
Oleh : M. Taufik.
Malam itu, di sudut Pasar Blimbing, Malang, seorang pemuda tekun menempa emas di bengkelnya. Namanya M. Asyik, seorang pengrajin emas yang belajar dari pamannya, Mustakim. Tangannya cekatan membentuk perhiasan, sementara pikirannya melayang ke luar sana—ke negeri yang tengah bergejolak.
Kabar kedatangan Tentara Sekutu di Surabaya telah menggema ke seluruh pelosok negeri. Ketegangan menyelimuti rakyat, terutama setelah KH. Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad.
“Kita harus berjuang, Nak,” kata Mustakim suatu malam, saat suara takbir berkumandang di kejauhan.
M. Asyik menatap emas yang baru saja ditempanya. Kilau emas itu indah, tapi panggilan perjuangan lebih menyilaukan. Ia tak bisa hanya menjadi pengrajin emas ketika tanah airnya terancam.
Tanpa ragu, ia meninggalkan bengkel emas dan bergabung dengan Laskar Hizbullah di Malang. Bersama para pemuda lain, ia mengibarkan bendera merah putih bertuliskan kalimat tauhid, menandakan tekad suci mereka.
Perjalanan ke Medan Perang
Dengan semangat jihad, M. Asyik dan kawan-kawannya menaiki kereta api menuju Surabaya. Kota itu telah berubah menjadi lautan api. Tentara Sekutu membombardir kota, sementara rakyat Surabaya bertahan mati-matian.
Di daerah Jetis, pasukan Hizbullah bertemu dengan tentara musuh. Baku tembak pecah. Peluru berdesing di udara, menghantam tembok, dan menembus rumah-rumah penduduk.
M. Asyik berlari bersama para pejuang lainnya. Mereka mencari perlindungan di antara puing-puing rumah yang hancur. Napasnya memburu. Di kejauhan, ia melihat bayangan tentara Sekutu mendekat, melakukan patroli dari rumah ke rumah.
“Jangan bergerak!” bisik seorang kawannya.
Jantungnya berdegup kencang. Dari celah reruntuhan, ia melihat sepatu-sepatu besar milik tentara asing melangkah melewati mereka. Jika mereka ditemukan, habislah sudah.
Dalam hati, ia terus berdoa. Hingga akhirnya, para tentara itu pergi tanpa menyadari keberadaan mereka. Alhamdulillah, mereka selamat.
Namun, banyak dari saudara seperjuangannya gugur. Mereka yang masih hidup memutuskan untuk mundur ke Mojokerto, menyusun kekuatan kembali.
Kembali ke Kehidupan Lama
Setelah perang berakhir, M. Asyik kembali ke Malang. Ia tak lagi mengangkat senjata, melainkan kembali mengangkat palu dan menempa emas.
Di Pasar Blimbing, ia kembali duduk di bengkelnya, tapi ia bukan orang yang sama. Tangannya tetap menempa emas, tapi hatinya tetap menempa kenangan perjuangan.
Setiap kali ia memegang logam mulia itu, ia teringat hari-hari di medan tempur. Baginya, emas bukan hanya soal keindahan, tapi juga simbol keberanian. Dan setiap perhiasan yang ia buat, ia sisipkan doa—agar perjuangan para pahlawan tak sia-sia.
M. Asyik, seorang veteran perang yang kembali menjadi pengrajin emas, tetap membawa semangat jihad dalam hatinya.