Kiai Pengecut Bagian Dari Ulama Su’

Penulis: KRAT Faqih Wirahadinjngrat.

“Pemberani mati hanya sekali, sementara pengecut mati berkali-kali !”
(Abraham Lincoln)

ULAMA PEWARIS NABI
Begitu tingginya posisi ulama di dalam Islam, adalah sama mulianya dengan para spiritualis di agama manapun. Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat, demikian QS Al Mujadalah : 11). Dan lebih jelas lagi melalui hadist riwayat Tirmidzi, Ahmad dan Abu Daud, dimana Nabi Muhammad SAW bersabda: “Para ulama adalah pewaris Nabi, para Nabi tidak mewariskan dirham dan dinar (harta), mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya sungguh mereka telah mengambil yang banyak (keuntungan)”.

Lihatlah beberapa kata kunci terkait Ulama : orang yang beriman, berilmu, pewaris Nabi dan tempat ummat mendapatkan keuntungan baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagai yang mendapatkan warisan dari Nabi, maka harusnya memuliakan sang pemberi warisan tersebut. Baik memuliakannya dengan giat bersholawat secara lisan, atau rajin menghadiri majelis-majelis untuk mengenang ketauladanannya. Tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana mencintai secara lahir dan batin, untuk kemudian mewujudkan ajaran luhurnya di dalam kehidupan nyata.

Sehingga banyak sekali perintah dari Allah, bahwa mentauladani Nabi adalah jalan utama menuju kecintaan Allah.

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imron :11)

Otoritas Nabi sebagai utusan, messias, juru selamat dan pemberi penerang kepada umat tentunya harus dijaga kesuciannya. Tidak mungkin Ajaran Suci, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Suci, kemudian malah diamanahkan kepada seseorang yang tidak suci. Kesucian Nabi adalah mutlak di dalam proses Kerasulan, makanya mereka memiliki sifat ma’shum, terjaga dari noda dan dosa. Karena itulah sebagai pewarisnya maka ulama harus menjadi yang terdepan di dalam memberi ketauladanan ajaran Nabi. Termasuk yang terdepan pula di dalam menjaga dari setiap upaya yang akan mengotori kesucian dari nabinya tersebut.

Kesucian Nabi, akan terkotori manakala adanya penodaan kepada Nabi dan mengatasnamakannya, baik secara pribadi maupun ajarannya. Termasuk pengakuan sebagai keturunan Nabi. Tidak bisa tidak, harus divalidasi dengan benar siapapun yang mengaku keturunan Nabi. Karena begitu banyak dalil terkait kemuliaan keluarga dan keturunan Nabi, maka penipuan dengan memakai klaim ini akan dahsyat akibatnya bagi umat. Penulis tidak akan mengupas terkait hal tersebut karena sudah pernah diulas dalam tulisan lainnya (https://rminubanten.or.id/ahlil-bait-nabi-manusia-langka-dan-mulia/).

Sebagai keturunan Nabi seketika akan memiliki kemuliaan secara genetika, itu jelas. Walaupun harus disepakati kemuliaan secara amaliah adalah jauh lebih utama.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Demikianlah QS Al Hujurat ayat 14 diatas, dimana ketaqwaan sekaligus disandingkan dengan keragaman dan kesetaraan. Hal ini secara substantif selaras dengan BHINNEKA TUNGGAL IKA, TAN HANA DHARMA MANGRWA. Keragaman dan kesetaraan, disandingkan dengan kebenaran yang tidak mendua. Di dalam Islam seorang hamba tidak akan mencapai derajat kebenaran sejati tanpa ketaqwaan kepada Sang Maha Tunggal itu sendiri.

Kesimpulannya, apabila ada pengakuan seseorang memiliki ketersambungan dengan Nasab Nabi SAW, adalah menjadi tugas utama dari para pewarisnya yaitu para ulama di dalam memvalidasi kebenarannya. Karena otoritas kemuliaan dengan tanpa koreksi, akan sangat rentan digunakan untuk penindasan. Bila pun nasab itu benar, tetap harus memegang nilai-nilai keluhuran. Apalagi bila terbukti salah, maka tentu saja tugas para ulama untuk yang paling tegas di dalam meluruskannya. Bila tidak dilakukan maka pertanyaan besarnya adalah, APAKAH PANTAS DIA MENGAKU SEBAGAI PEWARIS NABI, BILA DIAM SAJA SEMENTARA KESUCIAN NABINYA SEDANG DIPERTARUHKAN ?!?

Di dalam polemik kekinian, para ulama jangan diam saja terkait klaim sesat sebagai keturunan Nabi dari Klan Habaib Ba’alwi Imigran Yaman. Yang ternyata secara genetik bukan orang Arab. Malah terindikasi dari Klan Yahudi Khazar itrah Kaukasus. Artinya mutlak gagal sebagai keturunan Nabi Ibrahim. Baik dari jalur laki-laki ke Nabi Ismail yang menurunkan Nabi Muhammad SAW, maupun keturunan Ya’qub bin Ishaq yang menurunkan 12 suku Yahudi Abrahamik.

ULAMA KASTA TERTINGGI
Betapa dimuliakannya posisi kaum agamawan di Nusantara juga disebutkan dalam buku Best Seller ATLAS WALISONGO. Karya dari alm. KH. Mas Ngabehi Dr. Agus Sunyoto, yang juga mantan Ketua LESBUMI PBNU. Kaum agamawan selalu diposisikan sebagai yang paling mulia di Nusantara, negeri yang sangat religius ini. Baik setelah Era Islam, maupun sebelumnya. Dimana Kaum Agamawan diposisikan dalam kasta PALING ATAS di dalam strata/tingkatan masyarakatnya. Berikut ini pembagian Strata tersebut :
1. Brahmana, kaum ruhaniwan atau agamawan yang biasa disebut acharya, rishi, wiki, pandita, ajar kyayi.
2. Ksatria, golongan penguasa atau negarawan. Yang biasa disebut bhre, arya, rakryan, rakean, raden, gusti, tuan.
3. Waisya, kaum golongan karya, yang memiliki kepemilikan aset dan kemampuan intelektual. Seperti pebisnis, hartawan dan pedagang.
4. Sudra, golongan yang profesinya menjalankan secara fisik dari apa yang diperintahkan golongan diatasnya. Seperti buruh, petani, nelayan, penjaga, dan lain sebagainya.
5. Candala, anak hasil perkawinan campuran dari laki-laki sudra yang menikah dengan kasta di atasnya, sehingga dihukum kastanya akan lebih rendah dari ayahnya.
6. Mleccha, golongan warga asing atau pendatang. Termasuk pedagang dan pebisnis, setiap mereka akan membuka usaha harus melibatkan pribumi dengan bagi hasil yang diatur negara dan jumlah pajaknya pun lebih tinggi dari pribumi.
7. Tuccha, golongan sampah masyarakat. Semacam kriminal, pencuri dan perampok. Semua orang yang melanggar hukum maka akan dibanting kastanya menjadi warga yang hina dan paling bawah.

Dari sistem kasta di atas yang patut dicermati adalah posisi BRAHMANA dan MLECCHA. Brahmana adalah posisi yang paling mulia, dan posisi MLECCHA sebagai kaum pendatang yang berkasta sangat rendah, hanya diatas kaum kriminal. Dikisahkan oleh Tome Pires pelaut Portugis dan Ma Huan deputi Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming Cina, bahwa pribumi Nusantara adalah sangat arogan, gagah, pemberani, tegas dan memiliki harga diri sangat tinggi. Sebagaimana di era Raja Kertanegara, utusan Mongol yang hendak mengintimidasi Singhasari seketika dipotong telinganya dan ditantang balik bila mau macam-macam. Apalagi di Era Majapahit maupun Demak ketika Nusantara sedang kuat-kuatnya. Jangan sampai para pendatang, orang manca atau imigran memandang dengan sorot mata tidak sopan, pasti langsung dihajar oleh Pribumi Nusantara !!!

Kerajaan Mongol yang mampu menaklukkan hampir seluruh negeri yang diinvasinya, termasuk menghancurkan Kerajaan KHAZAR di Kaukasus. Dan yang paling hebat adalah meluluhlantakkan ABBASIYAH sebagai negara paling super-power saat itu, ternyata gagal total dan babak belur ketika ingin menaklukkan Nusantara. Tercatat Mongol hanya gagal di Mamluk Mesir karena salah strategi dan kelelahan ketika hendak menuju Afrika yang panas penuh padang pasir. Juga di Jepang karena armada lautnya tersapu Badai Taifun di perairan menuju Jepang. Namun di Nusantara yang iklimnya ramah dan tanahnya begitu bersahabat, 2X Mongol hancur di masa Raden Wijaya pendiri Majapahit serta Prabu Jayanegara sebagai raja penggantinya.

Namun apa yang terjadi sekarang? Karena penjajahan mental dengan segregasi kelas di masa kolonial, kita sekarang terjangkit inferiority complex. Yaitu sindrom rendah diri yang begitu kuat mencengkeram mentalitas bangsa ini. Ketika ketemu Bule Bermata Biru langsung merasa kalah pinter, dan ketika ketemu ras Kulit Kuning bermata sipit langsung merasa kalah lihai. Yang paling parah ketika ketemu Hidung Mancung, Muka Brewok, pakai sorban segede Ban Vespa langsung merasa kalah alim. Mental-mental inlander seperti ini akan menjadi penyakit kronis bagi kebangkitan sebuah bangsa. Sebutan Inlander yang sederajat Anjing di era Penjajahan harus dihapus selamanya dari Bumi Pertiwi Nusantara. Sangat memprihatinkan bila dulu kita mampu menghancurkan Mongol, sementara Mongolnya mampu menghancurkan KHAZAR. Adalah ironis bila sekarang kita harus tunduk kepada KLAN BA’ALWI yang genetiknya dari Kaukasus AL KHAZAR !!!

TANGGUNG JAWAB KEPADA UMAT
Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan ALLAH SWT.

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya :
Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban. (HR Imam Bukhari)

Dan apabila seorang Kyai atau Ulama masa bodoh terhadap klaim sesat keturunan Nabi, tanpa mau bersikap tegas dan mengkajinya secara lebih dalam, maka sama saja dia melakukan pembiaran terhadap :
1. Upaya penistaan yang mengotori kesucian Nabi.
2. Upaya penipuan terhadap umatnya yang patuh kepada ajaran dalam memuliakan keturunan Nabi.

Melakukan pembiaran dalam situasi penipuan dan penindasan, maka sama saja dia menyetujui dan ikut ambil bagian di dalam penipuan dan penindasan tersebut !!!

Lalu apa namanya bagi seorang Kyai atau ulama bila dia melakukan hal tersebut?
Jelas dia adalah ulama su’ yang akan membawa kesesatan kepada ummatnya.

Mengutip pernyataan Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kifayatul Atqiya. Disebutkan bahwa ulama su’ adalah ulama jahat yang dengan ilmunya bertujuan untuk kesenangan dunia, mendapatkan pangkat dan kedudukan di mata manusia semata. Biasanya ulama model begini sangat serakah terhadap agenda keduniawian, tetapi bersikap pengecut manakala menghadapi sesuatu yang dianggap mengancam rejekinya. Ulama yang selalu bingung dengan isi perutnya, sama hinanya dengan apa yang keluar dari perutnya tersebut.

Ulama yang seharusnya menjadi pewaris Nabi, malah terlibat di dalam mengotori kesucian Nabi.
Ulama yang seharusnya menjadi suri tauladan dari perilaku Nabi, malah mendukung dan mendiamkan sekumpulan para durjana yang mengaku cucu Nabi tetapi menindas dan memakan darah serta keringat umatnya Nabi.
Ulama yang seharusnya dihiasi ilmu dan kebijaksanaan, tiba-tiba anti ilmu pengetahuan serta berlaku tidak bijak dan arogan kepada yang memberi masukan atau nasehat kepadanya.

Apa namanya dari kesemua hal diatas, kecuali dia lebih mencintai dunia, lebih berat terhadap pangkat dan kedudukan, daripada mencintai ALLAH dan RASUL-NYA. Kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban dan pasti memanen semua kejahatannya tersebut. Tentu saja bersama para durjana yang telah menipu UMATNYA NABI.

Dalam Bidayatul Hidayah, Imam Ghazali menjelaskan tentang Ulama Su‘ berarti ulama yang buruk dan tercela. Dan dikaitkan dengan sebuah hadits :
أنا من غير الدجال أخوف عليكم من الدجال فقيل: وما هو يارسول الله؟، فقال: علماء السوء
“Ada yang paling aku khawatirkan dari kalian ke­timbang Dajjal.” Beliau kemudian ditanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ulama su.”
Adapun ciri-ciri ulama su‘ menurut Imam Ghazali di antaranya;
Pertama, ia pergunakan ilmunya sebagai sarana untuk memperbanyak harta. Ilmunya menjadi tum­puan untuk meraih sasaran duniawi.
Kedua, ia menggunakan ilmunya untuk berbang­ga dengan kedudukannya.

Ketiga, ia menyombongkan diri de­ngan besarnya jumlah pengikut.

Keempat, ia masih mengira bahwa dirinya mempunyai posisi khusus di sisi Allah karena ciri-ciri, pakaian, dan ke­pandaian berbicaranya yang seperti ulama, padahal ia begitu tamak kepada dunia lahir dan batin.
Mereka merupakan golongan orang-orang merugi yang digambarkan dalam hadis Nabi saw., “Siapa yang ber­tambah ilmu, tapi tidak bertambah hidayah, ia hanya bertambah jauh dari Allah.”

Dan DERAJAD ULAMA SU’, adalah SEHINA-HINANYA DARI GOLONGAN ORANG MUNAFIQ. Dia bertopeng agama, selalu mengatasnamakan Tuhan dan Nabinya, tetapi dia malah mengkhianatinya.
إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ فِى ٱلدَّرْكِ ٱلْأَسْفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS AN-NISA 154).

Semoga tulisan ini bisa menggugah kesadaran dan keberanian dalam bersikap bagi seluruh insan yang mengaku dirinya ulama. Atau bagi mereka yang aktif dalam organisasi keagamaan. Ingatlah bahwa PENGAKUAN PALSU sebagai KETURUNAN NABI, tidak saja mengancam kesucian agama dan kesucian Nabi, pastinya akan memperkosa nasib umat dan keutuhan sebagai sebuah bangsa. Dengan mengaku sebagai cucu Nabi lalu dia mendapat otoritas dan kemudian menyelewengkannya, maka seketika harmonisasi kehidupan beragama baik internal dan eksternal akan terguncang. Jikalau anda tidak mau bersikap demi agama, setidaknya bagi bangsa dan keturunan kita semua agar terbebas dari rasisme dan perbudakan !!!

Wassalamu’alaikum, Rahayu Nusantaraku !