Biografi KH. Moh.Jamaludin Ahmad Tambak Beras Jombang

Oleh : Balqis Andini Aisyah Dzakira dkk.

Tulisan ini adalah tugas berbentuk narasi Biografi Mochammad Djamaluddin Ahmad bin Ahmad bin Hasan Mustajab bin Hasan Musthofa bin Hasan Mu’ali. mata kuliah bahasa Indonesia yang dibimbing langsung oleh : Ust. Yahya Aziz Dosen PIAUD FTK UINSA.
para penulis kelompok 7, mereka adalah:
Nurur Roudhotun Nabila Firdausi (06010925010)
2.Balqis Andini Aisyah Dzakira (06020925022)
3.Devina Angel Frizki (06020925025)
4.Mamba’ul farihah (06010925007)
Kh. Mochammad Djamaluddin Ahmad
Dalam kesibukan dunia saat ini yang kerap mengutamakan pencapaian material, KH Mochammad Djamaluddin Ahmad berdiri sebagai contoh ulama yang menyatukan pengetahuan keagamaan dengan praktik hidup sehari-hari. Ia dilahirkan pada 31 Desember 1943 di Desa Kedungcangkring, Gondanglegi, Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, dan berpulang pada Kamis, 24 Februari 2022 pukul 03.15 WIB. Jenazahnya diberi salat di Masjid Bumi Damai Al-Muhibbin, Kompleks Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Tambakrejo, Jombang, kemudian dikebumikan di area pemakaman keluarga di Desa Sambongdukuh, Jombang, persis di sebelah makam istrinya, Nyai Churriyah.

Beliau merupakan anak ketiga dari empat saudara kandung. Ayahnya bernama Ahmad bin Hasan Mustajab, sedangkan ibunya adalah Hj. Mahmudah (nama asli sebelum haji Djumini) anak dari Abdurrahman bin Irsyad bin Rifa’i. Saudara-saudaranya terdiri dari Imam Ghozali (yang meninggal di usia 6 tahun), Jawahir, dan Zainal Abidin. Sejak masa kanak-kanak, Djamaluddin Ahmad berkembang di lingkungan keluarga yang penuh nilai-nilai keagamaan. Bahkan sebelum memasuki sekolah dasar, ia telah belajar mengaji kepada Kiai Abu Amar di Selorejo, Combre, Gondanglegi. Setelah menyelesaikan sekolah rakyat (sama dengan SD), pada pertengahan 1956, ia bergabung dengan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, dan melanjutkan pendidikan ke Madrasah Ibtidaiyah di dalam pesantren tersebut. Di sana, ia mengikuti program Mu’allimin untuk santri laki-laki dan bahkan diberi tanggung jawab mengajar sejak usia muda.

Tidak puas dengan pencapaian itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Jawa Tengah, termasuk mondok di Lasem dan mengikuti pengajian singkat di Poncol serta Mranggen, untuk memperdalam pengetahuan tasawuf dan thariqah. Pengalaman tersebut membentuknya menjadi ulama yang penuh khidmat. Jabatannya sebagai pengasuh Ribat Bumi Damai Al-Muhibbin di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, serta sebagai Mustasyar (pembimbing) PWNU Jawa Timur, menunjukkan komitmennya yang besar di bidang pendidikan dan dakwah Islam.

Karya tulis KH Djamaluddin Ahmad menunjukkan kedalaman pemikirannya. Ia terkenal sebagai pemandu pengajian rutin kitab Al-Hikam karya Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari, dengan pendekatan mengajar yang sangat diminati di pesantren Tambakberas. Selain itu, beliau menyusun kitab ringkas seperti Al-Inayah dan Miftahul Ushul, yang merupakan simplifikasi dari kitab Asybah wa al-Nadzair, untuk mempermudah santri memahami kaidah fiqh dan argumen-argumennya. Tak hanya itu, ia juga menghasilkan syiir Jawa yang populer di kalangan pengaji dan jamaah, sebagaimana tercatat dalam riset tentang “Ajaran Tasawuf dalam Syiir Jawi Budi Utami Karya Syeh Djamaluddin Ahmad”.

Inti pemikiran beliau menekankan tasawuf praktis, yang menyatukan ilmu lahir dan batin. Tasawuf baginya bukan hanya teori, melainkan harus dialami dalam rutinitas harian melalui wira’ (menghindari hal yang meragukan), zuhud sederhana, dan keteguhan dalam wirid serta riyaḍah. Para peneliti bahkan menyebutnya sebagai “tasawuf yang berjalan”. Ia selalu menegaskan bahwa ilmu harus berguna, bukan sekadar membuat seseorang terlihat cerdas. Saat pamit mondok, gurunya memberi pesan: “kowe nek mondok ono niatmu opo? … ojo dadi wong pinter nanging niato golek ilmu sing manfaat” (kamu mondok jangan berniat jadi orang pintar, tapi berniat mencari ilmu yang bermanfaat).

Akhlak dan kerendahan hati adalah dasar utamanya. Beliau menolak kesombongan, hidup simpel, memprioritaskan pengajaran dan silaturahmi, serta menekankan tawadhu’ (rendah hati) sambil mengkritik sifat ‘ujub atau takabur. Pengamalan thariqah Syadziliyyah diselaraskan dengan lingkungan pesantren, tanpa memisahkan tarekat dari pendidikan, namun tetap dalam kerangka ukhuwah, jamaah, dan akhlak. Dakwahnya pun melampaui pesantren; ia aktif ke desa-desa, mengajari masyarakat lapisan bawah dengan pendekatan sederhana dan mudah diterima.

Dari perjalanan hidupnya, kita dapat menarik banyak pelajaran. Pertama, ilmu bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk manfaat. Beliau menanamkan nilai mengejar ilmu dengan tujuan mencari manfaat, bukan gelar atau kebanggaan. Ini mengingatkan kita untuk merefleksikan diri: apakah pengetahuan kita benar-benar berdampak pada masyarakat atau hanya tersimpan di otak?
Kedua, akhlak dan kerendahan hati adalah syarat keberkahan ilmu. Hidup sederhana dan selalu berada di tengah santri serta masyarakat menunjukkan bahwa ilmu tanpa akhlak bisa kehilangan manfaatnya. Kita belajar bahwa dalam pendidikan atau jabatan apa pun, jangan abaikan aspek kemanusiaan: mendengarkan, melayani, dan membimbing, bukan hanya mengajar dari mimbar.
Ketiga, integrasi antara ilmu lahir dan batin—ilmu dengan praktik. KH Djamal menunjukkan bahwa pengetahuan agama seperti fiqh, tafsir, dan ushul harus disertai dimensi batin: kontrol diri, wirid, tauhid, dan zikir. Ini mendorong kita mendalami ilmu sambil membangun akhlak dan jiwa, agar tidak hanya mengejar “apa yang saya ketahui”, tetapi juga “siapa saya menjadi”.
Keempat, keteguhan dan konsistensi dalam pengajaran dan pelayanan. Meski bekalnya terbatas saat mondok, beliau tetap teguh, bahkan rela mengumpulkan sisa nasi untuk bertahan. Pelajaran ini menegaskan bahwa ketekunan dan kesungguhan adalah kunci sukses jangka panjang, bukan hanya bakat atau modal besar.
Kelima, melayani dengan kehadiran langsung. Beliau turun langsung ke masyarakat, desa-desa, mengajar di TPQ, dan memberikan ijazah, memberikan perhatian pada guru TPQ dan santri umum. Ini mengingatkan kita, di posisi mana pun—guru, mahasiswa, atau profesional—untuk tidak melupakan tanggung jawab pada generasi berikutnya atau yang kurang diperhatikan. Kehadiran langsung lebih bermakna daripada kata-kata kosong.
Akhirnya, asal-usul sederhana bukanlah hambatan untuk berprestasi. Berasal dari keluarga biasa, beliau menjadi ulama besar berkat himmah (niat dan tekad) yang tinggi. Ini mengajarkan kita untuk tidak menilai awal sebagai akhir. Dengan tekad benar dan kerja keras, kita bisa mengarahkan potensi ke manfaat yang lebih luas.