
Oleh: Aceng Syamsul Hadie (ASH)*
Gencatan senjata antara Israel dan Palestina yang kembali diumumkan sepanjang 2025 sejatinya lebih tepat disebut jeda kekerasan semu, bukan perdamaian. Sebab di lapangan, darah rakyat Palestina tetap mengalir, rumah tetap diratakan, dan Gaza terus berubah menjadi kuburan massal terbuka—sementara dunia sibuk merayakan istilah “truce” seolah konflik telah usai.
Hingga akhir 2025, situasi di Gaza dan Tepi Barat menunjukkan satu pola yang konsisten: Israel tetap menjalankan operasi militer, penguasaan wilayah, dan kontrol keamanan, meski di atas kertas menyetujui gencatan senjata. Pernyataan pejabat Israel yang menolak penarikan penuh pasukan dari Gaza menegaskan satu hal: gencatan senjata tidak pernah dimaksudkan sebagai jalan menuju perdamaian, melainkan sekadar alat taktis untuk mengatur ulang kekuatan.
Gaza: Tragedi Kemanusiaan yang Dinormalisasi
Gaza hari ini bukan lagi sekadar wilayah konflik, melainkan zona bencana kemanusiaan permanen. Infrastruktur sipil hancur, rumah sakit lumpuh, pengungsian massal tak tertangani, dan kelaparan menjadi senjata tak resmi perang modern. Ironisnya, semua ini terjadi di bawah pengawasan komunitas internasional yang mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Gencatan senjata seharusnya menghentikan penderitaan sipil. Namun yang terjadi justru sebaliknya: kekerasan berlanjut dalam bentuk berbeda, lebih terfragmentasi, lebih senyap, namun tetap mematikan. Penembakan sporadis, penggerebekan, dan pembatasan bantuan kemanusiaan membuat gencatan senjata kehilangan makna substantif.
Tepi Barat: Pendudukan yang Terus Menguat
Sementara perhatian dunia terfokus ke Gaza, Tepi Barat mengalami eskalasi pendudukan yang brutal. Pengambilalihan rumah warga, jam malam, penangkapan massal, dan kekerasan pemukim Israel berlangsung hampir tanpa sanksi. Ini menunjukkan bahwa konflik Palestina–Israel bukan semata soal Hamas dan Gaza, melainkan soal proyek pendudukan jangka panjang.
Selama akar persoalan ini dihindari, setiap upaya gencatan senjata hanyalah penundaan konflik berikutnya.
Israel dan Ilusi Keamanan
Dari sisi Israel, perang berkepanjangan juga gagal memberikan rasa aman sejati bagi rakyatnya. Ketakutan, trauma, krisis politik internal, serta isolasi diplomatik makin menguat. Keamanan yang dibangun di atas penderitaan bangsa lain tidak pernah berkelanjutan. Negara mungkin bertahan, tetapi legitimasi moralnya runtuh perlahan.
Komunitas Internasional: Gagal atau Sengaja Membiarkan?
Pertanyaan paling jujur hari ini adalah: apakah dunia internasional gagal menghentikan kejahatan kemanusiaan, atau justru memilih membiarkannya? Resolusi PBB tanpa sanksi, seruan kemanusiaan tanpa tekanan politik, dan standar ganda Barat telah menjadikan hukum internasional sekadar slogan.
Palestina tidak kekurangan simpati. Yang hilang adalah keberanian politik global untuk menghentikan impunitas.
Kesimpulan
Gencatan senjata Palestina–Israel saat ini hanyalah ilusi stabilitas. Tanpa penghentian pendudukan, tanpa keadilan bagi korban, dan tanpa pertanggungjawaban hukum, perdamaian sejati mustahil terwujud.
Sejarah akan mencatat bukan hanya siapa yang menekan pelatuk, tetapi juga siapa yang diam ketika kemanusiaan dihancurkan.[]
*Penulis,
Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM
Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN (Asosiasi Wartawan International)
