
Oleh: Dudung Badrun, S.H., M.H. (Advokat Nasional)
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya, bahasa, dan sistem sosial. Salah satu warisan luhur bangsa yang masih hidup hingga kini adalah hukum adat, yaitu aturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah hukum adat masih relevan di Indonesia saat ini, di tengah modernisasi dan globalisasi hukum nasional?
Pertanyaan ini menjadi penting, sebab hukum adat bukan sekadar masa lalu, tetapi juga sumber moral, etika, dan keadilan sosial masyarakat Nusantara. Seperti yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven, Indonesia mengenal empat norma utama yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakat, yaitu:
1. Norma agama,
2. Norma adat,
3. Norma susila, dan
4. Norma hukum positif.
Empat norma ini saling berhubungan dan berjalan harmonis di masa lalu, terutama pada masa desa adat yang otonom dan memiliki tatanan sosial tersendiri.
Desa Adat dalam Perspektif Konstitusi dan Undang-Undang
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen telah menyebutkan tentang “zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen”, yaitu kesatuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal kemerdekaan, keberadaan desa adat diakui secara konstitusional.
Dalam perkembangannya, pengakuan tersebut ditegaskan kembali melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya pada Pasal 103, yang memberikan kewenangan kepada desa adat untuk:
1. Mengatur dan melaksanakan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
2. Mengatur dan mengurus wilayah atau ulayat adat;
3. Melestarikan nilai sosial dan budaya adat;
4. Menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum adat;
5. Menyelenggarakan sidang perdamaian desa adat;
6. Memelihara ketenteraman masyarakat hukum adat; dan
7. Mengembangkan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya.
Dengan demikian, secara normatif dan yuridis, hukum adat masih memiliki tempat yang sah dalam sistem hukum nasional Indonesia.
Kehidupan Sosial Harmonis dalam Desa Adat
Pada masa lalu, kehidupan masyarakat di desa adat berjalan dengan penuh harmoni. Nilai-nilai seperti gotong royong, guyub, dan musyawarah mufakat menjadi landasan utama dalam setiap penyelesaian masalah. Dalam suasana seperti itu, tidak dikenal praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta konflik sosial yang berlarut-larut.
Masyarakat saling menghormati dan menjaga keharmonisan. Menurut kesaksian turun-temurun seperti yang diceritakan oleh almarhum Abah Haji Irsyad Badjuri, masa itu disebut sebagai “jaman normal”—yakni masa di mana kehidupan desa berlangsung aman, tenteram, dan sejahtera.
Namun kini, sistem pemilihan kepala desa (Kuwu) yang menganut prinsip demokrasi liberal sering kali justru menimbulkan perpecahan sosial, praktik politik uang, hingga munculnya “orang miskin baru” akibat biaya politik yang tinggi. Aparat hukum pun sering kali tidak berdaya menghadapi praktik perjudian dan pelanggaran moral yang tumbuh subur di masa kampanye. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis nilai dan degradasi moral di tingkat masyarakat desa.
Relevansi Hukum Adat di Era Modern
Hukum adat sesungguhnya masih sangat relevan di era modern. Ada beberapa alasan utama:
1. Sebagai Sumber Nilai dan Etika Sosial
Hukum adat menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan rasa keadilan yang lahir dari hati nurani masyarakat. Hal ini berbeda dengan hukum positif yang sering kali bersifat formal dan kaku.
2. Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Efektif
Proses penyelesaian sengketa melalui hukum adat lebih mengedepankan musyawarah dan perdamaian, bukan pemenjaraan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip restorative justice yang kini mulai diterapkan dalam sistem hukum nasional Indonesia (lihat: Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021).
3. Sebagai Pilar Ketahanan Sosial dan Budaya
Dalam konteks pembangunan nasional, hukum adat dapat berfungsi sebagai filter terhadap budaya asing dan arus globalisasi. Ia menjaga identitas dan karakter bangsa agar tidak hilang ditelan modernitas.
4. Sebagai Dasar Hukum Lingkungan dan Agraria
Konsep hak ulayat dalam hukum adat telah menjadi dasar dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 Pasal 3, yang mengakui hak masyarakat hukum adat atas tanah. Hal ini juga ditegaskan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat.
Tantangan dan Revitalisasi
Meski diakui secara hukum, pelaksanaan hukum adat menghadapi tantangan serius, seperti:
Lemahnya regenerasi pemimpin adat,
Pengaruh politik praktis dalam masyarakat adat,
Kurangnya dukungan pemerintah daerah untuk revitalisasi kelembagaan adat.
Oleh karena itu, solusi ke depan adalah memperkuat kembali fungsi desa adat sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014. Pemilihan kepala desa hendaknya dilakukan melalui musyawarah perwakilan adat, bukan dengan sistem kompetisi politik yang memecah belah masyarakat. Pemerintah juga perlu memberikan perlindungan hukum dan anggaran untuk revitalisasi nilai-nilai adat di seluruh Indonesia.
Kesimpulan
Hukum adat tidak hanya bagian dari sejarah, melainkan jiwa bangsa Indonesia. Ia hidup dan tumbuh bersama masyarakat, menjadi pedoman moral dan sosial yang membimbing perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan menghidupkan kembali peran desa adat sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014, bangsa Indonesia dapat kembali pada nilai-nilai kejujuran, gotong royong, dan keadilan sosial yang sejati—sebagaimana yang disebut oleh leluhur kita sebagai jaman normal, masa di mana hukum dijalankan dengan hati, bukan sekadar dengan pasal.
Daftar Pustaka :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
4. Van Vollenhoven, C. (1933). Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië. Leiden: Brill.
5. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2012). Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat.
6. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
7. Soepomo, R. (1982). Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
8. Ter Haar, B. (1979). Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
