Kasta / Wangsa di Bali itu faktanya ada, dan sepatutnya status gelar, megahnya tembok puri, hebatnya sejarah leluhur di Pura Kawitan masing masing tidak mengurangi RASA KEMANUSIAAN kita sebagai umat Hindu. Aturan, dresta dan tradisi selama itu buatan manusia apakah Rsi Purana atau Raja Purana tetap bisa di UBAH asal membawa kedamaian pada manusia dan sesuai dgn kebutuhan zaman. Jangan lupa pesan Sri Krisna ( Awatara Dewa Wisnu ) disaat akhir perang Bharatayudha yang mengkritik sikap dan keangkuhan Resi Bhisma yang terlalu kaku dengan tradisi sehingga kekakuan itu menyebabkan terjadinya perang Bharatayudha. Tuhan sendiri dalam Weda memberikan restu akan perubahan tradisi dgn contoh itihasa Mahabarata, jadi buat apa kita manusia dizaman kali ini merasa lebih hebat daripada para Dewata ?. Jadi jika ada orang Bali merasa diri sebagai keturunan Brahmana, keturunan Raja, keturunan Ksatria atau keturunan leluhur hebat, maka simpanlah semua itu di Griya, di Puri, di Istana, di Jero masing2, dan yang lain mari hargai gelar tradisi dan dresta yg mereka punya. Tapi jika sudah diranah publik, jadilah insan yang berkasta “kemanusiaan”. Sejarah leluhur memang beda, tapi darah kita sama, dan (sungguh) kita tidak ada apa apanya dihadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa 🕉 Salam hormat pada wanita wanita Hindu Bali yang dianggap tanpa “kasta” yg sampai saat ini masih menghadapi “tradisi kolot”. Kita rubah, caranya didik anak dan keturunan kita agar tidak kolot seperti tetua tetua itu. Rahayu 🙏 @jokowi #wedakarna #wedakarnaspiritual #pemikiranwedakarna
