
– Spiritualitas di Era AI
Oleh Denny JA
Natal, dalam banyak ruang kehidupan modern, tak lagi berdiri semata sebagai peristiwa teologis umat Kristen.
Ia telah bergerak menjadi pengalaman kultural yang lebih luas, ruang perjumpaan manusia dengan nilai-nilai yang melampaui batas iman.
Data Pew Research Center menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, mayoritas non-Kristen ikut merayakan Natal, dan sebagian besar dari mereka memaknainya sebagai perayaan budaya dan kemanusiaan, bukan ritual keimanan.
Fenomena ini bukan sekadar soal dekorasi, lagu, atau libur panjang. Ia adalah penanda pergeseran kesadaran: bahwa manusia semakin berani merawat makna, tanpa harus mengunci diri dalam satu identitas tunggal.
-000-
Bagi banyak non-Kristen, Natal telah menjadi bahasa universal tentang kasih, kehangatan keluarga, dan memberi tanpa pamrih.
Ia hidup sebagai tradisi yang dibagikan, bukan dimonopoli. Agama, dalam konteks ini, mulai dipahami bukan semata sebagai sistem keyakinan, melainkan sebagai penyumbang nilai bagi peradaban bersama.
Jika kita mundur jauh ke belakang, perspektif ini menjadi makin terang.
Agama-agama besar yang kini ada rata-rata berusia tak lebih dari 4.000 tahun.
Sementara itu, Homo sapiens telah hadir sekitar 300.000 tahun lalu.
Artinya, agama-agama yang kita kenal hari ini baru muncul di ujung sekitar 1,5 persen sejarah manusia modern.
Lebih dari itu, para antropolog mencatat setidaknya 4.300 agama dan sistem kepercayaan pernah dan masih hidup di dunia. Keyakinan datang dan pergi, berubah dan bertransformasi.
Namun yang jauh lebih tua, lebih dalam, dan lebih menetap adalah persamaan kita sebagai Homo sapiens: kemampuan berempati, merasakan duka, merayakan harapan, dan mencari makna hidup.
Dalam cahaya sejarah yang panjang itu, perbedaan iman tampak muda; kemanusiaan kita jauh lebih purba.
-000-
Di sinilah kita menyaksikan tahap baru spiritualitas manusia.
Kini, seseorang dapat memeluk satu agama, beberapa tradisi batin, atau bahkan tak mengimani agama apa pun, namun tetap mampu menikmati dan mempraktikkan harta karun batin dari berbagai agama.
• Meditasi dinikmati tanpa harus menjadi Buddhis.
• Puasa dijalani tanpa harus menjadi Muslim.
• Natal dirayakan tanpa harus menjadi Kristen.
Ini bukan relativisme dangkal, melainkan kematangan batin:
saat manusia menyadari bahwa kebijaksanaan spiritual adalah milik umat manusia, bukan hak eksklusif institusi apa pun.
-000-
Natal yang dirayakan lintas iman bukan tanda lunturnya agama, melainkan tanda tumbuhnya kemanusiaan.
Ia menunjukkan bahwa spiritualitas manusia telah bergerak dari sekadar percaya menuju menghayati.
Di dunia yang sering retak oleh identitas, momen seperti Natal mengingatkan kita akan sesuatu yang lebih tua dari semua doktrin.
Sebelum kita menjadi Kristen, Muslim, Yahudi, Hindu, Buddha, atau tak beragama sama sekali, kita lebih dulu adalah manusia.
Dan mungkin, di situlah doa paling sunyi namun paling kuat bekerja: saat kita merayakan nilai luhur bersama, tanpa perlu menanyakan dari iman mana ia berasal.
-000-
Di titik inilah Artificial Intelligence (AI) akan mempercepat arah zaman.
Dengan kemampuannya merangkum, membandingkan, dan membuka akses lintas tradisi, AI akan semakin menempatkan agama-agama yang ada sebagai warisan kultural milik kita bersama, bukan tembok eksklusif yang saling berhadapan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia dapat mempelajari ajaran moral Kristiani, kebijaksanaan Buddhis, disiplin Islam, filsafat Hindu, atau etika Konfusianisme, secara cepat sekali, lengkap sekali.
Kita menghayatinya tanpa harus berpindah iman, tanpa harus bersumpah setia pada satu dogma.
AI tidak berdoa.
Namun justru karena itu, ia membaca agama tanpa rasa takut dan tanpa fanatisme.
Ia memperlakukan teks-teks suci sebagai arsip makna kemanusiaan, bukan alat klaim kebenaran tunggal.
Dengan bantuan AI, manusia kian melihat bahwa pesan-pesan terdalam agama, kasih, welas asih, pengendalian diri, keadilan, dan pengharapan, berulang dalam bahasa berbeda, tetapi dengan denyut yang sama.
AI membantu kita mengenali pola kebijaksanaan, bukan sekadar perbedaan ritual.
Contoh nyata terlihat pada platform seperti ChatGPT atau Google Bard. Ini memungkinkan pengguna membandingkan ajaran Alkitab dengan
Bhagavad Gita dalam hitungan detik.
Ia mendorong dialog lintas iman tanpa bias, dan memperkaya pemahaman spiritual secara global.
Di era ini, agama tidak melemah. Ia justru diuniversalisasi.
Dogma yang eksklusif akan ditinggalkan oleh waktu.
Namun nilai-nilai luhurnya akan bertahan, bahkan menyebar lebih luas.
AI membuat manusia kian sadar bahwa agama-agama adalah perpustakaan batin peradaban, dan setiap manusia berhak membaca, memetik, serta mempraktikkan hikmahnya, apa pun keyakinannya, bahkan jika ia memilih tak beriman sama sekali.
Mungkin inilah tahap baru spiritualitas manusia:
ketika teknologi tidak mematikan jiwa, melainkan membantu kita kembali
pada inti yang paling tua,
paling sunyi, dan paling manusiawi.
Namun spiritualitas universal tak identik relativisme. Ia menuntut kedalaman, disiplin, dan kejujuran batin: menyaring tradisi lintas iman tanpa mencabutnya dari akar sejarah, komunitas, dan penderitaan nyata manusia.”
Di Indonesia, Esoterika, Forum Spiritualitas dibangun sebagai ruang tumbuh bagi spiritualitas universal di era AI. *
Jakarta, 25 Desember 2025
REFERENSI
Lima Buku Denny JA tentang Agama, Spiritualitas, dan Happiness
1. 10 Prinsip Spiritual yang Universal: Dari Agama sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama (2025)
2. Sosiologi Agama di Era Artificial Intelligence: 7 Prinsip (2025)
3. Spirituality of Happiness: Spiritualitas Baru Abad 21, Narasi Ilmu Pengetahuan (2020)
4. The Religion of Love – Jalaluddin Rumi in Digital Art (2017)
5. 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama dari Kebenaran Mutlak Menjadi Kekayaan Kultural Milik Bersama (2021)
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/17rE8rjLUD/?mibextid=wwXIfr
