DEWAN PERS SANGGUPKAH MENAMPUNG LUBERAN JURNALISME MILLENIAL & YOUTUBE CHANNEL ?

By Samsul Hadi SH

Dewan Pers Republik Indonesia mengaskan bahwa hanya ada tujuh organisasi pers yang sah dan diakui.

Penegasan tersebut sebagaimana kembali dikeluarkannya surat edaran terkait tujuh organisasi pers, telah menjadi konstituen Dewan Pers.

Ketujuh organisasi pers dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
2. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI)
3. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
4. Serikat Perusahan Pers (SPS)
5. Perusahan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI)
6. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)
7. Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI)
Ketua Dewan Pers M. Nuh mengatakan, surat edaran resmi ini dikeluarkan terkait protes sejumlah orang yang mengatasnamakan wartawan, organisasi wartawan maupun organisasi pers kepada sejumlah lembaga negara.

“Kalau tidak diatur, setiap orang bisa mendirikan organisasi pers seenaknya,” ujarnya, ketika dikonfirmasi, sebagaiman dikutip dari Ngopibareng.Id, Minggu 25 Agustus 2019.

Sebelumnya, Dewan Pers mengeluarkan surat edaran resmi itu bernomor 371/DP/K/VII 2018, tertanggal 26 Juni 2018, yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo. Dalam surat edaran itu, Dewan Pers menyatakan tidak mengakui adanya organisasi pers selain dari tujuh organisasi tersebut.

Berikut organisasi yang tidak diakui di antaranya:

1. Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI)
2. Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI)
3. Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI)
4. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)
5. Ikatan Media Online (IMO)
6. Jaringan Media Nasional (JMN)
7. Perkumpulan Wartawan Online Independen (PWOI)
8. Forum Pers Independen Indonesia (FPII)
9. Aliansi Wartawan Anti Kriminalisasi (AWAK) dan lain-lain
Dijelaskan Dewan Pers, kelompok organisasi dengan mengatasnamakan wartawan ini tengah melobi dan meminta ber-audensi dengan sejumlah kementerian dan lembaga, serta juga sejumlah instansi.

Dewan Pers mengimbau untuk tidak memberikan panggung pada kelompok ini. Sebab, dengan memberikan kesempatan dan panggung kepada mereka, maka para penunggang gelap kebebasan pers Indonesia jumlahnya akan membesar.

Surat edaran Dewan Pers tersebut ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara, Menteri Koordinator Polhukam, Menteri Komunikasi dan lnformatika, Menteri Dalam Negeri, Panglima Tentara Nasional Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Para Pimpinan BUMN/BUMD, Para Karo Humas dan Protokoler Pemprov, Pemkab, Pemkot se-Indonesia, Para Pimpinan Perusahaan Di Jakarta atau Indonesia.

Surat edaran ini ditembuskan ke-7 organisasi Pers, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliasi Jurnalis Indonesia (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Perusahan Pers (SPS), Perusahan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI).

Dalam isi surat edaran tersebut, tercatat hingga kini wartawan yang telah lulus mengikuti Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) di Dewan Pers berjumlah lebih dari 12.000 wartawan. Ujian dilakukan oleh 27 lembaga penguji yang terdiri dari perguruan tinggi, lembaga pendidikan, organisasi pers PWI, AJI dan IJTI.

Kemudian dalam surat edaran itu juga, Dewan Pers berharap program uji kompetensi akan menihilkan praktik abal-abal oknum wartawan yang selama ini berada di Indonesia.

Sejauh ini, Indonesia diketahui negara dengan jumlah paling banyak di dunia pengguna media/cyber, yakni 43.300 media online. Sementara, memenuhi syarat sebagai perusahan pers sebanyak 2.200, dan hanya 7 persen yang memenuhi standar profesional.

Di Indonesia, orang mudah mendirikan media bukan dengan tujuan jurnalistik yaitu, memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Akan tetapi, media sengaja didirikan sebagai alat untuk memudahkan melakukan pemerasan kepada orang, pejabat, pemerintah daerah maupun perusahaan.
?????????????????????????????????????????
Ini adalah asumsi dan tidak semua penggiat pers punya under estimate seperti itu.

NAMUN, yang justru penting untuk dicermati, secara fundamental azasi , kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat itu adalah Hak Azasi Manusia Indonesia khususnya yang dijamin oleh Konstitusi UUD45.

Akankah hegemoni ( kewenangan ) Dewan Pers akan membelenggu fenomena sosial , perkembangan pesat di dunia jurnalisme , baik jurnalisme netizen maupun rentetan aplikasinya seperti fenomena maraknya Youtuber Millenial dengan Tayangan live streaming nya nyaris bebas segala sensor?

Sanggupkah Dewan Pers menampung ledakan kreatifitas nafsu Revolusi jurnalisme kaum millenial tersebut? Tanpa ada syak wasangka under estimate sebagai aji mumpung mendompleng kebebasan pers?

Semestinya Dewan Pers selalu meng update kemampuannya mencermati fakta sosial betapa dunia pers semakin melebar, kreatifitas seni, bisnis dan ideologi pers semakin beragam. Semua harus ditampung, dicarikan saluran dimediisasi tidak dibelenggu dengan dalih persoalan administratif . Soal Standart kompetensi , kelayakan profesi dan aturan keadministrasian organisasi boleh dibicarakan .

Tak ada salahnya Dewan Pers harus memperkuat bagian Litbang ( penelitian dan pengbangan) sehingga progres kebijakannya sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Jangan sampai ada asumsi Dewan Pers tak futuristik, ketinggalan zaman.

*Penulis adalah
Mantan Pemred MKTV Pontianak
Jurnalis Citizen MenaraMadinah.Com
Tinggal di Makassar