
Oleh: Dwi Juni Kartika
Peneliti NU, Corps Provost Banser Nasional, Korbid Pengkaderan PCNU Kota Blitar.
BLITAR–Nahdlatul Ulama (NU), laksana bahtera raksasa yang menampung jutaan umat, kini tengah berlayar menuju usia satu abad. Namun, di tengah perjalanan, badai internal menerjang. Pertikaian elite mengancam stabilitas kapal, padahal pelabuhan satu abad sudah di depan mata. Mampukah NU melewati prahara ini dengan selamat?
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia, NU adalah kapal besar yang membawa jutaan umat sebagai penumpangnya, mengarungi samudra zaman. Rais Aam dan Ketua Umum adalah nahkoda yang bertanggung jawab membawa kapal terus tegak berlayar meski terombang-ambing ombak di tengah lautan. Dari masa ke masa, siapa pun nahkodanya selalu menemui bermacam-macam rintangan yang berbeda-beda. Tetapi kapal besar NU selalu berhasil mengarungi zaman, dari era penjajahan Belanda dan Jepang, kemudian era partai tahun 1955, era pemberontakan dari DI/TII hingga PKI, Orde Baru, hingga yang kemarin munculnya FPI dan HTI.
Kini, menjelang NU menuju satu abad Masehi yang sudah di depan mata (kurang dua bulan lagi), terjadi turbulensi di dalam kapal besarnya. Nahkodanya terjadi pertikaian, anak buah kapal dan penumpangnya mengalami kebingungan. Kapal besar berpotensi menabrak “karang besar” dan mengalami kerusakan, padahal titik sampai di pantai satu abadnya tinggal beberapa jengkal lagi. Inilah sebenarnya ujian terbesar dalam perjalanan kapal besar NU ini.
Saya berupaya tidak melihat penyebab konflik antara jajaran Syuriyah dan Ketua Umum PBNU, tetapi jika kapal besar NU ini tidak dengan mulus mendarat di pantai satu abad Masehi yang sudah terlihat di depan mata, maka nahkoda akan dimintai pertanggungjawaban oleh muassis dan para penumpang kapal, karena mendarat dengan meninggalkan luka-luka pada kapal dan penumpangnya.
Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kondisi seperti ini, kira-kira siapakah yang rela menjadi jangkar untuk mengerem laju kapal sebelum menabrak karang? Tidak bisakah nahkoda dan para anak buah kapal bersama menata hati dan membuang segala ambisi untuk saat ini? Jadilah jangkar agar laju kapal kembali tenang sehingga tidak membawa luka-luka. Kapal harus tetap bersih tanpa goresan, penumpang kapal harus bisa tersenyum bangga saat sampai di daratan satu abad NU 1926-2026.
Saat saya beberapa bulan lalu sowan ke dalem rumah bersejarah KH Ridwan Abdullah (pencipta lambang NU) dalam rangka riset penemuan materi “Algoritma NU”, di antaranya saya menemukan tafsir makna-makna sirri yang ada di lambang NU, juga tamsil tongkat Musa.
Saya berdiskusi selama 6 jam dengan dzuriyah KH Ridwan. Juga diskusi dengan senior Banser Ndan Kusnin.Dalam topik tentang zaman, pada saat ini sebenarnya NU belum lahir, karena NU yang lahir 1926 akan “lahir” kembali dalam bentuk transformasi dan adaptasi pada tahun 2026.
Menjelang menuju tahun itu, fase seperti dahulu pada saat embrio lahirnya NU akan menjadi fenomena terulang lagi, yakni era Nahdhatut Tujjar, Nahdlatul Wathon, dan Tashwirul Afkar. Sekarang, era kebangkitan kemandirian ekonomi NU dengan bermacam amal usahanya sebagai gambaran Nahdlatut Tujjar sudah on top dari masa-masa lalu.
Kebangkitan lembaga-lembaga pendidikan NU yang hanya dalam satu dekade sudah memiliki 48 bahkan lebih universitas. Juga Ma’arif dan pesantren menunjukkan grafik semakin maju dan berkembang pesat.
Fase selanjutnya adalah Tashwirul Afkar, tampaknya ini yang tidak bisa dikelola dengan baik pada saat ini. Sebagai contoh, hari ini kita dihadapkan pertikaian di PBNU yang berpotensi besar hadirnya NU di satu abad nanti akan terluka, yang berarti cerobohnya nahkoda kapal besar NU ketika berada di fase Tashwirul Afkar, karena kurang bisanya mengelola manajemen konflik.
Pada era KH Wahab Hasbullah, era Tashwirul Afkar dihadapkan beragamnya permasalahan, baik tentang isu global, runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani, adanya modernitas Islam, negeri Hijaz yang dikuasai Wahabi yang kesemuanya bisa mempengaruhi aqidah Aswaja. Ditambah isu lokal, adanya era kebangkitan pergerakan dalam menghadapi penjajah, dan akhirnya disepakati lahirnya NU tahun 1926.
Yang dihadapi KH Wahab Hasbullah masa itu, pada saat ini menjelang satu abad NU di tahun 2026 seperti memiliki bobot yang sama, tetapi kasusnya berbeda. Kita menghadapi disrupsi teknologi dengan munculnya AI, lahirnya generasi digital dengan pola pikir yang sangat berbeda yang membutuhkan pendekatan yang berbeda pula, munculnya era post-truth, ghozwul fikr, dan politik global yang tidak menentu.
Isu lokalnya juga terjadi kebangkitan pergerakan kultural, polarisasi, dan ini semua menjadi tugas nahkoda kapal besar NU agar aqidah, fikroh, amaliyah, dan harokah tidak terdegradasi oleh zaman.
Dalam proses menemukan rumusan untuk bisa beradaptasi dan bertransformasi sehingga menjadi NU masa depan, fase Tashwirul Afkar pada saat ini harusnya menjadi forum konsolidasi tanpa perlu saling melukai satu sama lain. Dalam menyelesaikan segala permasalahan, tetap memakai rumus fikrah/cara berpikir ala NU, yaitu tawassuth, tawazun, dan tasamuh, agar fase Tashwirul Afkar ini bisa kita lalui dengan baik.
Inilah trajektori NU, lintasan yang menjadi algoritma dalam menyongsong satu abad Masehi NU yang sedang berproses, beradaptasi, bertransformasi menjadi NU masa depan. Adanya keguncangan saat ini, jadilah jangkar untuk kapal besar NU agar semua yang terangkut beserta kapalnya bisa selamat menuju peradaban masa depan tanpa ada yang terluka. Amin.
Wahai Nahdlatul Ulama, jadilah jangkar yang kokoh, bukan karang yang menghancurkan. Eratkan persatuan, buang ambisi pribadi, dan songsonglah satu abad NU dengan gemilang.
Luka boleh ada, tapi jangan sampai memecah belah. Mari bergandengan tangan, satukan hati, demi NU yang jaya dan bermartabat.*****
