Krisis Nalar Umat di Sebabkan Nasab

Krisis Nalar Umat, di Sebabkan Nasab

 

Penulis :  Bambang Melga Ketua LTN NU Kab Bandung.

Berbincang sahdu malam tadi pukul 23.00 dengan Kiai Faruq Rois MWCNU Pasir Jambu Ciwidey, Kab. Bandung, dan perbincangan kita hampir menyita waktu satu jam pas bisa jadi kurang semenit saja, “tah…”

Yaa, tak terasa kita uplek ngobrol, diselingi tawa renyah akang Kiai muda kita ini, yakni Rois kebanggaan MWCNU Pasir Jambu.

Sosok Kiai Kang Faruq ini sangat akrab dengan kemustajaban do’anya, konon katanya jika sudah bertamu ke rumahnya yang adem di pasir jambu sana, tamu betah tak mau pulang.

Apa sebab ?
Yaa karena tamu di manjakan jamuan apapun dihadapannya, persis selogan, tamu adalah raja.

Maka berbagai macam cemilan, ia hidangkan buat kita yang datang.

Hanya tinggal jika kitanya mampu menguji mental dan nyali,”kandel kulit bengeut,” …untuk tak malu-malu, maka itu jamuan, hidangan, bisa di nikmati semuanya, dan kita bak Raja saja di sana saat bertamu.

Sosoknya kang Kiai Faruq ini sangat tawadhu, dan jika anda berkesempatan bertemu, seakan dibuat silau kita, sebab entah mengapa, ia mampu membuat aura ke Kiaiannya bisa kita tangkap.

Penampilan biasa saja sederhana, tapi…
Magnit spiritualnya sangat terasa.

Yaa bisa jadi, kita yang datang awalnya pusing, pening, tujuh keliling, dan sulit mendapatkan solusi hidup.

Hanya dengan sekali datang, di pastikan anda akan rindu untuk mau berkali-kali datang.

Baik itu untuk mendapatkan solusi mengatasi kerumitan hidup saudara.

Maupun karena merindukan senyumnya yang enak dipandang, karena kita sebagai tamu bisa menemukan keteduhan dan ketulusan lewat senyumnya itu.

Waadduuuh !

Banyak hal yang kita perpincangkan, malam tadi, dan dari kiai Faruq yang ahli ilmu Fiqih ini, beberapa catatan dapatlah penulis ketengahkan di sini.

Khususnya pada soal salah menafsiri hal terkait sholawatan, manaqiban, dan karomah Kiai atau Wali.

Mengapa Kiai satu ini getek mengulas hal itu?

“Yaa, pertama umat masih harus di didik pemahaman aqidahnya terlebih dahulu…banyak para Kiai ulama di kita menyalahi keharusan mengajarkan ilmu, hingga meninggalkan bab soal pentingnya berwudhu, dan malah mengutamakan sholawatan…!” Tuturnya.

Yaa ini yang sering terjadi di masyarakat kita, akibat propaganda sholawatan itu banyak mengandung keutamaan, karomah, dll, padahal yang diperlukan terlebih dahulu adalah membangun nilai ketauhidannya.

“Akhirnya, lihat banyak kiai dan ustad-ustad di kampung maupun di kota, minim memberikan pencerahan nilai keutamaan ilmu, yang ada, mereka terus saja mengerjakan di majlisnya sholawatan dan sholawatan.” Ungkapnya.

“Hasilnya mereka berharap sholawatan jadi solusi hidup, berpikir picik, mengharapkan keberkahannya, yang seharusnya dibarengi ilmu ketauhidan supaya sholawatannya menjalur kuat teryakini karena ada ilmunya.”

:Lalu dalam persoalan Manaqiban, kiai juga perlu melihat bahwa umat beragam tingkat pemahamannya.”

“Pemahaman mereka tidak bisa disamakan.”

“Dan tingkatan pemahaman ini, memerlukan edukasi terlebih dahulu, ada pendahuluan memahamkan inti dari Manaqiban, baru sesuai pemahamannya Manaqiban ini bisa di amalkan.”

“Manaqiban tidak bisa di hajar begitu saja, karena nantinya malah mengutamakan manaqiban di banding baca Al Qur’an…baca Qur’an saja belum lancar, eh malah berharap bisa dapat karomah, jadi sakti, dan malah berharap jadi Wali pula…” Katanya dengan dibarengi tawa.

Hal di atas tersebut yang menjadi keprihatinan Kiai Faruq, terhadap fenomena sosial yang di sebabkan oleh kiai-kiai seperti dirinya itu, terlalu memaksakan umat masuk ke wilayah dimensi spiritual kebatinan, yang seharusnya memiliki dasar tauhid yang kuat terlebih dahulu.

Bukan melompat ke wilayah tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.

” Kiai itu egonya tinggi Buya !” ungkap Kiai Faruq yang selalu menyebut penulis dengan sebutan Buya.

“Waduuuh !” Penulis menyanggah tak enak di sebut seperti itu.

” Insyaallah Buya mah bakal jadi orang besar !”

Ujar sang Kiai Muda ini, “wadduh,” malah yang terucap dari bibir sang Kiai ini do’a luarbiasa yang sering juga penulis dengar dari rekan penulis lainnya juga, yang memprediksikan penulis suatu saat nanti bakal jadi seseorang tokoh besar.

Yaa, jika di ulas lagi, jam 9 tadi malam saat penulis bertemu kang Ustad Ujang, ketua PC DMI Bojongsoang, Abah Mulyadi ketua RW di Komplek D’Amarta Residence, malah berkata, “Kang Bambang mah sudah bisa di sebut Gus !” katanya, sambil mengacungkan jempol pada penulis…”waadduh.”

“Ia Buya, ” terdengar lagi suara kang Ustad Faruq menyebut penulis.

“Yang terakhir Karomah Kiai,” ujar kang Kiai Faruq.

“Umat terlalu percaya pada keistimewaan para kiai yang di sangkanya memiliki karomah seperti wali.”

“Padahal karomah adalah hal yang bukan sesuatu yang istimewa di mata Allah, jika tak membawa pada kebaikan, atau semakin kuatnya keimanan umat atau dirinya.”

“Bisa jadi malah percuma ada karomah, jika yang ada, malah jadi suatu bentuk munculnya kesombongan.”

“Coba bukankah hal itu sekarang sudah terjadi ?”

” Banyak kalangan dari maaf, habaib menceritakan keistimewaan wali-wali mereka, padahal itu tak malah menjadikan umat jadi taqwa pada Allah, yang ada malah umat jadi gandrung pada si wali, dan tumbuh fanatik berlebihan, yang membuatnya sulit akhirnya di ingatkan.”

“Itulah Buya, PR para Kiai di kita masih banyak, dan ini siapa lagi yang akan menyerukan Pentingnya Ilmu, jika bukan kita yang turun mengedukasi umat.” Ungkap Kang Kiai Faruq.

“Tak ada karomah hebat Buya, jika tak pernah merasakan perih dan beratnya Ibadah.”

“Tak akan sampai Iman, jika yang tampak dari kita sebentuk kesombongan diri, atau menyombongkan Nasab.”

“Makanya banyak fenomena mengunggul unggulkan Nasab, sambil ilmunya sendiri cetek, tak ia punya !”

“Terlalu manja, dan banyak dimudahkan saat ayahnya ada.”

“Hal ini banyak di jumpai di para anak Kiai, mereka banyak terkecoh oleh kemashuran ayah, atau kakek moyangnya, mengunggulkan Nasab, sambil mereka tak mempersiapkan dirinya bisa sehebat mereka para moyangnya…”

“Yang pada akhirnya, ilmu yang dimilikinya itu tak seberapa, hingga akhirnya Pesantrennya sepi, dan di ditinggalkan oleh para santrinya.” Ungkap Kang Kiai Faruq mengakhiri perbincangan dengan penulis.