Armina 2025 : Spiritualitas, Tantangan dan Digitalisasi Ibadah Haji

Oleh: Dr. H. Fauzan, S.Pd., M.Si (FEBI UIN KHAS Jember dan Alumni Pend Sejarah FKIP UNEJ.

Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia menuju Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima: ibadah haji. Dari seluruh rangkaian ibadah yang dijalani, fase Arafah, Muzdalifah, dan Mina—yang dikenal dengan singkatan Armina—merupakan puncak sekaligus inti dari perjalanan spiritual ini. Di Armina, manusia tak sekadar bergerak secara fisik, tetapi juga menjalani proses pemurnian diri yang mendalam.

Tahun 2025 menandai babak baru dalam pengelolaan ibadah haji, terutama pada fase Armina. Jumlah jemaah yang terus meningkat pasca-pandemi, ditambah dengan upaya modernisasi layanan haji oleh pemerintah Arab Saudi dan Indonesia, membawa sejumlah perubahan yang signifikan. Di sisi lain, tantangan-tantangan sosial, fisik, dan spiritual tetap menjadi bagian tak terelakkan dari perjalanan suci ini.

Armina: Simbol Gerak Menuju Tuhan

Secara spiritual, Armina bukan sekadar nama tiga lokasi. Ia adalah metafora perjalanan eksistensial seorang hamba:
• Arafah menjadi tempat perjumpaan dengan diri dan Tuhan, melalui wukuf yang penuh doa dan tangisan penyesalan.
• Muzdalifah adalah persinggahan malam yang sunyi, tempat jemaah mengumpulkan batu sambil mengumpulkan tekad.
• Mina, dengan ritual lempar jumrah, menjadi simbol perlawanan terhadap hawa nafsu dan godaan dunia.

Di tengah keramaian jutaan orang, Armina justru menjadi ruang sunyi batin, tempat manusia menanggalkan identitas duniawi dan kembali sebagai hamba sejati.

Manajemen Ibadah di Era Digital

Namun di balik kekhusyukan itu, terdapat kerja besar yang melibatkan ribuan petugas dan teknologi canggih. Tahun 2025 menjadi tonggak penting dalam manajemen Armina karena dua hal utama: lonjakan jumlah jemaah dan penerapan teknologi digital secara luas.

Arab Saudi kini menerapkan sistem smart card dan pelacakan biometrik untuk setiap jemaah. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), merespons dengan sistem kloterisasi terjadwal, penambahan layanan bagi lansia, serta peluncuran aplikasi “Haji Pintar” untuk memantau pergerakan jemaah secara real-time.

Meskipun teknologi membantu efisiensi, tantangan tetap besar. Kemacetan pergerakan dari Muzdalifah ke Mina, cuaca ekstrem, dan risiko kelelahan massal menjadi pekerjaan rumah yang terus diantisipasi. Di sisi lain, banyak jemaah lansia masih gagap menghadapi sistem digital, membutuhkan pendampingan dan pendekatan yang lebih manusiawi.

Etika Kolektif di Tengah Keramaian

Armina adalah tempat ujian—bukan hanya bagi jemaah, tapi juga bagi solidaritas umat Islam. Di sini, etika kolektif menjadi nyata: berbagi tempat tidur, mengantri toilet, menunggu giliran lontar jumrah, hingga menerima keterlambatan dengan sabar. Semua itu adalah latihan akhlak yang tak tertulis dalam buku-buku fiqih, tetapi nyata dalam denyut kehidupan para peziarah.

Armina mengajarkan bahwa spiritualitas bukan hanya hubungan vertikal dengan Tuhan, tapi juga bagaimana manusia bersikap dalam kepadatan, ketidaknyamanan, dan perbedaan.

Penutup: Pelajaran dari Armina 2025

Armina 2025 menyajikan dua wajah sekaligus: wajah spiritual yang menyentuh batin, dan wajah logistik yang menantang. Keduanya perlu berjalan beriringan. Teknologi dan sistem modern harus menjadi penopang, bukan pengganti, dari nilai-nilai dasar ibadah: kesabaran, kesederhanaan, dan penghambaan total kepada Tuhan.

Pengalaman di Armina mengajarkan bahwa di tengah dunia yang semakin digital dan cepat, manusia tetap mencari ruang untuk berhenti, merenung, dan kembali ke sumber hidupnya. Dan mungkin, itulah makna terdalam dari Armina: titik perhentian yang mengantar kita pulang, bukan ke rumah, tapi ke dalam diri yang sejati.