Oleh Arnis Silvia*
Nadiem Makarim, Mantan CEO Gojek berusia 35 tahun itu didapuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Pendidikan Tinggi (Mendikbud Dikti) yang akan menangani pendidikan jenjang dasar, menengah, dan tinggi. Bukan lulusan jurusan pendidikan, pun tidak bergelar profesor. Tentu hal ini mengejutkan sekaligus menegangkan. Di masa dimana untuk menjadi rektor saja seseorang harus memiliki jabatan Guru Besar, seorang lulusan S-1 (lebih rendah jabatannya dari Asisten Ahli) seperti Nadiem justru diangkat menjadi seorang Mendikbud Dikti. Ini betul-betul sebuah disrupsi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, terutama di bidang pendidikan di Indonesia.
Tentu saja, S-1 Nadiem Makarim bukan sembarang S-1. Seorang Nadiem menimba ilmu di Amerika Serikat di dua kampus ternama: Brown University dan Harvard Business School. Sebelum menjadi CEO perusahaan decacorn Gojek dengan nilai valuasi di atas US$ 10 Miliar, Nadiem juga pernah menjadi Co-founder Zalora Indonesia dan Kartuku. Pengalaman manajerial yang eksepsional seperti ini tidak bisa kita pandang sebelah mata. Rektor Politeknik dan sekolah vokasi di Indonesia mungkin belum tentu bisa mencapai prestasi Nadiem ini.
Pastinya banyak pandangan mainstream yang cenderung sinis, apatis, atau bahkan pesimis terhadap kemampuan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud. Namun, kali ini saya ingin juga menawarkan sebuah disrupsi; saya ingin melihat penunjukan Nadiem ini dari sudut pandang opportunity.
Sosok Nadiem Makarim bisa dilihat dari kemampuan MO [ *mobilisasi dan orkestrasi*] nya (Rhenald Kasali, 2019). Gojek menjadi perusahaan decacorn melalui dua hal ini. Perusahaan Gojek tidak memiliki sendiri sepeda motor, driver, gerai makanan, maupun penyedia jasa lainnya yang tergabung
dalam bisnis raksasa ini. Namun, dengan MO ini, berbagai stakeholder bisa dan mau terlibat secara
masif.
Sebagai individu, Nadiem tidak memiliki sendiri segala rekam jejak menjadi akademisi dan pengetahuan dalam sisdiknas. Namun, di dalam sistem yang sama, ada banyak ahli yang (kalau mau bekerjasama) akan bisa dimobilisasi dan diorkestrasi. Kita memiliki banyak profesor di bidang
keilmuannya masing-masing, kita memiliki ilmuwan dan periset berkelas dunia, kita memiliki inovator- inovator luar biasa, dan kita memiliki anak- anak muda yang kreatif.
Mobilisasi dan orkestrasi ini, jika diterapkan dalam pendidikan secara tepat dan jitu, tentu bisa membawa perubahan yang penting. Di sana sini kita mendengar kuliah umum mengenai Industri 4.0 dan dampaknya pada pendidikan, namun seringkali pula kita belum ngeh apa implikasi praktisnya pada tatanan dan sistem pendidikan kita.
Mungkin, Nadiem dengan dibantu ahli-ahli di bidang keilmuan, teknologi, riset, komunikasi global, bisa membawa perubahan segar bagi pendidikan kita yang mana pelaku dan target utamanya adalah siswa. Orang muda seperti Nadiem memiliki generation gap yang kecil dengan anak-anak didik kita, dan mudah-mudahan dia bisa merumuskan sistem pendidikan yang berkualitas dengan cara dan medium yang lebih berterima bagi generasi siswa.
Nadiem dengan background profesional yang dia miliki, justru lebih bisa leluasa untuk menentukan arah masa depan Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi di Indonesia tanpa terbebani dengan hutang politik kepada partai pengusung. Dia juga yang mengalami pendidikan yang bermutu dan berkualitas sejak kecil hingga dewasa, semoga bisa lebih peka dalam mengidentifikasi apa-apa saja yang go wrong dalam pendidikan kita lalu fokus pada inovasi- inovasi menuju kemajuan.
Banyak pekerjaan rumah dalam dunia pendidikan, di mana salah satunya guru dan pendidik terlalu lama terjerat dalam pekerjaan administratif sehingga tugas utama mereka untuk melakukan inovasi di kelasnya menjadi sangat terbebani. Siswa merasa pelajaran tak lagi relevan dengan kemajuan zaman dan materi yang diajarkan rupanya masih saja sama dengan pelajaran zaman orang tua mereka. Perlu
sebuah disrupsi untuk membuat simplifikasi dalam bidang administrasi serta untuk mendorong inovasi-inovasi di level akar rumput yakni ruangan kelas.
Semoga, Nadiem Makarim dengan kemampuan mobilisasi dan orkestrasinya justru bisa membawa pendidikan kita pada kualitas, bukan lagi pada formalitas. Semoga, dengan bantuan teknologi tepat guna, guru dan dosen tak lagi terbebani oleh paperwork, namun lebih berfokus pada their real work.
*Arnis Silvia adalah PhD Candidate di University of South Australia dan dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta