
BLITAR–Polemik saling pecat antara elite PB NU yang menggemparkan netizen akhirnya berujung islah, dan di Blitar, jajaran PW NU Jawa Timur melakukan konsolidasi turba yang menekankan esensi silaturahmi dan himmah—tekad ruhani yang tidak tergoyahkan oleh perubahan keadaan.
Beberapa waktu lalu, dunia maya digemparkan oleh polemik yang melibatkan elite kepengurusan mandataris muktamar Lampung. Rais Aam KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PB NU KH Yahya Cholil Staquf terlibat dalam perselisihan yang berujung pada saling pecat, membuat netizen bereaksi hebat dan percakapan menjadi hangat. Namun, khas seperti Nahdlatul Ulama (NU), apa yang awalnya gegeran akhirnya berubah menjadi ger-ger-an—perselisihan yang diakhiri dengan islah.
Penyelesaian polemik ini tidak terjadi sendirian. Para masyayikh dan mustasyar NU turun tangan secara langsung untuk mendamaikan kedua pihak. Pertama, pertemuan islah diadakan di Pesantren Tebuireng Jombang, kemudian dilanjutkan dengan proses pendamaian di Pesantren Lirboyo Kediri. Meskipun ada rumor yang menyebutkan bahwa polemik ini disebabkan oleh masalah konsesi tambang, banyak yang menyatakan bahwa perselisihan semacam ini tidak produktif bagi sebuah jam’iyyah diniyyah seperti NU. Yang lebih penting, aktivitas jamaah NU tidak terpengaruh sama sekali oleh apa yang terjadi pada elite organisasinya. .
Jamaahnya tetap menjalankan kegiatannya sehari-hari: yasinan, sholawatan, lailatul ijtimak, dan aktivitas rijalul Ansor-an tetap berjalan lancar.
Meskipun jamaah tidak terpengaruh, perselisihan pada level elite memang menimbulkan beberapa masalah dalam manajemen organisasi. Seiring dengan pengelolaan NU yang semakin modern, struktur hirarki keorganisasian terkadang menimbulkan kebingungan.
Misalnya, persuratan yang harus ditandatangani oleh empat orang bersamaan—Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum, dan Sekretaris Umum—seringkali mengalami kendala. Selain itu, hubungan koordinasi antara PB NU dengan PW NU, PC NU, MWC, hingga ranting juga terkadang terbelah.
Namun, di tengah situasi itu, ada kehangatan yang ditunjukkan oleh jajaran PW NU Jawa Timur. Kemarin (28/12), mereka melakukan konsolidasi turba ke Blitar, bertempat di Graha NU. Acara ini dihadiri oleh beberapa PC NU beserta lembaga dan badan otonom, antara lain PC NU Kabupaten Blitar sebagai tuan rumah, PC NU Kota Blitar, PC NU Tulungagung, dan PC NU Trenggalek.
Ketua Tanfidziyah PW NU Jatim KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) menekankan bahwa turba ini bukanlah respons terhadap polemik PB NU. Menurutnya, acara ini sudah direncanakan sejak awal masa kepengurusannya dan bahkan sudah dimulai dari Banyuwangi beberapa waktu lalu. Gus Kikin juga menekankan esensi silaturahmi dalam NU.
“Selain sikaturrahmi.Kita evaluasi program kerja cabang. Alhamdulillah 4 Cabang berjalan baik,” ujar Gus Kikin panggilan akrabnya.
Yang paling menarik dari acara turba ini adalah tausiyah yang disampaikan oleh Wakil Rais Syuriah PW NU KH Abdul Matin Jawahir, pengasuh Ponpes Sunan Bejagung Tuban.
Kiai Dul Matin mengungkapkan sebuah riwayat dawuh dari Imam Abu Bakar Asy Sybli yang berbunyi: “صَاحِبُ الْهِمَّةِ لَا تُغَيِّرُهُ الْأَحْوَالُ” (Orang yang memiliki himmah tidak akan terpengaruh oleh perubahan keadaan).
Kiai Matin menjelaskan bahwa himmah bukan hanya sekadar niat, melainkan kekuatan tekad ruhani, fokus batin yang tinggi, dan kesungguhan hati menuju Allah. Orang yang memiliki himmah tidak akan melemah ketika menghadapi kesulitan, tidak akan lengah ketika keadaan lancar, dan tidak akan berubah karena pujian atau cacian.
Orientasinya adalah tujuan yang jelas, bukan keadaan yang selalu berubah. Himmah lahir dari ma‘rifat—pengetahuan bahwa semua keadaan berasal dari Allah—sehingga yang dia jaga adalah kedekatan dengan-Nya, bukan situasi di sekelilingnya.
“Situasi boleh berubah, tetapi arah hidup tidak. Itulah tanda orang yang memiliki himmah,” ujarnya.
Kiai asal Tuban ini menambahkan bahwa di tengah kegaduhan dinamika keorganisasian NU, pengurus maupun umat yang tanpa himmah akan bersikap reaktif, sedangkan orang berhimmah akan responsif dan bijak.
Selain itu, Kiai Matin juga mengisahkan kisah tentang Imam Ma‘ruf Al Karkhi. Suatu hari, Imam Ma‘ruf menaiki sampan kecil untuk menyeberangi sungai Tigris di Baghdad. Di dalam sampan itu, ada beberapa pemuda yang sibuk bercanda, bernyanyi, dan bercakap-cakap tentang hal yang sia-sia—bahkan sebagian menyebut-nyebut perkara maksiat. Beberapa orang yang bersama Imam Ma‘ruf merasa terganggu dan cemas, lalu meminta agar ia berdoa agar sampan itu terbalik supaya para pemuda itu kapok. Namun, Imam Ma‘ruf mengangkat tangannya dan berdoa: “اللَّهُمَّ كَمَا فَرَّحْتَهُمْ فِي الدُّنْيَا فَفَرِّحْهُمْ فِي الْآخِرَةِ” (Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menggembirakan mereka di dunia, maka gembirakanlah mereka pula di akhirat). Para muridnya terkejut dan bertanya mengapa ia berdoa demikian. Imam Ma‘ruf menjawab dengan tenang: “Kegembiraan mereka di akhirat tidak akan terjadi kecuali dengan taubat. Dan taubat itu lebih aku cintai daripada kebinasaan mereka.”
Akhirnya, para pemuda itu merasa tersentuh dan menyampaikan keinginan mereka untuk bertaubat kepada Allah.
Kiai Matin menyimpulkan bahwa inilah teladan para masyayikh NU dalam menyelesaikan polemik: lebih mengutamakan rahmat daripada murka, tidak senang melihat kebinasaan manusia, tetapi selalu berharap keselamatan dan hidayah bagi semua. Dakwah yang dilakukan dengan doa dan kasih sayang akan lebih berdaya daripada dakwah yang penuh emosi dan penghakiman.
Semoga Allah selalu memberika hidayah agar kita semua memiliki himmah yang kuat, menjadikan silaturahmi sebagai jembatan perdamaian di tengah keragaman, dan NU tetap menjadi pelindung umat serta pelopor kebaikan di negeri ini. Semoga polemik yang lalu menjadi pelajaran berharga untuk lebih memperkuat kebersamaan, dan kita semua diberikan kebahagiaan yang abadi di dunia dan akhirat. Amin, ya Robbal ‘Alamiin.*Imam Kusnin Ahmad*
