Dipengungsian. Bapak Bapak Itu Pakai Daster

Sebuah Puisi Esai

Oleh Denny JA

(Hingga 17 Desember 2025, lebih dari 500.000 orang mengungsi, sebagian di tempat terisolasi. Mereka bertahan, kekurangan air bersih, kekurangan makanan, sakit-sakitan, dan banyak yang meninggal di sana.) (1)

-000-

Hujan turun bukan sebagai cuaca,
melainkan lemari besi yang dibongkar paksa.

Langit menjatuhkan map-map basah,
berisi kesalahan yang tak sempat dihapus,
dan tanah, tanpa payung,
dipaksa membaca seluruh riwayatnya
dalam sekali serangan.

Di pengungsian,
Amir memakai daster.
Kain bunga itu berkibar di tubuhnya
seperti bendera negara yang kalah
sebelum sempat mengangkat kain putih.

Bukan karena ia memilih,
melainkan karena hanya daster yang tersisa.
Bantuan datang
dengan ukuran yang tak sempat
menoleh ke tubuhnya.

Ia memakai daster bukan sebagai pakaian,
melainkan sebagai pengakuan:
bahwa dunia telah menukar kata martabat
dengan sekadar masih bernapas.

Keberuntungan kini berwujud
bukan apa yang ada di tangan,
melainkan apa yang belum ikut hanyut.

Istrinya hilang.
Anaknya hilang.
Nama-nama mereka
mengambang menjadi botol kosong di sungai,
yang telah lupa
cara mengembalikan apa pun
yang pernah dipercayakan padanya.

-000-

Setiap pagi, Amir menyusuri sungai itu,
yang dulu adalah jalan pulang.
Kini sungai menelan rumahnya,
dan memanggilnya
dengan suara air.

Pengungsian ini
adalah kamus kemiskinan darurat.
Tenda-tenda berdiri
sebagai kalimat patah
di tengah kata kerja.

Debu menulis ulang paru-paru.
Air bersih datang
dengan irama janji:
besok, lusa, dalam waktu dekat.
Banyak bersyukur
menjadi satu-satunya cara
menunda putus asa.

Kemarin,
bersama teman setenda,
ia menguburkan seorang kawan.
Kuburannya dangkal,
seperti anggaran bantuan yang ada.

Ia mati bukan oleh air,
melainkan oleh waktu
yang kehabisan dokter.

Tanah basah menutup tubuh itu
tanpa upacara,
seolah kematian
adalah berita lama
yang tak lagi layak tayang.

-000-

Anak-anak berlarian
dengan mata kalender
yang kehilangan tanggal.

Mereka belajar mengeja hari
dari antrean mi instan,
menghafal bentuk masa depan
dari bunyi truk bantuan.

Sekolah menjauh,
menjadi burung
yang memilih langit lain.

Amir duduk sendiri.
Daster melekat
bagai kulit kedua
yang tak pernah ia pesan.

Di dadanya, masa lalu berdiri
sebagai hakim tanpa palu.
Ia teringat pekerjaannya:
menebang hutan,
ilegal,
dibayar dengan angka kecil
untuk merobohkan
kesabaran bumi yang sudah tua.

Setiap pohon yang tumbang
pernah ia hitung sebagai makan hari ini.
Setiap batang yang roboh
ia kira sekadar kayu.

Kini ia mendengar
akar-akar berbisik dari bawah tanah:

kami memegang bumi
agar kalian bisa tidur,
dan kau memotong jari-jari kami
demi sepotong roti.

-000-

Malam bertanya balik
ketika ia menggantungkan kata karma
di langit-langit tenda.
Jawabannya datang
sebagai hujan.

Pohon-pohon marah,
bukan dengan teriakan,
melainkan dengan absen.

Tanah kehilangan tangan,
lalu meluncur,
membawa rumah, doa,
dan nama-nama manusia
seperti koper tanpa alamat.

Amir bisa tahan dingin.
Ia bisa tahan lapar.
Tubuhnya terlatih
oleh panjangnya kekurangan.

Namun ia tak tahan
pada rasa bersalah
yang berdenyut diam-diam,
menjadi sungai baru
yang mencari jalan
di dalam dadanya.

-000-

Kampungnya hilang.
Rumahnya menjelma aliran.
Identitasnya mengecil
menjadi nomor tenda
dan nama pada karung beras.

Daster di tubuhnya
menjadi saksi bisu:
bencana bukan hanya
menelanjangi alam,
tetapi juga
merobek cara
kita menyebut diri sendiri.

Di pengungsian itu,
Amir membaca pelajaran
yang tak pernah diajarkan gergaji:
setiap batang yang dipotong
adalah kalimat yang dikirim
kepada hari yang belum lahir.

Suatu hari,
balasannya datang sebagai banjir,
tanpa perangko,
tanpa salam pembuka.

Jika suatu hari hujan reda
dan bumi menemukan lagi pegangan,
Amir ingin menanam.

Bukan sekadar bibit,
melainkan penyesalan
yang dibiarkan berakar panjang.

Ia membayangkan hutan tumbuh kembali
seperti doa yang pelan-pelan
menarik nama kampungnya
dari lumpur.

Di antara batang-batang muda,
para bapak berjalan dengan baju apa saja,
sebab yang melekat di tubuh mereka
bukan lagi sisa bantuan,
melainkan bayangan pohon,
teduh sederhana
yang menjaga nama mereka
agar tetap utuh sebagai manusia.

Jakarta, 18 Desember 2025

CATATAN

(1) Beberapa berita menggambarkan kondisi pengungsian akibat banjir sumatra

Bapak-Bapak Korban Bencana Terpaksa Pakai Baju Daster, Tak Kuat Kedinginan, Bukan Maksud Mengejek – Tribun-medan.com

Korban Tewas di Pengungsian Bencana Sumatera Terus Berjatuhan

-000-

Berbagai puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu.