Menyelesaikan kegaduhan tentang salam pembuka semua agama

 

Oleh : Firman Syah Ali

Saat ini sedang terjadi polemik terkait tausiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang menyatakan bahwa pengucapan salam semua agama merupakan sesuatu yang bid’ah, mengandung nilai syubhat, dan patut dihindari oleh umat Islam. Tausiyah tersebut langsung mendapatkan dukungan dari Sekjen MUI Pusat Anwar Abbas dan Wasekjen MUI Pusat Tengku Zulkarnaen.

Namanya juga polemik, disamping ada yang pro juga pasti ada yang kontra. Tokoh yang terang-terangan kontra dengan tausiyah MUI Jatim tersebut antara lain Sekjen PBNU Helmy Faisal Zaini, Sesepuh Muhammadiyah Buya Syafi’i Maarif. Pihak yang kontra terhadap tausiyah MUI Jatim tersebut beralasan bahwa kita hidup di dalam sebuah negara yang heterogen dan pluralistik, hendaknya tetap saling menghargai (ko-eksistensi) dengan cara menyebutkan salam semua agama dalam pembukaan pidato-pidato resmi.

Ingatan kita mendadak melayang pada sebuah peristiwa tepat setahun lalu, saat Rakornas Korpa Alumni HMI (KAHMI) di Jambi berlangsung ricuh gara-gara pembawa acara membaca salam penutup khas NU yaitu “Wallahul Muwaffiq ila aqwamith-thariq”, padahal KAHMI dan HMI punya salam penutup khas tersendiri, yaitu “Billahit Taufiq wal Hidayah” yang kebetulan sama dengan salam penutup khas Muhammadiyah.

Situasi sangat sensitif karena selain merupakan salam penutup khas NU, Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith-thariq juga merupakan salam penutup khas “teman sepermainan” HMI di berbagai kampus, yaitu PMII.

Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan antar golongan. Setiap agama punya salam khas tersendiri yang biasa dipakai dalam pidato-pidato resmi, beberapa suku juga punya salam khas sendiri. Begitu juga hampir semua ormas dan parpol punya salam khas sendiri-sendiri, misalnya Ormas GMNI punya salam penutup MERDEKA. Ormas IMM punya salam penutup billahi fi sabilil haq, fastabiqul khairat. PDI Perjuangan punya salam penutup MERDEKA.

Salam penutup khas masing-masing Ormas dan Parpol tersebut sering menjadi polemik ketika dibacakan oleh salah seorang pejabat publik atau pejabat birokrasi. Misalnya seorang kepala dinas di sebuah Pemprov yang gubernurnya berlatar-belakang NU tau-tau menutup pidatonya dengan kalimat “billahi fi sabilil haq”, sontak hadirin berbisik-bisik “waah Bapak ini kader Muhammadiyah, kok kendel yo?”. Atau salah seorang pejabat politik yang selama ini dianggap sebagai tokoh NU tau-tau menutup pidatonya dengan “billahit-taufiq wal hidayah”, pasti langsung menimbulkan bisik-bisik di kalangan hadirin.

Kejadian lucu terjadi di kalangan pejabat ASN yang terkenal dengan keterampilan menjilat tingkat tinggi. Kalau Kepala Daerahnya suka voli, mendadak semua pejabat ASN belajar voli. Kalau kepala daerahnya suka sholawatan, maka mendadak semua kepala dinas belajar sholawat. Kalau kepala daerahnya anti sholawat, mendadak semua kepala dinas lupa sholawat. Di lingkungan Pemprov Jatim konon saat ini ada beberapa pejabat ASN belajar mengucapkan salam khas NU Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith-thariq hingga pengucapannya keliru-keliru dan mengundang tertawa kecil beberapa hadirin yang berasal dari NU.

Menurut saya sebaiknya semua tokoh dan pejabat di Indonesia mempunyai keterampilan membaca audiens yang tinggi. Ketika berpidato di forum internal ormas/parpol/golongannya, bolehlah berpidato dengan salam pembuka dan penutup khas ormas/parpol/golongannya masing-masing. Tapi ketika berpidato di forum lintas ormas/parpol/golongan, hendaknya memakai salam pembuka dan penutup yang sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya masing-masing dan ditambahi “salam sejahtera untuk kita semua”. Misalnya Orang Islam mengucapkan salam “Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh dan salam sejahtera untuk kita semua”. Yang Buddha mengucapkan “Namo Budhaya dan salam sejahtera untuk kita semua”. Yang hindhu ucapkan “Om Swastiastu dan salam sejahtera untuk kita semua”. Yang penganut kepercayaan kuno jawa mengucapkan “rahayu dan salam sejahtera untuk kita semua”.

Saya kira itu jauh lebih elegan tanpa kita harus repot-repot mengabsen salam khas agama lain satu per satu. Apalagi dalam acara-acara resmi pemerintahan yang menggunakan uang rakyat, sebaiknya gunakan salam pembuka dan penutup yang bersifat netral, tidak kontroversial, tidak memancing kegaduhan sosial. Misalnya pejabat non muslim tau-tau ucapkan Assalamualikum wr wb, pasti beberapa kelompok muslim yang sedikit bergenre keras akan protes.

Saya sendiri sebagai Pengurus banyak ormas dan sebagai pejabat ASN, setiap kali memberi sambutan dalam acara-acara organisasi maupun acara birokrasi selalu memakai salam sederhana “Assalamualikum Wr Wb dan salam sejahtera untuk kita semua”, begitupun seusai pidato saya ucapkan “Wassamualaikum Wr Wb dan salam sejahtera untuk kita semua”, saya tidak berusaha repot-repot menyebut salam khas semua agama dan semua aliran kepercayaan dan semua ormas dan semua parpol, nanti salah pengucapan malah disomasi.

Salam di atas saya ucapkan karena saya muslim, saya laksanakan tuntunan agama untuk selalu ucapkan Ass Wr Wb kemudian saya tambahi dengan pengharagaan kepada penganut agama lain/kepercayaan lain dengan “salam sejahtera untuk kita semua”. Andai saya seorang Hindhu pasti salam pembuka saya “Om swastiastu dan salam sejahtera untuk kita semua”.

Marilah salam pembuka dan penutup dalam pidato-pidato jangan dijadikan sebagai sumber perpecahan, tapi jadikanlah sebagai sumber persatuan dan kesatuan. Para pejabat dan tokoh yang berpidato hendaknya juga pandai membaca audiens agar salam pembuka dan penutupnya tidak menimbulkan kontroversi.

*) Penulis adalah Pengurus Harian LP Ma’arif NU Jawa Timur dan Bendahara Umum IKA PMII Jawa Timur.