Kado Buat DPR & KPI: STASIUN TV vs YOUTUBE CHANNEL

Kado Buat KPI :
STASIUN TV vs YOUTUBE CHANNEL
By Sam Adi Yudha

Kebayang di angan dan pelupuk mata betapa rumitnya membangun sebuah stasiun tv , prosedurnya itu loh mulai dari membuat Akte Pendirian berupa PT, lengkap dengan segala perizinan administratif dari level RT RW hingga Notaris dan KemenkumHam.
Pengajuan permohonan izin pendirian lembaga penyiaran TV komersial inipun berlapis, melebihi proses mahasiswa membikin skripsi.
Tahapan Pengajuan pun bakal ditapis ketat ditangan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah ( tingkat Provinsi), jika lolos verifikasi administrasi, ada verifikasi factual akan dilanjutkan tahap evaluasi dengar pendapat.

Forum terbuka ini bakal menjadi ajang presentasi pemohon dihadiri semua elemen masyarakat, khususnya stakeholder pemerintahan setempat, terlebih para komisioner KPID .
Dari sini saja sudah kebayang, betapa lintang pukang pemohon mempertahankan argumen berkas Permohonannya untuk mendirikan sebuah stasiun tv siaran swasta komersial.
Dipastikan jika tak sempurna berkas permohonannya, tak melengkapi unsur” yang ditetapkan, tak layak uji secara teori neraca ekonomi cash flow, tak memiliki ciri khas konten yang berbeda dengan tv lain yang telah lebih dahulu ada, maka bakal rontok tak akan berlanjut proses pengajuan tersebut. Gagal mendapatkan Rekomendasi KPID.

Ini belum apa apa. Tahapan masih berlapis, penuh liku dan cobaan.
Belum lagi soal rumitnya pengajuan frekwensi , standarisasi alat alat studio, pemancar dan komponen managemen lainnya. Seperti standart gaji dan kesiapan SDM nya.

Ini pun belum apa apa. Jalan masih panjang.
Jika lolos tahap tahap itu semua, masih harus melalui masa masa uji frekwensi. Ada tahap rapat Forum Bersama ( KPID,/ KPI dan Menkominfo) , evaluasi lagi, baru jika lolos uji, akan mendapatkan ISR/TV Izin Siaran Radio/TV.
Sekelumit sebagai illustrasi, tanpa kesiapan SDM dan SDA ( Sumber Dana Awal) , mustalil pemohon izin siaran Radio/ TV dapat mewujudkan impiannya.

Bagaimana YOUTUBE CHANNEL?
Inilah fenomena kekinian, era lompatan teknologi komunikasi dan informasi.
Ranah publik, berupa gelombang frekwensi rupanya begitu elastis untuk dikelola oleh manusia.
Kita tidak membahas regulasi global yang ditempuh Youtube atas penggunaan ranah gelombang ini.

Yang disorot kali ini, betapa 2 fenomena diatas sangat kontras mekanisme prosedur pengurusannya.
Padahal dua duanya ( TV siaran dan YouTube Channel) punya kemiripan konten, isinya siaran bergambar bersuara ( visual audio data), segmennya sama, manusia .jangkauannya bisa sama streaming , bahkan bisa berbeda antara tv manual dengan YouTube yang mendunia.

Beayanya ? .Jauh jauh berbeda ibarat gunung dengan jurang. Ngurus TV Siaran butuh modal Ratusan Juta bahkan Milyaran Rupiah .Ngurus YouTube Channel hanya butuh uang saku , dan modal HP.

Mengurus izin siaran TV swasta begitu rumitnya, butuh modal besar , nyali besar, pengendalian besar baik SDM dan SDA ( Sumber Dana Awal).
Beda dengan bikin YouTube Channel, nyaris gratis tanpa surat tanpa akte pendirisn, tanpa neko neko administratif lainnya.
Cukup bermodal HP ANDROID, syukur ada Camera , tripoid, dan perangkat praktis HeadPhone lainnya. Asal punya nyali, sedikit kocak, kreatif , konten bebas serius atau humor lucu, horor atau Isyu, daftar YouTube gratis, dapat Adsence , bombardir produksi hingga viral, jika memenuhi standart rating mulai panen bonus.

Bagaimana KPI Mensikapinya?
Susah bagi KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia( menjangkau lompatan teknologi informasi Komunikasi global seperti ini.
Lembaga musiman ini ( 3 tahun masa kerja) teramat labil untuk menjadi regulator , mengingat keterbatasan wewnang yang diembannya, sesuai UU Penyiaran, itupun hingga kini masih sering terjadi debatable dengan pihak Menkominfo dalam hal job discribtion di lapangan.
Namun dalam hal mengawasi, mengevaluasi, mengendalikan fungsi kontrol tentang konten isi siaran KPI tetap stratwgis , mengingat lembaga sensor film sekelas LSF pun kadang teledor melakukan tapis.

Kunci ada ditangan siapa?
Siapa yang mengendalikan liar dan maraknya produksi massal ( jurnalistik netizen ) berupa konten YouTube channel ? Hanya bergantung tunggal pada hegemoni YouTube untuk menapis dan menerapkannya kah?
Persoalannya, konten bebas liarnya jurnalisme gaya Youtuber makin tak terkontrol, segmen nya bebas terbuka, ini bisa peluang bagi kebebasan kreatif Millenial, sekaligus ancaman tanpa kendali konten yang mungkin merugikan pihak lain , karena tak tertutup kungkinan terdapat konten porno, vulgar, hedonism, sara, bahkan amoral seperti plagiatisme konten dan lainnnya. Nyaris YouTube channel menjadi pasar gelap liar bebas, minim bahkan tanpa koreksi.

Kepada siapa regulasi ini diatur?
Perlu ada KPM selain KPI?
Rupanya perlu komisioner satu lagi, yakni Komisi Penyiaran Medsos ( KPM) sebagai mitra sejajar KPI yang khusus mengurusi lembaga penyiaran Radio dan Televisi.
Bola ada di tangan Legislator DPR Senayan.
Semoga mereka “ngeh” melihat fenomena Millenial mutakhir ini.
Dewan yang terhormat, inilah proyek…2020

(* Penulis, mantan Komisioner KPID Kalbar 2003-2007, Mantan Pemred MKTV ( kini Kompas TV), Kini aktif Jurnalis Citizen Mukim di Kota Makassar).