Pemikiran Presiden R I ke 4 : KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Catatan Adinda Aurellia Pitaloka dkk, Yahya Aziz, Saefullah Azhari : Mahasiswi PIAUD & Dosen FTK Uinsa.

Surabaya Menara Madinah Com.
Inilah catatan para mahasiswi PIAUD semester 1 FTK :
1. Adinda aurellia pitaloka
(06020923014)
2. Amanda Faradillah
(06020923015)
3.Nihayatus Sholiha (06010923011)
4. Nimas fadziyatu rohma
(06010923012)
5. Rizqi An Nafiah (06010923013)
Ke 5 mahasiswi ini dibimbing langsung oleh Yahya Aziz, S.Ag, M.Pd.I & Drs. Saefullah Azhari, Lc, M.Pd.I dalam tugas riset penelitian & pengabdian masyarakat tentang “Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)” pada mata kuliah “Pancasila & Bhs Indonesia”.
Para mahasiswi dianjurkan untuk menyampaikan nilai-nilai perjuangan Gus Dur ketika mengajar di TPQ musholla dan masjid di desa masing-masing
Siapakah KH.Abdurrahman Wahid itu ?

Sosok Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) merupakan
figur yang fenomenal dalam realitas sosial politik masyarakat Indonesia.
Kehadirannya dikancah dunia perpolitikan Indonesia telah membawa suasana
yang cukup dinamis dan segar. Hingga tidak diherankan jika dia menjadi
buruan para wartawan untuk diminta pendapat dan komentarnya, sasaran
kritik para kritisi yang selalu mengkritik dan menyangkal pendapatnya,
sekaligus tumpuan dan tempat perlindungan bagi mereka yang sedang dalam
kesulitan baik secara politik, ekonomi maupun kelompok minoritas lainnya
yang merasa terancam keberadaannya. Gagasan-gagasannya yang segar dan
pikiran-pikirannya yang jauh kadang membuat masyarakat sulit mengikuti dan
memahaminya. Demikian pula perilakunya yang melampaui kelaziman
ditinjau dari posisinya sebagai seorang kiai dan tokoh masyarakat yang
mempunyai subkultural tersendiri Karena menjadi panutan membuat berbagai
kalangan mengkhawatirkan dirinya.Disamping itu juga banyak yang
menentangnya. Hingga tidak berlebihan kiranya kalau Gus Dur telah menjadi
“destroyer” yang membahayakan sekaligus “reformer” yang menjajikan
harapan dan tumpuhan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Melihat apa yang terjadi, Gus Dur tidak sekedar sosok individu
seorang manusia, lebih dari itu Gus Dur telah menjadi sebuah teks dalam
kehidupan kebangsaan di Indonesia. Apa yang dilakukan, dibicarakan dan
dipikirkan menjadi bahan perbincangan masyarakat diberbagai kalangan.
Berbagai tafsiran dan komentar muncul atas pikiran dan tindakan Gus Dur;
ada yang menggugat, menentang bahkan ada yang sinis dan prihatin.
Sebaliknya, ada juga yang setuju, senang dan mendukung atas apa yang
dipikirkan, dilakukan dan diucapkan Gus Dur. Kelompok pertama berusaha
menafikkan dan mngelinimir gagasan dan tindakan Gus Dur karena dianggap
merugikan “umat” dan “masyarakat”, sementara kelompok kedua berusaha
mensosialisasikan gagasan dan pikiran Gus Dur. Masing-masing memberikan
justifikasi pendapatnya mengenai Gus Dur dengan tafsiran-tafsirannya sendiri.
Hingga yang terjadi kemudian adalah adu argumentasi dan penafsiran atas apa
yang dilakukan dan diucapkan Gus Dur mengenai suatu masalah. Akibatnya
suasana perdebatan publik menjadi semakin dinamis.2 Berbicara tentang Gus
Dur maka tidak akan terlepas dari Nahdlatul Ulama karena Gus Dur
merupakan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama.

K.H. Abdurrahman Wahid lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil (Jombang, 4 Agustus 1940)atau yang akrab disapa Gus Dur, merupakan putra pertama dari enam bersaudara. lahir dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Hj. sholehah. Ayahnya (KH. Wahid Hasyim) merupakan putra dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Ibunya (Hj. Sholehah) merupakan putri Kh. Bisri Syansuri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur.

Gus Dur, adalah tokoh Muslim dan politisi Indonesia yang menjadi Presiden keempat Indonesia dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Pada 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Gus Dur mengalami gangguan penglihatan akibat glaukoma. Ia mengalami kebutaan di mata kirinya dan mata kanannya hanya berfungsi 20%. Gus Dur adalah presiden Indonesia pertama dan satu-satunya (hingga saat ini) yang memiliki disabilitas.
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga sering kali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia meninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum kematiannya sendiri, ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) secara rutin. Menurut adiknya yaitu Salahuddin Wahid, Gus Dur meninggal dunia akibat sumbatan pada arteri. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur

Pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid

a. Pluralisme dan Toleransi

Salah satu aspek yang sangat mudah dipahami dari sosok Gus Dur adalah pemikirannya tentang pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China –khonghucu- Indonesia, bahkan Ia juga tidak segan membela kelompok agama minoritas, keyakinan, dan kelompok lain yang dianggap terdiskriminasi dan dilanggar hak kemanusiaannya. Dengan bahasa lain Gus Dur dapat dipahami sebagai figure yang memperjuangkan diterimanya kenyataan social bahwa Indonesia itu beragam, dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam itu sendiri. lebih dari itu, Gus Dur adalah seorang tokoh spiritual dan tokoh moderat yang mampu menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi.

“bagaimana bisa terjadi seseorang yang begitu mencintai agamanya dan khususnya sub-kultur agamanya tempat ia tumbuh,Salah satu idiom popular barat modern atau budaya yang terbaratkan adalah bahwa hanya dengan melepaskan dogmatismelah seseorang dapat menjadi toleran, kenyataan ini sama sekali tidak berlaku bagi Gus Dur.

Pemikiran Gus Dur tidak jarang membuat banyak tafsiran tentang sosok beliau, kebingungan itu berasal dari fakta bahwa pada satu sisi Gus Dur dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figure religius dan pada sisi lain ditafsirkan oleh banyak orang sebagai politisi yang sekuler dan juga sebagai intelektual yang liberal.

b. Politik, Demokrasi dan HAM

Sebagian besar diskusi mengenai Gus Dur, atau yang lebih jarang lagi mengenai tulisannya, memfokuskan pada satu atau aspek lain dari identitasnya. Bisa dipahami, sikap, manuver, strategi, dan taktik politiknya yang paling sering dibahas daripada pergumulannya dengan dunia kepesantrenan. Kalau mau diperhatikan, sangat jarang sekali berita atau tulisan tentang Gus Dur yang mengangkat topic dirinya sebagai tokoh religius yang memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia dan bahkan juga dunia. Sebagai tokoh nasional yang dianggap juga sebagai guru bangsa, Gus Dur juga dikenal sebagai intelektual public yang terpandang yang selalu mengkampanyekan demokratisasi dan penegakan HAM. Akibatnya banyak orang merasa sulit memahami bagaimana seorang muslim yang setia, atau penganut agama yang taat, dapat menjadi figure modern yang liberal.

Membincang gaya komunikasi politik Gus Dur, sama halnya dengan membuka peluang bagi munculnya multi-tafsir atas berbagai gaya yang ditampilkannya. Sikap politik Gus Dur yang lentur menjadikan dirinya sebagi kekuatan yang selalu diperhitungkan siapapun. Dia tidak alergi untuk bertemu dengan banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan orang atau kekuatan politik yang berseberangan dengannya. Membaca Gus Dur ibarat membaca scenario cerita yang diwarnai oleh banyak kejadian tak terduga.Gaya komunikasi politik Gus Dur memang unik dan berbeda dengan kebanyakan tokoh nasional maupun internasional. Dia seringkali membuka diskursus di media massa tentang banyak hal, termasuk persoalan yang bagi sebagian orang dianggap sebagai isu sensitif. Mengkritik dan bersikap oposan terhadap orang dan kelompok tertentu yang dianggap menyeleweng seolah menjadi trade mark diri Gus Dur.

c. Dualisme Islam Dan Negara

Gus Dur mengemukakan konsep dualisme legitimitas antara agama dan negara, yakni negara memberikan legitimasi pada agama-agama yang ada, termasuk agama Islam, dan agama Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini memberikan legitimasi pada negara. Gus Dur dengan tegas menandaskan negara Pancasila tidak berkepentingan dengan negara agama, dalam hal ini negara Islam. Karena itu negara Pancasila tidak dimaksudkan untuk menerapkan hukum-hukum Islam. Komitmen umat Islam pada negara Pancasila berkaitan dengan urusan keduniawian (muamalah), yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian hal ini mempunyai dimensi ibadah, karena umat Islam melakukan semua urusaan keduniawian itu sebagai bagian dari pengabdiaannya kepada Allah. Mereka ikhlas melakukan semua urusan keduniawian demi kemaslahatan umum, menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Sebaliknya negara tidak perlu terlalu jauh mencampuri urusan agama. Karena itu Gus Dur tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan suatu agama sebagai agama resmi. Pemerintah Orde Baru hanya mengakui 5 agama resmi, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha, disamping diakui juga aliran kepercayaan kepada Tuhan YME. Dengan hal ini pemerintah Orde Baru sudah terlalu jauh memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Kebijakan seperti ini jelas sangat berbahaya bila digunakan oleh pemerintah untuk mengadu domba kekuatan di dalam masyarakat demi mempertahankan kekuasaannya. Bila suatu lembaga keagamaan bentukan pemerintah seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi Islam dan PGI (Persekuan Gereja Indonesia) bagi Protestan, diberi legitimasi oleh pemerintah untuk menindas suatu cabang yang tumbuh dalam suatu agama maka kehancuran suatu cabang itu berarti juga akan melemahkan kekuatan umat beragama itu secara keseluruhan; lalu pemerintah akan dengan mudah mengendalikan dan mengontrol umat beragama tersebut. Ketika muncul kasus Kong Hu Cu misalnya, Gus Dur termasuk salah seorang yang menentang sikap pemerintah yang terlampau jauh menggunakan otoritasnya sampai memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Pada waktu itu pemerintah, dalam hal ini catatan sipil, tidak mau mengakui perkawinan dua warga Kong Hu Chu karena Kong Hu Chu bukanlah agama yang diakui secara resmi negara.

Dalam pandangan Gus Dur, negara hendaknya hanya bertugas mengatur jalannya kehidupan antar maupun inter umat beragama. Karenanya negara dituntut bersikap adil dan tidak boleh berpihak kepada salah satu agama. Dalam pandangan Gus Dur, pemerintah bertindak sebagai polisi lalulintas, yang mengatur jalannya lalu lintas hubungan antar umat beragama. Dasar untuk mengatur hubungan itu adalah dasar negara Pancasila. Negara tidak boleh memonopoli penafsiran Pancasila, mengingat Pancasila adalah ideologi terbuka, sebagai suatu kompromi politik dari berbagai kekuatan, sehingga semua umat beragama diberi kebebasaan untuk berpartisipasi dalam memaknai ideologi Pancasila. Gus Dur menyakini demokrasi adalah nilai yang paling prinsip dalam Pancasila dan harus dijunjung tinggi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat.

Dualisme hubungan agama dan negara sepintas nampak bersifat sekuler. Tapi jika kita coba memahami lebih mendalam lagi, justru Gus Dur ingin mengembalikan agama kepada keadaannya yang genuine dan autentik. Yaitu agama yang bersifat mempribadi, sebagai tindakan privat yang lebih menekankan pada pencapaian pengalaman spiritual. Keadaan seperti ini dapat dicapai jika agama terbebaskan dari segala bentuk objektivikasi yang biasanya muncul dari wilayah publik. Bisa jadi yang publik itu berasal dari habitat yang sama seperti organisasi keagamaan, maupun dari wilayah publik lain seperti politik. Apa pun wilayah politiknya, baik yang ada dalam lingkup negara maupun masyarakat, resistensi agama seringkali kurang begitu kokoh dalam menghadapi praktek manipulasi, seperti kecenderungan mengatas namakan tindakan politik tertentu dengan simbol agama.

Gus Dur sangat menyadari kalau agama tidak bisa dipisahkan dari politik karena agama merupakan sumber nilai. Islam sebagai agama hukum sangat berkepentingan untuk menundukkan semua persoalan kepada syariah. Oleh karena itu, agar politik dapat memberikan Kesejahteraan bersama kepada publik maka agama perlu diperankan, bukan dalam wujudnya yang bersifat formalistik, melainkan yang substantif dalam pengertian agama diarahkan pada upaya pemberian dasar-dasar etik dan moral terhadap seluruh proses politik.

Aplikasi nilai-nilai pemikiran Abdurrahman Wahid pada masa kini

Untuk dapat menyelami nilai-nilai toleransi dan Bhinneka Tunggal Ika, seseorang tidak perlu hidup sezaman dengan Gus Dur. Meskipun, generasi milenial bukan generasi yang hidup semasa dengan Gus Dur, tetapi etika dan nilai-nilai beliau masih sesuai dengan kehidupan sekarang dan bisa diterapkan kapan saja.

Nilai-nilai toleransi yang di tanamkan Gus Dur mulai hilang di generasi sekarang ini, dikarenakan perkembangan teknologi dan media sosial yang semakin maju.

Ahmad Riyadi mengatakan, nilai toleransi yang ditanamkan Presiden ke-4 RI itu sangat luar biasa dikarenakan mampu menyatukan keberagaman umat agama. Sayangnya, nilai luhur tersebut dilupakan seiring dengan semakin bebasnya ruang berpendapat di media sosial. ”Pemanfaatan media sosial oleh generasi milenial terbukti semakin menjauhkan dari nilai-nilai yang ditanamkan Gus Dur. Ujaran kebencian, intoleransi, saling hujat, dan saling curiga lebih banyak menghiasi dunia media sosial kita hari ini,” jelasnya.

”Gus Dur dikenal sebagai sosok yang unik dan aneh. Pemikirannya zig-zag atau tidak beraturan, tetapi tujuan dari pemikirannya jelas semata-mata untuk kemaslahatan umat dan rakyat,” ujar Riyadi, Gus Dur – yang juga mantan ketua umum PBNU.

Di bidang politik, saat menjadi Presiden RI, ide Gus Dur tentang pencabutan Tap MPR soal Bung Karno, pemisahan TNI dan Polri, demokratisasi, pengurangan peran negara yang mengatur kehidupan beragama dan sosial kemasyarakatan serta komitmen pada gerakan anti-KKN, membuatnya dimusuhi berbagai kelompok dan partai politik, sehingga Gus Dur dijatuhkan.

Gus Dur pun memiliki gagasan cemerlang di bidang ekonomi. Ketika menjabat presiden, bersama tim ekonominya antara lain Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, Bambang Sudibyo, dan kawan-kawan, berhasil meningkatkan ”growth” tinggi, memangkas utang, serta mencatatkan gini ratio terendah selama Indonesia merdeka dengan tingkat kohesi sosial yang kuat.

”Pemikiran Gus Dur yang terpenting adalah saat ia membeberkan ide tentang Poros Maritim di saat situasi dan kondisi bangsa lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur di daratan. Gus Dur secara brilian dan visioner melihat potensi besar kemaritiman bangsa ini dibandingkan daratan,” lanjutnya.

Apresiasi terhadap pemikiran Gus Dur juga disampaikan Sekjen Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia/GMKI Alan Christian Singkali, yang menyebut sosok Gus Dur sebagai berkah bagi Indonesia, khususnya bagi umat Kristen dan umat non-Muslim. Gus Dur adalah pemimpin yang visioner, humanis, moderat, inspiratif, nasionalis, dan transformatif.

Setelah mendiskripsikan tentang perjuangan dan perjalanan politik (Gus Dur) maka bisa menarik sebuah kesimpulan dari beberapa pembahasan tentang pokok permasalahan.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, merupakan sosok yang kompleks mulai dari keulamaan, demokrat,pluralis,dan nasionalis.

Kecerdasannya tidak hanya bisa dilihat dari tulisan-tulisannya tetapi dari ide-ide intraksi politik yang dijalani. Dalam hal ini terlihat dalam perjuangannya yang beragam baik dalam organisasi sosial keagamaan,organisasi
politik,dan kehidupan bernegara, Gus Dur selalu menjadi ikon. Dalam melakukan interaksi politik nya Gus Dur memulainya dengan terjun dalam organisasi sosial keagamaan yakni nahdlatul ulama (NU) dalam organisasi ini ia berhasil menjadi ketua selama 14 tahun. Gus Dur berhasil mencapai karirnya dalam dunia politik indonesia sebagai presiden RI yg ke-4, semasa menjadi presiden Gus Dur banyak memberi sumbangsih terhadap perjalanan hidup bangsa ini.

Perjuangan Gus Dur telah membuka jalan terwujudnya cita-cita masyarakat yg adil toleran dan demokratis rasa nasionalisme dan sosok perjuangannya yg tangguh dan ulet serta pantang menyerah baik dalam memperjuangkan demokrasi dan pluralisme…
Semoga kita bisa meneruskan perjuangan beliau…lahu alfatihah
Barakallah….!