Pentingnya Kesehatan Mental Pada Siswa Pasca Ledakan di SMAN 72 Jakarta

 

Oleh: Amalia Salsa Sabila
( Mahasiswi Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga di Banyuwangi).

Ledakan di SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025 saat ritual sholat jumat, membuka mata banyak pihak akan urgensi membangun sistem dukungan kesehatan mental di sekolah yang nyata, bukan sekadar formalitas.
Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan fisik, tetapi cerminan ketidakstabilan sosial dan psikologis yang telah lama mengendap di kalangan siswa. Ketika lingkungan belajar berubah menjadi tempat yang dipenuhi rasa takut. Ada masalah mendasar terkait cara sekolah memahami, mengidentifikasi, dan menangani tanda-tanda gangguan emosional serta perlakuan yang diterima siswa setiap hari.

Menurut pernyataan dari Kepolisian Daerah Metro Jaya dan saksi di lokasi kejadian, salah satu siswa yang diduga sebagai pelaku telah menahan gejolak batinnya terlalu lama. Dia sering mengekspresikan perasaannya melalui media nonverbal seperti tulisan, gambar, dan bahkan ekspresi wajah sehari-hari, tetapi gagal mendapatkan respons yang tepat dari lingkungan sekolah (Kombes i Hermanto, tvOneNews, 10 November 2025; Wikipedia SMAN 72).

Kasus ini memperkuat pendapat bahwa pendekatan preventif melalui konseling, komunikasi terbuka, dan pembentukan karakter harus menjadi inti sistem pendidikan, bukan sekadar tambahan dalam kurikulum. Konselor bimbingan, dengan segala tantangan pekerjaan mereka, harus hadir di tengah dinamika siswa dengan empati, bukan menunggu laporan administratif atau bahkan terjebak dalam praktik perundungan internal.

Sekolah perlu menyadari bahwa setiap siswa memiliki latar belakang, tekanan, dan mekanisme penyesuaian yang berbeda. Sistem konseling yang efektif adalah sistem di mana guru benar-benar mengenali perubahan sikap, perilaku, dan tingkah laku, serta menciptakan ruang aman bagi siswa yang merasa terancam atau tidak nyaman, terutama mereka yang menghadapi stigma sosial atau perundungan (Sela, ANTARA News, 7 November 2025; DetikNews, CCTV SMAN 72).

Sama pentingnya, keluarga juga harus menjadi sistem dukungan utama yang dapat memberikan landasan stabil di tengah tekanan kehidupan sekolah. Orang tua saat ini diharuskan memahami perubahan perilaku anak-anak mereka sejak dini, bukan hanya ketika masalah akut muncul. Komunikasi dua arah antara anak dan orang tua merupakan kunci untuk mencegah anak mencari “solusi” di luar saluran yang sehat. Pendidikan karakter dan dukungan psikososial, jika diterapkan secara konsisten, akan mencegah siswa merasa sendirian atau terpaksa “bertahan” dalam ekosistem pendidikan tanpa bimbingan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Siaran Pers, 9 November 2025; BBC Indonesia).

Tragedi di SMAN 72 juga memaksa kita untuk mengevaluasi peran semua pihak: mulai dari kepala sekolah, guru, staf, hingga lingkungan sekitar, dalam memutus rantai perundungan dan berbagai bentuk intimidasi yang disamarkan sebagai disiplin. Insiden yang menewaskan lebih dari 90 korban terluka ini membuktikan bahwa masalah psikologis tidak boleh diremehkan. Sekolah harus mengembangkan SOP untuk deteksi dini perilaku berisiko, mengintegrasikan skrining emosional ke dalam program harian, dan selalu berkolaborasi dengan psikolog profesional. Kemitraan antara sekolah dan keluarga tidak boleh sekadar formal, tetapi aktif dan memiliki program konkret yang bertujuan menciptakan ruang yang aman dan nyaman, bukan sekadar slogan.
Maka kampanye anti bullying sejak dini perlu digalakkan yang lebih humanis dan empiris. Juga kesetaraan atas mungkin perbedaan fisik, keyakinan dan suku untuk suasana yang nyaman, aman dan harmoni penuh toleransi.