
Oleh : Sujaya, S. Pd. Gr.
Pemerhati Pendidikan Karakter
Indonesia tengah menatap cita-cita besar menjadi Generasi Emas 2045, saat bangsa ini genap berusia 100 tahun dan diharapkan memasuki era Indonesia maju. Namun, mimpi besar itu terancam apabila generasi mudanya masih terjebak dalam berbagai persoalan karakter—terutama fenomena perundungan atau bullying yang terus merayap dalam lingkungan pendidikan.
Perundungan bukan sekadar konflik biasa antar siswa. Ia adalah bentuk kekerasan psikologis maupun fisik yang mencederai martabat seseorang. Di tengah arus perkembangan teknologi, fenomena ini bahkan semakin mengkhawatirkan karena berkembang menjadi bentuk-bentuk baru seperti cyberbullying, penyebaran hoaks, body shaming, serta perundungan berbasis gengsi sosial.
Perundungan: Ancaman Senyap yang Mengoyak Masa Depan Anak
Banyak pihak tidak menyadari bahwa perundungan mampu meninggalkan luka jangka panjang. Korban mungkin terlihat diam, tetapi di balik itu mereka menanggung rasa takut, malu, kehilangan semangat, hingga trauma mendalam. Dampak-dampak ini sering muncul dalam bentuk:
Prestasi akademik menurun karena korban kehilangan fokus dan semangat belajar.
Gangguan mental seperti kecemasan, stres berkepanjangan, sulit tidur, bahkan depresi.
Menurunnya kepercayaan diri, sehingga anak enggan berinteraksi sosial.
Absensi meningkat karena korban takut ke sekolah.
Perilaku menarik diri yang membuat anak semakin rentan sebagai target perundungan berikutnya.
Ketika potensi anak terganggu, bangsa pun kehilangan calon-calon pemimpin, inovator, dan talenta terbaiknya.
Mengapa Perundungan Terus Terjadi?
Masalah perundungan tidak muncul tiba-tiba. Ada berbagai faktor yang menjadi pemicunya, antara lain:
1. Lemahnya Pendidikan Karakter
Jika pendidikan hanya berfokus pada capaian akademik, maka aspek budi pekerti dan empati sering terabaikan. Anak-anak yang kurang mendapatkan pembinaan karakter cenderung tidak memahami batas antara bercanda dan menyakiti.
2. Pengaruh Lingkungan dan Perilaku Model
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Ketika lingkungan rumah atau pergaulan memperlihatkan kekerasan, hinaan, atau saling merendahkan, maka pola itu ditiru dalam kehidupan sekolah.
3. Media Sosial Tanpa Etika Digital
Generasi muda sangat aktif di dunia maya. Namun tanpa literasi digital, mereka mudah terjebak dalam tindakan-tindakan seperti menyebarkan foto tanpa izin, membuat komentar kasar, atau mempermalukan teman secara daring.
4. Budaya Diam dan Minimnya Pelaporan
Banyak korban enggan bicara karena takut dianggap lemah atau justru disalahkan. Di sisi lain, saksi sering memilih diam daripada melapor, sehingga pelaku merasa tindakannya normal dan bisa diteruskan.
Sekolah sebagai Garda Terdepan Pencegahan Perundungan
Agar perundungan tidak semakin meluas, sekolah perlu membangun ekosistem yang mendukung Sekolah Ramah Anak. Ada beberapa strategi kunci yang dapat dilakukan:
1. Penguatan Pendidikan Karakter dan Disiplin Positif
Setiap pembelajaran perlu memasukkan nilai empati, tanggung jawab, sopan santun, dan kesadaran bahwa setiap manusia bernilai. Pendekatan disiplin positif dan restorative justice lebih baik dibanding hukuman keras.
2. Program Anti-Bullying Terstruktur
Sekolah perlu memiliki SOP penanganan perundungan, tim khusus pencegahan, serta kanal pelaporan yang aman dan rahasia bagi siswa.
3. Penguatan Literasi Digital
Siswa harus memahami etika berkomunikasi di dunia maya, bahaya cyberbullying, serta konsekuensi hukum dari menyebarkan konten merugikan.
4. Pelibatan Orang Tua dan Komite Sekolah
Pendidikan karakter tidak hanya tugas sekolah. Orang tua perlu mendapatkan edukasi tentang pola asuh yang tepat, komunikasi yang hangat, dan cara responsif menghadapi indikasi perundungan.
5. Revitalisasi Layanan Bimbingan Konseling
Guru BK berperan penting sebagai pendamping emosional. Konseling harus aktif melakukan pendekatan personal, asesmen, dan pembinaan perilaku.
Menjadi Generasi Berkarakter: Kunci Menuju Indonesia Emas
Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa besar bila generasi mudanya tumbuh dalam budaya merundung dan dirundung. Generasi Emas bukan hanya soal kemampuan akademik, teknologi, atau ekonomi, tetapi juga tentang kepribadian mulia, empati, solidaritas, dan akhlak yang kuat.
Oleh karena itu:
Guru harus menjadi teladan dalam tutur kata dan sikap.
Siswa harus saling menghormati dan menjunjung martabat temannya.
Sekolah harus menjadi tempat aman, bukan arena ketakutan.
Masyarakat harus hadir sebagai pelindung anak-anak.
Penutup: Saatnya Indonesia Membangun Lingkungan Tanpa Perundungan
Fenomena perundungan di kalangan generasi muda adalah ancaman nyata bagi masa depan bangsa. Jika tidak ditangani serius, kita bukan hanya menyakiti satu anak, tetapi meruntuhkan masa depan seluruh generasi.
Sebaliknya, jika sekolah, keluarga, dan masyarakat bersatu memerangi perundungan, maka Indonesia memiliki peluang besar mencetak generasi yang lebih tangguh, berkarakter, dan siap membawa bangsa menuju puncak kejayaan pada tahun 2045.
Generasi Emas Indonesia hanya dapat terwujud bila setiap anak merasa aman, dihargai, dan dicintai.
Sujaya
