Lembaga Pendidikan Islam : Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang

Catatan Natasha Nur Fanita dkk, Yahya Aziz & Saefullah Azhari ; Mahasiswi PIAUD & Dosen FTK Uinsa

Surabaya, Menara Madinah Com
Inilah catatan riset penelitian kami :
1. NATASYA NUR FANITA P. (06030923100)
2. ROSYADA WAHYU ADINDA (06940923089)
3. NABILA ASHRAFA FARISHTA THURAYYA (06040923080)
4.KHALIMATUS SAKDIAH (06040923071)
Ke 4 mahasiswi ini dibimbing langsung oleh Yahya Aziz & Saefullah Azhari Dosen FTK Uinsa dalam riset penelitian mata kuliah Bahasa Indonesia & Pancasila dengan tema Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang.

Pondok Pesantren Tebu Ireng adalah salah satu pesantren terbesar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899. Pesantren ini memiliki moto “Pesantren Tebuireng” dan berafiliasi dengan organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU).
Tebu Ireng merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang terletak di Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Letaknya berada di tepi jalan raya Jombang-Kediri, sekitar 8 km di selatan pusat kota Jombang. Nama Tebu Ireng sendiri menurut cerita masyarakat setempat berasal dari “Kebo Ireng” (Kerbau hitam). Konon pada zaman dahulu ada seorang warga yang mempunyai kerbau ‘bule’ (berkulit kuning/putih). Pada suatu hari kerbau tersebut menghilang dan ditemukan telah terperosok di rawa-rawa dalam keadaan memprihatinkan dengan lintah yang memenuhi tubuhnya. Kulit kerbau yang tadinya berwarna kuning tersebut berubah menjadi hitam. Seketika itu juga sang pemilik berteriak “Kebo ireng! Kebo ireng!”. Sejak saat itu dusun tempat ditemukannya kerbau tersebut dikenal dengan nama Kebo ireng.
Versi lain menuturkan bahwa nama Tebu Ireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut. Seiring berkembangnya zaman, kondisi di sekitar perkampungan semakin ramai. Salah satu buktinya adalah berdirinya pabrik gula di dusun tersebut yang mendorong masyarakat untuk menanam tebu yang berwarna hitam untuk bahan baku pembuatan gula. Hal itulah yang konon juga menjadi latar belakang penamaan dusun Tebu Ireng.
Pesantren ini didirikan setelah K.H. Hasyim Asy’ari pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan terkemuka di tanah Mekkah, untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya.
K.H. Hasyim Asy’ari adalah cucu dari K.H. Asy’ari, pendiri pesantren Gedang di Jombang. Pesantren ini awalnya dipusatkan di sebuah bangunan yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman bambu (Jawa: gedek), bekas sebuah warung yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang dibelinya dari seorang dalang . Satu ruang digunakan untuk kegiatan pengajian, sementara yang lain sebagai tempat tinggal bersama istrinya, Nyai Khodijah. Santri-santri pertama yang belajar di pesantren ini berjumlah 10 orang, termasuk beberapa santri yang dibawanya dari pesantren Gedang. Santri-santri tersebut antara lain: K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Sholeh Darat, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Abdul Karim, K.H. Abdul Hamid, K.H. Abdul Qodir, K.H. Abdul Ghofur, K.H. Abdul Halim, K.H. Abdul Majid. Santri-santri tersebut kemudian menjadi tokoh-tokoh penting dalam sejarah NU dan Indonesia.

Dalam perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7 kali periode kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan Tebuireng sebagai berikut:
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari: 1899 – 1947
KH. Abdul Wahid Hasyim: 1947 – 1950
KH. Abdul Karim Hasyim: 1950 – 1951
KH. Achmad Baidhawi: 1951 – 1952
KH. Abdul Kholik Hasyim: 1953 – 1965
KH. Muhammad Yusuf Hasyim: 1965 – 2006
KH. Salahuddin Wahid: 2006 – 2020
KH Abdul Hakim Mahfudz: 2020 – sekarang
Pendiri pesantren Tebuireng adalah KH. M. Hasyim Asy’ari putra ketiga dari 11 bersaudara, pasangan kiai Asy’ari dan nyai Halimah. Lahir di Jombang pada 14 Februari 1871 M. Setelah perpindahan keluarga Hasyim di desa keras pada tahun 693/1876 M. Hasyim berusia 6 tahun sudah mulai mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan. Kiai Hasyim memiliki kecerdasan yang sangat kuat sehingga beliau diamanahi mengajar saat berusia 13 tahun. Pada usia 15 tahun beliau belajar ke pesantren Wonorejo Jombang, pesantren wonokoyo probolinggo, pesantren Langitan Tuban, pesantren tenggilis Surabaya, pesantren Kademangan bangkalan, dan juga pesantren Siwalan Panji Sidoarjo yang mana dikemudian hari kiai ya’qub pengasuh pesantren menjadikan kiai Hasyim sebagai menantunya. Pada usia 21 tahun beliau menikah dengan nyai Khadijah. Pada tahun 1899 beliau membeli tanah untuk membangun pesantren Tebuireng yang terletak di dukuh Tebuireng. Pada bulan Oktober 1945 yang bertepatan pada tanggal 22 beliau mengeluarkan fatwa resolusi jihad yang menjadi cikal bakal peperangan pada 10 November 1945 di Surabaya. Atas jasa-jasanya presiden Soekarno lewat keputusan presiden (kepres) no. 249/1964 menetapkan bahwa KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.

Seiring dengan berjalannya waktu, santri yang berdatangan menimba ilmu semakin banyak dan beragam. Kenyataan tersebut telah mendorong Pondok Pesantren Tebuireng beberapa kali telah melakukan perubahan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagaimana pesantren-pesantren pada zaman pendiriannya, sistem pengajaran awal yang digunakan adalah metode sorogan (santri membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning di hadapan guru), serta metode weton atau bandongan atau halqah (kyai membaca kitab dan santri memberi makna). Semua bentuk pengajaran tersebut tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan tingkat pendidikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yang khatam (selesai) dikaji dan diikuti santri. Materi pelajarannya pun khusus berkisar tentang pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at dan bahasa Arab.
Perubahan sistem pendidikan di pesantren ini pertama kali diadakan Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1919, yaitu dengan penerapan sistem madrasi (klasikal) dengan mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Sistem pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani.
Tahun 1929, kembali dilakukan pembaharuan, yaitu dengan dimasukkannya pelajaran umum ke dalam struktur kurikulum pengajaran. Hal tersebut adalah suatu tindakan yang belum pernah ditempuh oleh pesantren lain pada waktu itu. Sempat muncul reaksi dari para wali santri, bahkan para ulama dari pesantren lain. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat pelajaran umum saat itu dianggap sebagai kemunkaran, budaya Belanda dan semacamnya. Hingga terdapat wali santri yang sampai memindahkan putranya ke pondok lain. Namun, madrasah ini berjalan terus karena Pondok Pesantren Tebuireng beranggapan bahwa ilmu umum akan sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren.
Jumlah santri Pondok Pesantren ini sebanyak 5300 orang. Para alumni Pesantren Tebuireng berkomitmen untuk berkiprah dikancah Nasional. Mereka mendirikan komunitas Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) yang sering mengadakan temu alumni seperti Halal Bihalal dan agenda-agenda besar lainnya yang bertujuan untuk terus menjalin silaturahim dan juga sebagai penyebaran dakwah melestarikan pemikiran pesantren kepada masyarakat.
Dalam acara bedah kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya KH. Hasyim Asy’ari di Ma’had Aly Tebuireng, Jombang, Rabu (3/4) Mudir Madrasatul Quran (MQ) Tebuireng KH. Musta’in Syafi’ie menjelaskan beberapa wasiat Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Menurutnya, Kiai Hasyim berwasiat agar tidak dilakukan peringatan haul untuk mengenang hari wafatnya. Kiai Musta’in menegaskan bahwa hal itu dilakukan Kiai Hasyim semata-mata karena tidak ingin membuat repot banyak orang, bukan karena mengharamkan peringatan haul.
Dikatakannya, diantara wasiat Kiai Hasyim lagi yaitu agar murid-muridnya tidak mempelajari atau mengajarkan kitab Durrotun Nashihin kecuali apabila mampu menjelaskan hadits-hadits lemah dan palsu yang ada di dalamnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *