Perilaku Korupsi Dalam Perspektif Budaya Bangsa Indonesia Yang Semakin Dalam Mencekam

 

By : Jacob Ereste

Penyair itu menatap laut yang terus bergolak seperti para koruptor yang tak mau menyerah untuk mencapai tepian agar sejenak bisa merenungkan sesungguhnya untuk apa harta benda sebanyak itu di keruk dari negeri ini. Sementara banyak penduduk yang begitu sulit untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Semua kebutuhan rumah tangga sulit untuk terbeli, karena bukan saja harganya yang mahal, tapi duit yang bisa diperoleh tidak pernah cukup. Dalam kondisi seperti inilah muncul istilah gali lobang tutup lubang, karena hutang di warung tetangga pun sudah menumpuk, tak terbayar oleh penghasilan harian yang sering juga disebut dalam istilah Senin-Kamis.

Sejenak sang Penyair membayangkan berapa banyak jumlah koruptor dibanding mereka yang tetap teguh bertahan hidup untuk tidak mengotori diri dengan perilaku bejad itu, karena perilaku mereka yang tamak dan rakus itu telah membuat rakyat semakin sengsara. Karena rakyat telah dimanipulasi oleh pembagian Bansos yang tidak pernah sampai. Inilah bentuk pemanfaatan yang memanipulasi rakyat miskin yang sudah sengsara, tapi diperdaya pula kemiskinannya.

Dari perenungan sang penyair yang sepenuhnya mengandalkan hidup dari kerja dari bilik kesenian ini sungguh tampak terang dan jelas, dari gelombang dilaut yang dia padankan dengan tindak pidana korupsi di negeri ini, mungkin akan lebih bagus cara menghentikannya dengan melakukan penyitaan terhadap semua kekayaan milik mereka, serta membuat monumen untuk memajang wajah para koruptor yang pernah tertangkap di negeri ini. Sehingga bagi mereka yang telah melakukan korupsi itu bisa mendapatkan efek jera, apalagi kemudiannya bisa dikubur dalam satu kompleks pemakaman khusus untuk para koruptor. Sehingga anak cucu dan keturunannya — saat hendak berziarah — dapat meresapi benar betapa korupsi itu sungguh amat tercela dan hina. Dan perlu mendapat perlakuan ekstra yang hina dina, agar tidak beranak pinak seperti budaya korupsi di negeri yang semakin berjaya dan menggila.

Sekarang — di Indonesia — perilaku korupsi terkesan telah menjadi profesi baru yang sangat membanggakan, ketika seseorang hanya dalam kurun tertentu sudah bisa tampil mewah, meski posisi dan kedudukan di tempat kerjanya tidak terlalu penting, lantaran yang utama adalah bagaimana cara tercepat untuk memperkaya diri, sebab itulah standar ku berhasil manusia yang telah terperangkap dalam ideologi kapitalisme di Indonesia yang telah meningkat status sosialnya dengan sebutan neo lib yang lebih mengutamakan persaingan dengan mengedepankan keunggulan pasar bebas.

Koruptor pun di berbagai instansi dan lembaga pemerintah seperti tak dapat diredam, seperti air yang terus merembes ke berbagai penjuru angin, selama peluang dan kesempatan terbuka memberi jalan untuk melakukannya di semua bidang pekerjaan, tidak kecuali di lembaga dan instansi keagamaan yang justru merasa lebih aman dan nyaman untuk melakukan praktek korupsi atau penyimpangan serta manipulasi, karena terlindung oleh kubah keagamaan.

Ukuran kesuksesan seorang perkara di Indonesia memang bukan apa yang mampu dilakukannya serta bermanfaat bagi orang banyak. Tetapi seberapa banyak keberhasilan yang mampu dilakukan untuk memperoleh harta kekayaan dalam waktu singkat. Maka itu, penampilan seseorang di Indonesia lebih terpandang dari penampilannya, meski semuanya adalah palsu, tidak otentik hasil kerja profesi yang dilakukannya. Gejala ini seperti yang terungkap dibalik kegandrungan warga masyarakat Indonesia untuk menjadi pegawai negeri atau bekerja di wilayah pemerintahan, bukan di wilayah swasta yang juga tidak cukup memiliki keahlian profesional.

Akibatnya, suasana di tempat kerja telah menjadi arena perlombaan atau persaingan yang tidak sehat. Reputasi korup menjadi incaran paling besar dibanding reputasi prestasi yang dapat memberi manfaat ku kepada orang banyak. Dan cara kerjanya sekedar untuk mengisi absen dan duduk manis, tiada inisiatif untuk berbuat lebih banyak dalam melayani masyarakat.

Di Indonesia, koruptor telah membangun sindikat tanpa bentuk — semacam pejabat melindungi pejabat yang lain dalam perilaku korupsi yang kemudian menjadi gerombolan korupsi berjamaah. Sehingga tindak pidana korupsi memperoleh pembenaran hingga semakin sulit diberantas. Lantaran perilaku korupsi telah menjadi konvensi tidak tertulis — untuk tidak saling mengganggu antara yang satu dengan yang lain — karena sesama pemilik tabi’at korup selalu ada harapan untuk dapat saling berbagi — sebagai wujud dari kompensasi dari sikap membungkam atau tidak saling mengganggu yang telah menjadi kesempatakan tidak tertulis sesama koruptor di sebuah instansi atau lembaga pemerintah.

Istilah korupsi berjamaah pun kini telah ditinggalkan oleh para koruptor yang muncul dalam generasi terbaru di negeri ini yang lebih canggih, berani dan lebih heroik untuk melumpuhkan berbagai aparat penegak hukum hingga instansi yang ada untuk dapat dikendalikan dengan cara menyisihkan sebagian dari hasil korupsi itu, sehingga terjadi komunitas sandra yang mampu menyandera pihak lain agar tidak dapat bisa berkutik atau bertindak lebih jauh untuk membongkar perilaku jahat mereka. Karena itu gerakan yang mereka lakukan mulai dari dirinya sendiri hingga instansi tempatnya bernaung agar tidak berdaya untuk berbuat apa-apa. Apalagi kemudian sudah mendapat jatuh rutin dari duit haram yang dikentit dari anggaran proyek negara. Padahal duit yang dimiliki negara ini adalah uang yang didulang dari tetesan keringat rakyat. Begitulah perilaku korupsi yang telah menjadi bagian dari budaya di negeri kita ini. Dan perilaku korupsi dalam perspektif budaya bangsa Indonesia jelas terkesan semakin dalam mengcengkeram. Karena bagi yang tidak mau ikutan korupsi akan disisihkan oleh para koruptor dari dalam lingkaran pergaulan lingkungan pekerjaan mereka.

 

Tanjung Pasir, 22 November 2025