masyarakat dukuhnya yang menjadi korban sejarah dari rentetan Geger Politik 65. Pertunjukan kesenian ronggeng yang menjadi ikon budaya dari Dukuh Paruk kemudian sempat dinaungi Lekra yang berafiliasi kepada PKI. Masyarakat Dukuh Paruk yang masih buta huruf kemudian terkena imbas dari Geger Politik 65. Seluruh rumah-rumah di Dukuh Paruk beberapa bulan setelah peristiwa pembunuhan para jenderal tersebut kemudian dibumihanguskan oleh sekelompok orang bersenjata tak dikenal dan sebagian masyarakatnya ditahan. Padahal, Dukuh Paruk sama sekali tidak memiliki informasi yang utuh tentang PKI, komunisme, hingga persoalan sebenarnya dari Geger Politik 65 dan tak ada satupun dari warganya yang bisa baca-tulis.
Dalam perjalanan kali ini, saya bukan bermaksud mengorek informasi lebih jauh mengenai suatu situs megalithikum yang terletak di Dukuh Duplang, Desa Kamal. Namun, kedatangan saya ke dukuh sederhana ini adalah untuk merajut perbincangan yang lebih intim dengan salah seorang warga dukuh serta mengorek keterangan darinya mengenai peristiwa-peristiwa historis yang masih tersimpan dalam memori kepalanya. Seorang yang saya maksud ini adalah Ba Abdurrahim yang bertindak sebagai juru kunci dari situs megalithikum di Dukuh Duplang. Beberapa kawan yang sudah pernah mengunjungi Situs Duplang tentu saja mengenal beliau. Seorang yang ramah, bersahaja, dan punya ingatan cukup kuat untuk kategori orang seusianya.
Di suatu rumah yang berdiri dengan ditopang bambu-bambu dan dinding rumah yang tidak menampilkan kesan perkotaan yang angkuh, melainkan gedheg. Rumah ini menciptakan suatu rangsangan dalam hati agar senantiasa tertambat pada suasana desa yang memancarkan kemurnian dan keluguan. Sesuatu yang pasti sukar kita dapatkan dalam riuh kehidupan kota. Di bawah teduh rumah itu Ba Abdurrahim tinggal bersama kekasihnya. Pada pagi menjelang tengah hari itu pula, Ba Abdurrahim menerima kedatangan kami. Kami bertiga secara perlahan namun pasti mengantarkan Ba Abdurrahim menuju perbincangan lebih intim tentang pengalaman hidupnya dahulu.
Ba Abdurrahim yang lahir pada 1938 sebenarnya adalah pribadi yang sungguh amat terkesan kepada panglima besar revolusi, Bung Karno. Beliau banyak menceritakan bagaimana kesan sejarah yang beliau dapatkan ketika Bung Karno menjadi pemimpin negara. Kunjungan Bung Karno ke Jember pada suatu waktu semasa beliau masih remaja (mungkin saat itu masih pada masa Demokrasi Liberal) tidak dilewatkan begitu saja. Beliau sempat menjabat erat tangan Bung Karno di tengah-tengah lautan massa yang memadati alun-alun kota Jember.
Bung Karno, bagi Ba Abdurrahim merupakan sosok pemimpin yang akan membuat segan dan takut negara-negara lain, termasuk Belanda. Bagi Ba Abdurrahim, Bung Karno bukan saja seorang pemimpin yang berkharisma namun juga digauli oleh aura mistis yang jumawa sehingga menambah kesan kekuatan dan kewibawaan pada dirinya. Tapi, masa kepemimpinan Soekarno, sebagaimana yang kita tahu bukanlah suatu periode keemasan bagi bangsa Indonesia. Sebagai suatu tanggapan umum, hal itu wajar dinyatakan sebab masa kemerdekaan yang telah dicapai bangsa Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno sebenarnya merupakan masa transisi yang penuh pergolakan dari kolonialisme yang menjerat perikehidupan bangsa setelah sekian lama, lalu menuju independensi diri sebagai suatu bangsa yang berdaulat.
Di sisi lain, antusiasme untuk menyongsong kemerdekaan juga diisi oleh masyarakat dengan meningkatkannya jumlah penduduk yang menjangkau pendidikan dan bisa baca-tulis. Jumlah masyarakat yang bisa membaca meningkat lebih pesat pada tahun 1950-an. Ba Abdurrahim pun adalah satu dari banyak warga negara yang mengenyam pendidikan sekolah rakyat dan berhasil memiliki kemampuan beraksara.
Tidak berhenti di situ, Ba Abdurrahman sempat menyinggung fenomena paling membingungkan pada ujung masa kekuasaan Soekarno, yaitu Geger Politik 65. Geger Politik 65 yang merupakan suatu peristiwa penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal loyalis Soekarno seperti Ahmad Yani, dll. Peristiwa tersebut menjelma menjadi geger politik yang meremukkan sendi-sendi kemanusiaan bangsa. PKI kemudian dituduh sebagai biang dari peristiwa tersebut. PKI ingin mengelak dari tuduhan sekonyong-konyong dari AD tersebut.
Namun, langkah Soeharto yang nampaknya merencanakan suatu “kudeta terselubung” atas Soekarno mendapat restu dari sasmita alam. Militer terutama AD dibawah komando Soeharto kemudian segera mengambil inisiatif untuk merebut kendali negara dari tangan Soekarno demi menjaga keamanan dan ketertiban negara dengan adanya geger politik tersebut. Kondisi negara ditetapkan oleh militer ke dalam situasi darurat perang.
Militer kemudian bermaksud untuk membabat habis anggota PKI maupun simpatisannya di berbagai daerah setelah ditetapkannya partai tersebut sebagai ‘pendosa sejarah yang membawa malapetaka bagi negara”. Ba Abdurrahim menjadi saksi sejarah atas tindakan militer tersebut. Geger Politik 65 yang kemudian menimbulkan rentetan peristiwa pembunuhan keji terhadap anggota PKI juga terjadi di wilayah Jember. Di Desa Kamal sendiri terdapat basis PKI, meskipun anggota PKI di desa ini bukan sebagai pendominasi. Bahkan, menurut pengakuan Ba Abdurrahim sendiri, di Dukuh Duplang ada setidaknya 5 kader PKI yang bergerak sebagai organisatoris partai di dukuh tersebut yang kemudian dibawa oleh segolongan orang sangar yang dikenal oleh masyarakat Dukuh Duplang sebagai “harmit”.
Ba Abdurrahim mengaku, dia tidak takut pada harmit-harmit tersebut. Harmit, sebenarnya merupakan sebutan bagi para tukang jagal yang haus darah terhadap anggota PKI maupun simpatisannya. Ba Abdurrahim pada kala itu berlaku sebagai komandan peleton hansip Desa Kamal sempat mengidentifikasi bahwa harmit bukanlah tentara/kalangan militer. Perkara harmit ini merupakan tukang jagal yang dikerahkan oleh militer bukanlah suatu informasi yang dapat dibenarkan oleh Ba Abdurrahim, beliau juga tidak tahu soal itu. Pengetahuan kita tentang harmit berhenti pada suatu definisi sederhana, bahwa harmit adalah satuan teror bersenjata yang meringkus dan membantai anggota PKI di sekitar lingkungan Arjasa dan sekitarnya. Orang-orang yang tergabung ke dalam harmit ini juga tidak dapat diidentifikasi oleh Ba Abdurrahim berasal dari desanya.
Pernah suatu ketika terjadi penculikan atas 5 orang anggota PKI yang bertempat di Dukuh Duplang, dan Ba Abdurrahim melihat sendiri bagaimana kejadian tersebut terjadi. Kelima anggota PKI itu kemudian dibawa “geng harmit” menuju suatu jembatan yang menaungi sebuah sungai di bawahnya. Suatu jembatan di sekitar wilayah Desa Kamal. Di situ, geng harmit kemudian memberondong tubuh kelima anggota PKI tersebut dengan banyak tembakan. Darah berceceran dimana-dimana. Suatu tragedi kemanusiaan yang mencederai nurani siapa saja anak manusia yang bernurani ketika melihat itu terjadi.
Ba Abdurrahim yang kala itu sempat mengikuti kemana geng harmit itu membawa kelima anggota PKI yang telah diringkus terpaksa menjadi saksi atas kekejaman tersebut. Nuraninya tersentuh, ia tak tega, karena kelima orang yang telah dibunuh secara keji tersebut adalah saudaranya juga, saudara dari ibu-bapak yang berbeda, yang juga manusia, saudara se-desanya, saudara yang bertutur bahasa ibu yang sama dengannya. Dari guratan wajah Ba Abdurrahim ketika menceritakan bagaimana anggota PKI di dukuhnya itu dibunuh oleh geng harmit, saya menangkap wajah penuh simpati dan gelora humanistis dari seorang insan yang lugu namun berani.
Sebagai rakyat biasa, Ba Abdurrahim tidak menampilkan kesan kebencian terhadap PKI ataupun orang-orang yang dikenalnya di desa atau dukuh dimana dia tumbuh dewasa. Anggota PKI atau bukan, baginya, warga desa adalah sama. PKI tidak beliau nyatakan sebagai kelompok yang menyatakan kalau agama Islam itu adalah biang dari segala kekacauan yang merintangi kehidupan masyarakat. Ba Abdurrahim tidak mengesankan PKI sebagai kelompok yang anti agama sebagaimana miskonsepsi pada sebagian kalangan dalam masyarakat kita saat ini. Hal ini dapat dimaklumi, PKI dalam perjalanannya bukanlah bermaksud untuk menyerang konsepsi agama sebagai pegangan moral sebagian besar masyarakat.
Mohan, orang yang dikenal baik oleh Ba Abdurrahim adalah Ketua PKI Jelbuk. Menurut pengakuan Ba Abdurrahim, lelaki yang kenalnya tersebut juga sempat berhadapan dengan geng harmit yang ganas. Seluruh peluru timah dari berondongan senjata api yang dimiliki oleh setiap anggota geng harmit ternyata tak mampu melukai tubuh Mohan, seperti yang diakui Ba Abdurrahim.
Mohan menurut kami memang memiliki semacam keahlian khusus untuk membuat tubuhnya kebal dari serangan senjata api. Kami menduga, kalau anggota PKI satu ini memang merupakan orang sakti yang disegani di Jelbuk. Dugaan kami benar setelah kami mendengar langsung pernyataan dari Ba Abdurrahim. Luar biasa!
Bayangkan, seorang komunis sekaligus adalah orang sakti yang tubuhnya tak mampu ditembus timah panas jelas suatu hal yang aneh bila diputuskan sebagai fakta sejarah bagi penulisan sejarah gerakan komunisme dunia. Mohan bukan satu-satunya tokoh PKI yang selamat dari gempuran geng harmit. Sabi’ Biteng merupakan anggota PKI di Desa Kamal yang juga dikenal oleh Ba Abdurrahman.
Menurut keterangan Ba Abdurrahman, Sabi’ Biteng sebenarnya telah berhasil diculik oleh geng harmit. Ba Abdurrahim mendengar kabar kalau Sabi’ Biteng tidak mampu dibunuh oleh geng harmit yang telah membawanya ke suatu tepian sungai, namun beliau tak lantas percaya sebelum ia tak lagi melihat Biteng kembali hidup-hidup ke desanya. Dengan ketangkasan luar biasa dan dorongan energi dimensi lain yang kuat, Sabi’ Biteng berhasil menangkis serbuan peluru yang dimentahkan dari puluhan letupan tembakan beberapa anggota geng harmit. Sabi’ Biteng kemudian menceburkan dirinya ke sungai dan geng harmit mengiranya telah mati sebab tak dilihat oleh mereka Sabi’ Biteng berenang, melainkan tenggelam dan hanyut oleh arus sungai.
Sasmita alam yang memiliki kepatuhan pasti atas kehendak-Nya kemudian memberikan pertanda lain. Beberapa hari setelah kejadian tersebut Ba Abdurrahim berjalan menyusuri Desa Kamal yang masih diliputi ketakutan. Tapi, Ba Abdurrahim yang masih pilu atas tragedi kemanusiaan yang menimpa sesamanya sontak menjadi terkejut melihat Sabi’ Biteng. Ba Abdurrahim bertemu kembali dengan Sabi’ Biteng yang disangkanya telah mati dan mayatnya dibawa arus sungai entah kemana. Sabi’ Biteng mengakui bahwa Tuhan belum menghendakinya enyah dari kefanaan ini, juga sasmita alam merealisasikan kehendak Tuhan tersebut dengan menyumbangkan sedikit energinya untuk membantu Sabi’ Biteng lolos dari “kegananasan sejarah”. Dengan kembalinya Sabi’ Biteng, Ba Abdurrahim gembira meskipun masih terkejut dengan cara kerja sasmita alam. Dijumpainya dan dijabat eratnya kembali kader PKI yang disebut sebagai Sabi’ Biteng itu.
Biteng, kedengarannya bukan orang yang istimewa tapi cukup memberikan kesan mendalam bagi Ba Abdurrahim dan cakrawala kehidupannya akan sasmita alam yang tak mungkin tunduk pada “keganasan sejarah” yang didikte oleh kebinatangan manusia. Karena sejarah adalah tentang apa yang manusia lakukan terhadap sesamanya dan kepada alam. Tapi, sasmita alam bukannya tunduk pada kehendak manusia, karena alam tahu betul bahwa manusia memiliki potensi sebagai homo homini lupus, serigala bagi sesamanya, Mana mungkin sasmita alam yang agung akan tunduk pada makhluk yang suatu waktu akan kehilangan jati dirinya sebagai penegak kemanusiaan? Mustahil.
Dalam melihat serentetan peristiwa yang memilukan pasca Geger Politik 65, saya menemukan suatu titik yang kadang luput untuk diperbincangkan lebih dalam. Bagi saya, Geger Politik 65 dan serentetan kecamuk kemanusiaan di kemudiaannya merupakan perkara dosa politik kalangan elit yang kemudian ditularkan keriuhannya ke akar rumput, rakyat biasa, kawula. Saya akan berdiri sebagai seorang individu manusia yang memandang peristiwa memilukan Geger Politik 65 dan serentetan kepiluan setelahnya dari kacamata kemanusiaan. Dari keluguan dan ketulusan bicara Ba Abdurrahim terpancar suatu kenyataan sejarah yang tanpa dibumbui kepentingan apapun. Ba Abdurrahim tak pernah bertindak sebagai pemvonis dan pendendam atas pihak mana saja yang dilibatkan dan terlibat dalam peristiwa memilukan di masa lalu tersebut. Tapi, pintu maaf terdalam atas seluruh rekaman peristiwa yang merusak cakrawala kemanusiannya tersebut selalu terbuka lebar.
Tidak ada sumpah serapah terhadap PKI beserta anggotanya seperti yang telah dilakukan oleh rezim Soeharto. Kalau kita bicara siapa yang patut disalahkan atas peristiwa memilukan kemanusiaa tersebut (pembantaian massal) adalah semua pihak. Ya, semua pihak! Pihak-pihak yang telah membuat keberimbangan sasmita manusia ini terganggu dengan ulah usil dan haus kuasa hingga lupa akan jati diri kemanusiaannya yang harusnya menciptakan keselarasan. Manusia Indonesia perlu bangkit dan mengakui kesalahannya di masa lalu tersebut demi membingkai tujuan sejarah yang lebih utuh di masa depan. Aku, kamu, kita semua satu. Tak boleh lagi ada darah yang tumpah karena ketidakselarasan sasmita manusia.
Ditulis ole mahasiswa Pendidikan Sejarah UNEJ yang sedang mendalami topik skripsinya tentang sejarah gerakan kiri dalam pusaran politik lokal.