
Oleh: H.Imam Kusnin Ahmad SH.
Kali ini tulisan Kajian Ramadan akan masuk pada bab Kelima Penetapan 2 Bulan,yaitu Bulan Ramadan dan Bulan Syawal.
Ustadz Iman Makrus menukil dawuhnya KH Ali Maksum dalam Kitab Hujjah Ahlussunah Wal Jamaah, mengatan:
“Pada zaman ini, tepatnya sejak mendekati pertengahan abad lalu di Negara Indonesia misalnya, telah menyebar perdebatan dan bantahan di antara kaum muslimin terkait penetapan 2 bulan, yaitu Bulan Ramadan dan Bulan Syawal dalam menentukan awal Bulan Ramadan untuk mengawali puasa dan bulan Syawal untuk melaksanakan hari raya idul Fitri,” nukilnya.
Lalu Al Maghfirullah Kiai Ali Maksum terkait hal tadi menyampaikan nasehat, lanjut Ustadz Imam Makrus. “Kami memberikan nasehat kepada orang yang ahli di bidangnya untuk menjelaskan permasalahan dengan merujuk kepada Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah serta berpegangan kepada tali Allah secara keseluruhan dan menjauhi perpecahan karena sesungguhnya puasa dan hari Raya Idul Fitri merupakan syiar-syiar Allah yang Maha Luhur dan simbol penyatuan kalimat di atas kalimat tauhid (La ilaha Illallah),” dawuh Almaghfirulloh KH.Ali Maksum yang juga pengasuh pesantren Al-Munawir Krapyak Yogjakarta ini.
Rais Aam PBNU itu melanjutkan. “Di sini ada beberapa kajian ilmiah yang bersifat syar’i yang telah dirumuskan oleh para ulama’ dunia, yang mana kita bisa mengetahui kesimpulannya,” dawuhnya sitir Ustadz Imam Makrus.
1.Sesungguhnya para imam madzhab empat telah bersepakat bahwa Bulan Ramadan tidaklah ditetapkan kecuali dengan salah satu dari 2 perkara, yaitu ruqyatul hilal (melihat bulan) atau menyempurnakan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari jika di sana terdapat hal yang bisa mencegah ruqyatul hilal (melihat bulan) baik berupa mendung, awan, debu, ataupun lainnya.
2.Sesungguhnya mereka (para imam madzhab empat) juga bersepakat bahwa masuknya Bulan Syawal ditetapkan seperti itu, yaitu dengan ruqyatul hilal (melihat bulan). Jika bulan pada Bulan Syawal tidak bisa dilihat maka wajib menyempurnakan Bulan Ramadan menjadi 30 hari
3.Sesungguhnya perjalanan kaum muslimin secara keseluruhan adalah berdasarkan hal tersebut (ruqyatul hilan atau istikmal) tanpa pengecualian, karena kami tidak melihat jejak adanya perselisihan perdapat dari Ahlul Qiblat (orang Islam) di luar Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah sebelum tampaknya perselisihan pada zaman akhir.
4.Sesungguhnya Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan lainnya, semuanya telah bersepakat atas ketidak menbolehan menggunakan metode hisab. (Tambahan : Karena syariat tidak memerintahkan dengan menggunakan metode hisab) ini dinisbatkan kepada orang umum. Adapun jika dinisbatkan kepada hasib (orang yang mengunakan metode hisab) sendiri dan murid-muridnya (pengikutnya) maka hanya Imam Syafi’i saja yang telah benar-benar membolehkannya. Dan adapun imam-imam lainnya, dari golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan lainnya, maka mereka berpendapat menolak secara mutlak (menggunakan metode hisab), baik untuk orang umum maupun khusus.
5.Dan sesungguhnya ibrah di dalam penetapan 2 bulan, Ramadan dan Bulan Syawal, adalah dengan rukyatul hilal (melihat bulan), tidak dengan wujudnya hilal dengan melakukan praktek di dalam sesuatu yang terjadi yang mana (sesuatu itu) terkadang dapat diketahui melalui metode hisab. Lima kesimpulan ini dapat diketahui melalui kajian-kajian yang akan datang (dijelaskan).
Di dalam Kitab “Al-Madzahib Al-Arba’ah” dijelaskan, menetapkan Bulan Ramadan adalah dengan salah satu dari 2 perkara :
Pertama, rukyatul hilal (melihat bulan) jika langit tersepikan dari apa saja yang bisa mencegah penglihatan seperti mendung, awan, debu, dan sebagainya.
Kedua, menyempurnakan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari jika langit tidak tersepikan dari sesuatu yang telah dijelaskan sebagaimana sabda Nabi SAW :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ – رواه البخاري عن أبي هريرة
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berbukalah kalian (Idul Fitri) karena melihat bulan, dan jika kalian terhalang mendung maka sempurnakanlah bilangan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari” [HR. Bukhori dari sahabat Abu Huroiroh].*( bersambung- red )*.