#ZIARAH_WALI_JAWA_BARAT
Bersama : #Mbah_Rien
__________________
Asyiknya Ziarah makam Auliya bersama Mbah Rien.
đđ¤
Diawali pemberangkatan dg Asyraqal & diceritakan sinopsis cuplikan Sejarah singkat pd setiap Wali yg akan di ziarahi.
1. #Sunan_Gunung_Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo.
Lahir : 1448.M.
Wafat.19.Sept.1569.M
Makam : Komplek makam Gunung Sembung, Gunung Jati, Cirebon.
Ayah : Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam.
Ibu : Nyai Rara Santang (Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi) dari Padjajaran (yang setelah masuk Islam bergati nama menjadi Syarifah Mudaim).
Masa berkuasa Sunan gunung jati (1479 – 1568)
Pendahulu kerajaan sblm Sunan Gunung jati : Pangeran Cakrabuana
Pengganti Sunan Gunung jati : Panembahan Ratu
Nama istri :
â˘Nyai Ratu Dewi
â˘Pakungwati
â˘Nyai Ratu
â˘Kawunganten
â˘Nyai Babadan
â˘Nyai Ageng Tepasari
â˘Nyai Lara (Baghdad)
â˘Ong Tien Nio (China)
Anak :
â˘Sabakingking (Sultan Hasanudin Banten)
â˘Pasarean
â˘Ratu Ayu
â˘Winahon
â˘Trusmi
â˘Bratakelana
â˘Jayalelana
Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon tahun 1470.
Dengan dukungan Kesultanan Demak dan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana (Raja Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak ibu), ia dinobatkan menjadi Raja Cirebon ke-2 pada tahun 1479.
Bergelar Maulana Jati.
Syarif Hidayatullah adalah putera dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam.
Beliau adalah seorang penguasa Mesir, putera dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini (Syeikh Jumadil Kubro) seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (India) dan Alwi Ammul Faqih (Hadhramaut).
2. #Sultan_Hasanudin
Jangan terpengaruh dengan gambar yg terdapat di pecahan uang 1000-an.
Memang namanya sama, tapi beda orangnya.
Sultan Hasanudin Makasar yang terdapat di pecahan uang 1000-an adalah pahlawan dari Makassar raja Gowa ke 16, dengan nama asli I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.
Putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15.
Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12.Jan.1631.
Meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan 12.Juni.1670.
Pada umur 39 th.
Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur.
Sementara Sultan Hasanuddin Banten adalah putera dari Sunan Gunung Jati.
Ia turut serta dalam penaklukan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527 yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Kemudian melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada diLampung.
Ia mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan dan kemudian menjadi pusat pemerintahan, setelah Banten menjadi kerajaan sendiri.
Maulana Hasanuddin Banten (Sultan pertama Banten) memiliki julukan Panembahan Surosoan
Lahir : 1552.M
Wafat : 1570.M
Beliau adalah putra ke empat dari Sunan Gunung Djati Cirebon.
Alhasil :
Sultan Hasanuddin Makassar bukanlah Fatahillah dari Cirebon/Banten.
Al-kisah..
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) cucu dari Prabu Siliwangi putra dari ibu Rara Santang, bertemu dengan Ratu Mas Kaung Anten, putri dari seorang penguasa Banten Sanghyang Sira.
Pertemuan keduanya pertama kali bertempat di hutan larangan di Gunung Karang yang dipenuhi para ,siluman.
Saat itu Syarif Hidayatullah sedang shalat hajat, Kaung Anten yang sedang melintas dengan abdi dalem-nya melihat dari arah belakang.
Kemudian keduanya saling memendam rasa kesengsem.
Suatu hari, Kaung Anten dilanda sakit yang berkepanjangan, dan tak ada yang bisa mengobati.
Begitu Syarif Hidayatullah dibawa menghadap Kaung Anten, ajaib sang putripun sembuh.
Atas hadiah dari sayembara itu, Syarif Hidayatullah bersedia menikahi Kaung Anten atas permintaan Prabu Sanghyang Sira asalkan sang putri bersedia diislamkan.
Akhirnya mereka pun menikah.
Kemudian Ratu Mas Kaung Anten mengandung anak mereka.
Syarif Hidayatullah terkejut ketika istrinya mengidam makan daging manusia.
Syarif Hidayatullah lantas pulang ke Cirebon.
Berkat wiridnya Syarif Hidayatullah mengetahui istrinya didatangi banyak jin yang berusaha menggodanya untuk makan janinnya sendiri.
Rupanya jin kafir khawatir bayi Syarif Hidayatullah dan Kaung Anten akan menjadi penguasa Banten dan penerus tahta kerajaan Pajajaran.
Maka Syarif Hidayatullah kembali ke Banten untuk memboyong Kaung Anten.
Namun Prabu Pucuk Umun sebagai kakak Kaung Anten merasa terhina karena Syarif Hidayatullah pernah meninggalkan adiknya.
Dan ia pun menganggap Syarif Hidayatullah telah semena-mena karena menghujat adiknya namun juga agama nenek moyangnya.
Terjadilah pertempuran antara kerajaan Cirebon dan Banten yang menumpahkan darah.
Melihat gejolak itu Prabu Siliwangi berusaha mencegah perang itu dengan mengirim anaknya, *Kian Santang* yang juga paman Syarif Hidayatullah untuk menengahi perselisihan cucu Prabu Siliwangi itu dengan Pucuk Umun yang juga punya kaitan darah dengan Prabu Siliwangi.
Perang pun terhenti berkat upaya Prabu Siliwangi itu.
Akhirnya putra Syarif Hidayatullah dan Kaung Anten lahir dengan nama Pangeran Sabakingking yang kemudian dikenal dengan Sultan Maulana Hasanudin sang pendiri Kesultanan Banten.
3. #Mbah_Priok
Mbah Priok nama aslinya adalah #Habib_Hasan bin Muhammad Al-Haddad
Lahir : 1291 H / 1870 M.
Ulu, Palembang, Sumatera selatan,
Semasa kecil beliau mengaji kepada kakek dan ayahnya di Palembang.
Saat remaja, beliau mengembara selama babarapa tahun ke Hadramaut, Yaman, untuk belajar agama, sekaligus menelusuri jejak leluhurnya, yaitu Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad Shohibul Ratib Haddad, yang hingga kini masih dibaca sebagian besar kaum muslimin Indonesia.
Beliau menetap beberapa tahun lamanya di Yaman, setelah itu kembali ke tempat kelahirannya, di Ulu, Palembang
Ketika petani Banten, dibantu para Ulama, memberontak kepada kompeni Belanda (tahun 1880), banyak ulama melarikan diri ke Palembang; dan disana mereka mendapat perlindungan dari Habib Hasan.
Tentu saja pemerintah kolonial tidak senang.
Dan sejak itu, beliau selalu diincar oleh mata-mata Belanda.
Pada tahun 1899, ketika usianya 29 tahun, beliau berkunjung ke Jawa, ditemani saudaranya, Habib Ali Al-Haddad, dan tiga orang pembantunya, untuk berziarah ke makam Habib Husein Al Aydrus di Luar Batang, Jakarta Utara, Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sunan Ampel di Surabaya.
Dalam perjalanan menggunakan perahu layar itu, beliau banyak menghadapi gangguan dan rintangan.
Mata-mata kompeni Belanda selalu saja mengincarnya.
Sebelum sampai di Batavia, perahunya di bombardier oleh Belanda.
Tapi Alhamdulillah, seluruh rombongan hingga dapat melanjutkan perjalanan sampai di Batavia.
Dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua bulan itu, mereka sempat singgah di beberapa tempat. Hingga pada sebuah perjalanan, perahu mereka dihantam badai.
Perahu terguncang, semua perbekalan tumpah ke laut. Untunglah masih tersisa sebagian peralatan dapur, antara lain periuk, dan beberapa liter beras.
Untuk menanak nasi, mereka menggunakan beberapa potong kayu kapal sebagai bahan bakar.
Beberapa hari kemudian, mereka kembali dihantam badai.
Kali ini lebih besar. Perahu pecah, bahkan tenggelam, hingga tiga orang pengikutnya meninggal dunia.
Dengan susah payah kedua Habib itu menyelamatkan diri dengan mengapung menggunakan beberapa batang kayu sisa perahu.
Karena tidak makan selama 10 hari, akhirnya Habib Hasan jatuh sakit, dan selang beberapa lama kemudian beliaupun wafat.
Sementara Habib Ali Al-Haddad masih lemah, duduk di perahu bersama jenazah Habib Hasan, perahu terdorong oleh ombak-ombak kecil dan ikan lumba-lumba, sehingga terdampar di pantai utara Batavia.
Para nelayan yang menemukannya segera menolong dan memakamkan jenazah Habib Hasan.
Kayu dayung yang sudah patah digunakan sebagai nisan dibagian kepala; sementara di bagian kaki ditancapkan nisan dari sebatang kayu sebesar kaki anak-anak.
Sementara periuk nasinya ditaruh disisi makam. Sebagai pertanda, di atas makamnya ditanam bunga tanjung.
Kemudian Masyarakat disekitar daerah itu melihat kuburan yang ada periuknya itu di malam hari selalu bercahaya.
Lama-kelamaan masyarakat menamakan daerah tersebut Tanjung periuk.
Sesuai yang mereka lihat di makam Habib Hasan, yaitu bunga tanjung dan periuk.
Rekan perjalanan Mbah Priok, Habib Ali Al Haddad dikabarkan sempat menetap di daerah itu.
Dia lalu melanjutkan perjalanannya hingga berakhir di Sumbawa.
Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut.
Banyak orang yang bercerita bahwa, tiga atau empat tahun sekali, periuk tersebut di laut dengan ukuran kurang lebih sebesar rumah.
Diantara orang yang menyaksikan kejadian itu adalah anggota TNI Angkatan Laut, sersan mayor Ismail.
Tatkala bertugas di tengah malam, ia melihat langsung periuk tersebut.
Karena kejadian itulah, banyak orang menyebut daerah itu : Tanjung Periuk.
Beberapa kali rencana pembongkaran makam Mbah Priok.
Pertama konon ketika Belanda berkuasa, pemerintah kolonial ingin membongkar makam ini tiba terdengar ledakan keras dan sinar dari dalam makam, sehingga urung dibongkar.
Sebenarnya tempat makam yang sekarang adalah makam pindahan dari makam asli.
Awalnya ketika Belanda akan menggusur makam Habib Hasan, mereka tidak mampu, karena kuli-kuli yang diperintahkan untuk menggali menghilang secara misterius.
Setiap malam mereka melihat orang berjubah putih yang sedang berdzikir dengan kemilau cahaya nan gemilang selalu duduk dekat nisan periuk itu.
Akhirnya adik Habib Hasan, yaitu Habib Zein bin Muhammad Al-Haddad, dipanggil dari Palembang khusus untuk memimpin doa agar jasad Habib Hasan mudah dipindahkan.
Berkat izin Allah swt, jenazah Habib Hasan yang masih utuh, kain kafannya juga utuh tanpa ada kerusakan sedikitpun, dipindahkan ke makam sekarang di kawasan Dobo, tidak jauh dari seksi satu sekarang.
Pada era Orde Baru, pembongkaran juga direncanakan. Namun yang terjadi, buldozer untuk membongkar makam yang dikeramatkan itu meledak.
Korban jiwa pun jatuh.
Salah satu karomah Habib Hasan adalah suatu saat pernah orang mengancam Habib Hasan dengan singa, beliau lalu membalasnya dengan mengirim katak.
Katak ini dengan cerdik lalu menaiki kepala singa dan mengencingi matanya.
Singa kelabakan dan akhirnya lari terbirit-birit.
4. #Panjalu
Syekh Panjalu adalah #Prabu_Borosngora putra dari Prabu Cakradewa.
Menurut Gus Dur Prabu Borosngora adalah prabu #Hariang_Kencana atau Sayid Ali Bin Muhammad bin Umar atau biasa disebut Mbah Panjalu.
Syekh Panjalu atau Mbah Panjalu adalah seorang Ulama penyebar agama Islam di sekitar wilayah Ciamis, Jawa Barat.
Al-Kisah
Dahulu kala di Panjalu telah berdiri kerajaan Hindu yakni kerajaan Panjalu.
Terjadi peperangan antara Panjalu Kertajaya Vs Singasari Ken Arok.
Panjalu mengalami kekalahan akhirnya lari ke daerah Jawa bagian barat.
Saat tampuk kerajaan dipegang oleh Prabu Cakradewa, beliau memiliki seorang putra yang bernama Borosngora.
Raja menginginkan agar putranya pergi berkelana mencari ilmu sejati.
Putra raja itu pun mematuhi perintah ayahnya.
Ia kemudian berkelana jauh mencari ilmu sejati sampai akhirnya ia sampai di tanah Makkah.
Di sana ia kemudian masuk Islam dan berguru kepada Sayyidina Ali kw.
Setelah cukup lama, maka pulanglah sang putera mahkota ke tanah Panjalu dengan dibekali Air Zamzam.
Sang putra mahkota akhirnya menjadi Raja Panjalu menggantikan ayahandanya dengan gelar Sang Hyang Borosngora.
Konon, air Zamzam yang dibawa dari Makkah ditumpahkan ke sebuah lembah yang bernama lembah pasir jambu.
Seiring dengan bertambah banyaknya air di lembah itu, maka terjadilah danau yang kini disebut Situ lengkong.
Sebelumnya makam Syekh Panjalu ini tidak banyak dikenal dan tidak banyak diziarahi.
Gus Dur lah yang kemudian ‘menemukan’ makam Syekh Panjalu ini, sehingga akhirnya menjadi ramai menjadi tujuan ziarah.
Menurut cerita..
Pada sekitar awal tahun 90-an, Gus Dur pernah bermimpi agar ia menziarahi sebuah makam yang berada ditengah nusa atau semacam pulau.
Dan ia diminta untuk datang pada tengah malam dan membaca istighfar sebanyak seribu kali.
Setelah berkali-kali mencari, berdasar petunjuk dalam mimpi itu, akhirnya didapatilah informasi mengenai lokasi keberadaan makam beserta tokoh yang dimakamkan disana.
Ternyata makam yang dimaksud adalah makam Syekh Panjalu yang lokasinya berada di pulau Nusa Gede di tengah Situ Lengkong ini.
Saat itu, keberadaan makam ini hanya dikenal di lingkungan sekitar saja.
Setelah Gus Dur memperkenalkan kepada masyarakat bahwa yang dimakamkan di sana adalah seorang Wali, tempat ini pun akhirnya menjadi ramai dikunjungi oleh para peziarah.
Bahkan ketika Gus Dur menjadi presiden, ia juga turut membantu memperbaiki sarana dan prasarana di Panjalu sehingga semakin nyaman dikunjungi oleh para peziarah.
Lokasi makam Mbah Panjalu :
Di-pulau Nusa Gede, di tengah sebuah danau yang berada di sebuah bukit masuk wilayah Ciamis Jawa Barat.
Danau yang mengelilingi pulau kecil yang disebut Nusa Gede atau Larangan yang dikenal dengan sebutan Situ Lengkong.
Letak makam Mbah Panjalu sendiri berada di kawasan hutan lebat seluas 57 hektare di tengah pulau kecil ini.
Pulau Nusa Gede atau Larangan ini dikelilingi air yang berwarna kehijauan.
Menurut cerita..
Situ Lengkong ini dibuat oleh leluhur Panjalu.
Konon air di Situ Lengkong ini berasal dari mata air zam-zam di Makkah.
5. #Pamijahan
Pamijahan adalah destinasi wisata yang disitu terdapat makam Mbah #Syekh_Haji_Abdul_Muhyi.
Lahir sekitar 1650.M / 1071.H.
Ia dibesarkan oleh orang tuanya di kota Gresik atau Ampel.
Abdul Muhyi mendapat pendidikan agama dari orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Ampel.
Ayah : Mbah Lebe Warto Kusumah
Ibu : Raden Ajeng Tanganziah.
Karena ketekunannya menuntut ilmu disertai dengan ibadah di samping kesederhanaan dan kewibawaan yang menempel di dalam dirinya, tak heran jika teman-teman sebayanya selalu menghormati dan menyeganinya.
Gelar Abdul Muhyi adalah Syeikh Haji.
Silsilah dari garis ayah maupun ibu dari Syekh Abdul Muhyi ini masih simpang siur.
Dari jalur Ayah :
Abdul Muhyi Bin Sembah Lebe Warto Kusumah bin Entol Penengah bin Mudik Cikawung Ading bin Kuda Lanjar bin Ratu Puhun bin Ratu Galuh.
Dari Jalur Ibu :
Abdul Muhyi Bin Raden Ajeng Tanganziah bin Kentol Sumbirana bin Wira Candera bin Sunan Giri
Guru : Syekh Abdurrauf Singkil Aceh
Syeikh Abdul Muhyi termasuk Ulama, Sufi, Ilmu kedokteran, Ilmu hisab, Ilmu pertanian, ahli seni baca AI Qurâan.
Istri
â˘Sembah Bahta
â˘Sembah Ayu Fatimah
â˘Sembah Ayu Selamah
â˘Sembah Ayu Winangun
Anak
Syekh Abdullah, Dalem Bojong, Syekh Faqih Ibrahim, Nyi Madya Kusumah.
Syekh Kiai Nadzar, Syekh Atam, Nyi Raden Usim, Nyi Raden Arunah, Nyi Raden Hatisah.
Kiai Bagus Muhammad, Nyi Raden Siti, Nyi Raden Ajeng.
Nyi Raden Candra, Nyi Raden Ajeng Enur, Nyi Raden Jabaniah, Nyi Raden Ajeng Nidor, Raden Bagus Atim, Raden Ali Akbar
Makam berada di : Makam Kidul Pamijahan
Pada saat berusia 19 tahun dia pergi ke Aceh atau Kuala untuk berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkil bin Abdul Jabar selama 8 tahun yaitu dari tahun 1090-1098 Hijriah atau 1669 -1677 Masehi.
Pada usia 27 tahun dia beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun.
Setelah itu mereka diajak oleh Syeikh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji.
Ketika sampai di Baitullah, Syeikh Abdulrauf mendapat ilham kalau di antara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian.
Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syeikh Abdulrrauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana.
Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Syeikh Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya Syeikh Abdur Rauf sebagai tanda-tanda tersebut.
Setelah kejadian itu, Syeikh Abdurrauf membawa mereka pulang ke Kuala atau Aceh tahun 1677 M.
Sesampainya di Kuala, Syeikh Abdul Muhyi disuruh pulang ke Gresik untuk minta restu dari kedua orang tua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di sana.
Sebelum berangkat mencari gua, Syeikh Abdul Muhyi dinikahkan oleh orang tuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana putra Dalem Sawidak atau Raden Tumenggung Wiradadaha III.
Tak lama setelah pernikahan, dia bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan.
Atas permintaan penduduk setempat Syeikh Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun (1678-1685 M).
Kabar tentang menetapnya Syeikh Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana.
Perjalanan mencari goa Pamijahan
Disamping untuk membina penduduk, dia juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah.
Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang di berikan oleh syeikh Abdurrauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada.
Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan), di sini dia bermukim selama 1 tahun (1685-1686 M), untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu.
Setahun kemudian ayahanda (Sembah LebeWarta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan.
Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi.
Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M)
Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang di cari, dia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung kampung Cilumbu.
Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi.
Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar 6 km.
Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang berarti gunung untuk menenangkan hati.
Suatu hari, Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik.
Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah.
Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam.
Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat.
Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdo’a kepada Allah, semoga goa yang dicari segera ditemukan.
Sewaktu Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicaun burung yang keluar dari dalam lubang, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya.
Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah, atas ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syeikh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.
Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi.
Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod.
Sejak goa ditemukan Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana.
Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, dia juga menempuh jalan tharekat.
Menurut pendapat yang masyhur sampainya Syeikh Abdul Muhyi ke derajat kewalian melalui Thoriqoh Muâtabaroh Satariyah, yang silsilah keguruan atau kemursyidannya sampai kepada Rasulullah Saw.
Setelah sekian lama mendidik santrinya di dalam goa, maka tibalah saatnya untuk menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk.
Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama kampung Bojong.
Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta.
Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syeikh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah Safarwadi. Di sini dia membangun Masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya.
Sedang para santri menyebar dengan tugasnya masing-masing.
Selain makam Syekh Abdul Muhyi, pada kompleks ini terdapat makam lain, yaitu Raden Subamanggala Wiradadaha IV, yang dikenal sebagai Dalem Pamijahan, yang ditempatkan di sebelah timur.
Dalam menyebarkan agama Islam Syeikh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik.
Contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang yang sedang memancing ikan.
Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun, lalu dihampirinya dan disapa :
“Bolehkah saya meminjam kailnya?”
Orang itu memperbolehkannya.
Syeikh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdo’a,
“Bismillaah hirroh maa nir roohiim, Asyhadu Allaa ilaaha illallaah, Wa asy hadu anna Muhammaddur Rasulullah.
Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya.
Akhirnya orang tersebut tertarik dengan doâa itu dan masuk Islam.
6. #Gunung_pring
Dimakam gunung pring tersemayamkan jasad #Pangeran_Singasari atau Kiai #Raden_Santri beliau adalah salah satu putra Ki Ageng Pemanahan, pendiri kerajaan Mataram Islam, dan masih keturunan Prabu Brawijaya Majapahit.
Berbeda dengan saudaranya, Panembahan Senopati, yang meneruskan memimpin kerajaan.
Kiai Raden Santri lebih memilih menyebarkan Islam hingga pelosok daerah di Jawa Tengah
Raden Santri bergelar Pangeran Singasari.
Namun memakai nama samaran Raden Santri dalam usahanya menyebarkan agama Islam.
Banyak kejadian-kejadian luar biasa terkait kewaliannya untuk mengenalkan wujud kebesaran Alloh SWT.
Seperti pada saat Mbah Raden bertemu dengan peduduk sebuah dusun yang belum mengerjakan salat.
Dusun tersebut sangat tandus dan kering.
Kemudian Mbah Raden mengajarkan mereka salat pada mereka dan ketika akan mengambil air wudhu tak menemukan air.
Kemudian Mbah Raden berdoa memohon kepada Alloh untuk diberikan air, maka seketika itu pula terjadilah mata air yang memancarkan air yang sangat jernih, kemudian dijadikan sendang.
Anehnya hingga saat ini tidak pernah kering walaupun di musim kemarau sekalipun.
Suatu ketika Mbah Raden membangun mushalla di pinggir sungai Blongkeng untuk menangkal banjir.
Ternyata dengan adanya mushalla tersebut dusun itu menjadi aman dari banjir, bahkan ketika terjadi banjir besar dari letusan gunung Merapi yang konon meluap sampai kawasan Candi Borobudur, tapi dusun itu tidak terkena luapan banjir.
Setelah menetap di Dusun Santren pada tahun 1600 M, Kyai Raden Santri sering menyepi untuk mujahadah di bukit Gunungpring.
Saat pulang dari Bukit Gunungpring ke dusun Santren di perjalanan melewati sungai terjadi banjir yang sangat besar.
Kemudian Mbah Raden Santri berkata :
_âAir berhentilah kamu, aku akan lewat.â_
Maka banjir itu berhenti dan mengeras hingga menjadi batu-batu yang cadas dan menonjol.
Sampai sekarang dusun tersebut dikenal dengan nama *Watu Congol* (batu yang menonjol) yang masih berada di Muntilan, dekat dusung Gunungpring.
Karena keistimewaan dan jasanya dalam penyebaran agama Islam, sampai sekarang ini banyak masyarakat yang datang berziarah ke makam Mbah Raden Santri.
Selain digunung pring dimakamkan Mbah Raden Sntri, juga terdapat wali dan ulama yang juga dimakamkan di sana, seperti :
Kyai H. Dalhar, Kyai Krapyak III, Kyai Jogorekso, dll.
Siang ini lanjut ke…
7. #Sunan_Bayat
Sunan Bayat adalah nama lain dari #Sunan_Pandanaran sosok yang berpengaruh besar dalam sejarah penyebaran agama Islam terutama di kawasan Jawa Tengah.
Ia hidup semasa dengan Wali Sanga.
Ia berjuang selama 25 tahun untuk menyebarkan agama bersama sahabat dan pengikutnya dari kawasan Bayat, #Klaten.
Diceritakan saat itu Sunan Bayat masih menjabat sebagai Adipati Pandanaran bupati Semarang, di saat sedang terjadi transisi dari kerajaan Hindu Buddha Majapahit ke kerajaan Islam Mataram.
Ia menjadi bupati Semarang, terkenal sebagai sosok pemimpin yang kikir, meski hidupnya bergelimang harta.
Dia suka membeli barang dengan harga rendah dan menjualnya dengan harga yang tinggi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Suatu waktu Sunan Kalijaga ingin mengajak bupati untuk masuk Islam.
Sunan Kalijaga datang dengan menyamar sebagai seorang penjual rumput (alang-alang bahasa Jawa) pada Sunan Pandanaran yang kala itu masih bergelar Adipati.
Rumputnya pun dibeli dengan harga murah seperti biasanya.
Begitu setiap harinya.
Hingga suatu hati yang tidak biasa adalah ketika Adipati Pandanaran membuka karung rumput, dia menemukan pusaka (kandelan) yang terbuat dari emas tersembunyi di dalam rumput.
Emas dalam karung ini sebenarnya hanyalah sebuah ujian kejujuran yang diberikan Sunan Kalijaga pada Adipati.
Dengan emas itu kemudian Adipati pandanaran membangun rumah mewah yang berdekorasikan emas.
Setelah rumah itu jadi, dia mengadakan pesta besar dikediaman barunya itu. Sunan Kalijaga tentu saja tidak diundang.
Namun dia tetap datang ke pesta itu, tanpa disadari oleh siapa pun. Namun karena dia hanya mengenakan pakaian sederhana, tidak ada orang di dalam pesta itu yang memperhatikan keberadaannya.
Dan setelah dia mengganti baju dengan pakaian mewah, barulah dia dipersilahkan duduk bersama tamu-tamu penting Adipati.
Setelah berakhirnya pesta, Sunan kembali mengganti pakaian yang dikenakannya dengan pakaian biasa.
Hal itu dipandang aneh oleh Adipati dan dianggap sebagai lelucon saja.
Suatu hari kemudian sunan Kalijaga kembali mendatangi Adipati dan kali ini menyamar sebagai seorang peminta-minta.
Beberapa kali bupati melemparkan koin padanya namun pengemis itu tidak juga pergi.
Melihat hal itu, Adipati pun murka.
Di saat itu pula pengemis tadi menjelaskan niat kedatangannya ke hadapan Adipati.
Pengemis itu datang bukan untuk uang melainkan untuk mendengar suara bedug diwilayah tersebut pertanda waktu sholat tiba.
Setelah itu, pengemis tadi melemparkan tanah yang digenggamnya ke arah Adipati. Adipati terkaget-kaget dengan apa yang dilihatnya saat itu.
Tanah yang tadi dilempar oleh pengemis berubah menjadi sebongkah emas sesaat setelah dia tangkap.
Dan di saat itu pula Adipati mendapatkan pencerahan tentang kehidupan dunia yang hanya bersifat sementara.
Barulah kemudian Adipati Pandanaran mengerti apa yang dimaksudkan Sunan Kalijaga dan bersedia dibimbing Sunan.
Namun sebelum lebih jauh lagi, Sunan mengajukan empat syarat pada Adipati jika dia ingin menjadi muridnya :
1. Bupati harus berdoa dengan rutin dan mengajarkan Islam, mengajak semua penduduk yang berada di wilayah kekuasaanya masuk ke agama Islam.
2. Adipati harus memberi makan santri dan ulama, membuat bedug di langgar-langgar.
3. Memberi dan menyumbang dengan ikhlas dan menyerahkan kekayaannya pada yang membutuhkan dalam bentuk zakat.
4. Ikut pulang ke rumah Sunan Kalijaga dan menjadi orang yang bersedia menyalakan lampu rumah Sunan.
Dan barulah setelah itu Adipati Pandanaran, seorang yang baru saja berjanji untuk lepas dari keduniawian, berlanjut untuk menuntut ilmu pada Sunan Kalijaga di #Jabalkat, Bayat.
Dalam perjalanan kisahnya mencari Sunan Kalijaga menuju Jabalkat Adipati tidaklah sendiri melainkan bersama istrinya Nyi Ageng Kaliwungu, yang tidak mau meninggalkan suaminya, mereka menaiki Anak Tangga Gunung Jabalkat Tembayat.
Perjalanan Panjang Dari Semarang Menuju Gunung Jabalkat penuh dengan petualangan ditempuh Sunan Bayat dengan jarak kurang lebih 120 km.
Namun Nyi Ageng Kaliwungu tdk sepenuhnya dapat meninggalkan segala kekayaan yang dimiliki seperti yang dilakukan Adipati.
Dia memasukan beberapa perhiasan dalam tongkat bambu yang dibawanya dengan maksud untuk berjaga-jaga selama di perjalanan.
Ternyata perhiasan2 itu menuntun pada sebuah perkenalan dengan dua perampok.
Saat mereka meminta harta benda, Adipati yang tidak membawa apa-apa dan menyuruh dua perampok tadi mengambil bambu yang dibawa istrinya.
Adipati juga mengatakan bahwa isi dalam bambu itu cukup untuk memenuhi kebutuhan seumur hidup mereka.
Adipati juga berpesan agar mereka tidak melukai istrinya.
Namun sifat serakah para perampok makin menjadi karena mengira istrinya pasti membawa barang berharga lainnya.
Kedua perampok tadi pun mulai menggeledah istri Adipati untuk menemukan benda berharga lainnya.
Seketika pula istri Adipati berteriak minta pertolongan. Dari kejadian ini akhirnya tercetus nama kota #Salatiga.
Saat itu Adipati berujar :
_âWong salah kok isih tega temenâ (Sudah berbuat salah tetap saja tega).”_
Dari lokasi perampokan itu disebut Salatiga yang berasal dari kata âsalahâ dan âtegaâ, Salahtega (Salatiga), atau bisa juga ditafsiri tiga orang yg berbuat salah.
Adipati menganggap perampok yg bernama #Sambang_dalan itu keterlaluan seperti domba (hewan).
Dan seketika itu pula wajahnya berubah menyerupai domba.
Rekan Sambang Dalan ketakutan melihat kejadian itu hingga tubuhnya gemetaran (Jawaângewel).
Saat itu juga wajahnya berubah menyerupai ular.
Mereka berdua akhirnya menyesali perbuatan mereka dan memohon ampun kepada Adipati & berjanji untuk mengabdi dan setia kepada Adipati dan akan ikut dalam perjalanan menuju Jabalkat.
Dua perampok tadi akhirnya menjadi pengikut pertama Adipati setelah sang istri dan dijuluki sebagai Syeh Domba (Sambang Dalan) dan Syeh Kewel (yang ngewel dan berwajah ular).
Cerita Adipati berlanjut…
Saat mereka berjalan meninggalkan jauh istri yang menggendong anaknya, saat kelelahan di tengah terik matahari, Adipati duduk beristirahat di atas batu besar menunggu rombongannya yang tertinggal.
Dari kejadian ini Nyi Ageng Kaliwungu kemudian berujar :
“Karo bojo mbok ojo laliâ (Jangan lupa dengan istri).
Dari kejadian tersebut terkenallah sampai sekarang dg nama #Boyolali yang dipercaya berasal dari frase âmbok ojo laliâ.
Wallohu A’lam..
======
#Selesai sudah ziarah kita…
Pulang ke rumah masing²…