*PMII BUKAN SEBUAH PARTAI POLITIK*

 

Catatan : Bima Satria Hutama, S. Hum. Ketua Biro Penataan Aparatur, Informasi dan Data Base, PKC PMII JATIM.

Semakin dekatnya waktu menjelang kontestasi politik akbar yaitu pagelaran pemilu 2024 membuat banyak stake holder kian disibukkan dengan aktivitas-aktivitas guna melancarkan salah-satu hajat besar bangsa kita.

Lembaga-lembaga survei juga sudah mulai riuh menyebarkan kuesioner-kuesioner politik kepada masyarakat maupun lembaga lainnya. Bahkan lebih dari itu, partai politik juga sudah mulai bergerilya untuk mengenalkan bakal calonnya kepada masyarakat dengan berbagai macam cara dan metode yang dianggap mereka paling efektif.

Nampaknya bukan hanya lembaga survei dan partai politik saja yang berpartisipasi dalam pagelaran politik 2024 nanti. Organisasi-organisasi mahasiswa tingkat internal dan eksternal juga tidak mau kalah dalam membahas isu-isu terkini perihal kontestasi tersebut.

Salah-satu organisasi kemahasiswaan besar yang nampaknya juga ingin meramaikan kontestasi tersebut adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Hal itu tercermin dari banyaknya diskursus yang membahas mengenai kriteria pemimpin ideal yang mampu melanjutkan estafet kepemimpinan Presiden Jokowi maupun kritik atas banyaknya PR pemerintah yang belum diselesaikan.

Kritik dan penyampaian aspirasi sendiri merupakan salah-satu ruh dari gerakan mahasiswa secara umum. Jika kalangan mahasiswa dan pemuda sudah tutup mata dengan problematika bangsa dan negaranya sudah pasti ketimpangan moral para pemangku kebijakan akan semakin membabi buta.

Sebagai organisasi yang dilahirkan pada tahun 1960, tentunya PMII sudah memiliki banyak alumni yang tersebar di berbagai macam posisi. Salah-satunya adalah dalam bidang politik dan aparatur pemerintahan di Indonesia. Kenetralan dari organisasi inipun mendapatkan ujian tatkala senior-senior mereka akan mencalonkan diri sebagai bacaleg, bacawali, bacabup dan lain-lain.

Sudah pastinya senior-senior tersebut secara tidak langsung akan membutuhkan bantuan lumbung suara para pentolan-pentolan PMII atau setidaknya mengajak mereka menjadi timsesnya. Hal itu tentu akan mengkhianati marwah idependensi PMII sebagai sebuah organisasi mahasiswa yang bebas dari praktek pragmatisme politik.

Apalagi jika proses dari pencalonan tersebut tidak diimbangi oleh niat baik untuk memberi manfaat kepada rakyat dan hanya sebagai upaya transaksional politik serta tidak ada nilai-nilai kebaikan yang diperjuangkan.

Meskipun begitu, sebagai sebuah laboratorium kaderisasi PMII harus mampu menjadikan kader berkembang sesuai dengan minat yang ditekuninya. Salah-satu bidang garapan dari kaderisasi organisasi adalah politik.

Tapi memperdagangkan nama besar PMII hanya untuk kepentingan elektoral senior-senior semata hanya akan membuat organisasi ini diambang kehancuran. Apalagi jika Naudzubilah Min Dzalik ada kader PMII yang masih menjadi pengurus tapi juga aktif menjadi pengurus partai politik.

Itu berarti dia sudah mengkhianati AD/ART PMII yang mana seorang pengurus tidak diperbolehkan merangkap sebagai anggota parpol. Bahkan lebih dari itu, tentu keobjektifitasan dari kader tersebut secara personal juga patut untuk dipertanyakan. Hasil dari itu semua adalah mendegradasi peran dan perjuangan luhur PMII sebagai kekuatan intelektal, moral dan kultural karena lebih fokus ke arah politik praktis.

Nampaknya kita sebagai anggota dari banom NU harus melirik kembali sejarah panjang dinamika Nahdlatul Ulama yang memilih kembali kepada khittah perjuangan 1926.

Organisasi NU pernah menjadi sebuah partai politik pada tahun 1952 karena tokoh-tokohnya tersingkir dari partai Masyumi. Upaya sebagian besar Kyai-Kyai senior NU pada waktu itu mendapatkan pertentangan karena disangka akan membawa NU kepada kemunduran.

Namun sebagai upaya tetap menjaga semangat kebangsaan dan keislaman, NU sepakat untuk kembali ke khittah pada muktamar Situbondo pada tahun 1984. Hasil final ini dimaksudkan agar NU lebih fokus mengurusi kader di bagian akar rumputnya.

PMII dalam sejarahnya juga memiliki tokoh-tokoh hebat semacam Mahbub Djunaidi dan Zamroni. Kedua tokoh tersebut yang menjadi tonggak bagi terbentuknya angkatan 66 yang mengkritik keras kekuasaan orde lama.

Mahbub adalah seorang penulis hebat yang melahirkan banyak karya-karya progresif, sedangkan Zamroni adalah seorang “koboi jalanan” yang menggerakan massa untuk menerobos kekuasaan koruptis menteri-menteri di era Presiden Sukarno. Kader-kader PMII di era sekarang harus lebih banyak melihat pendahulu-pendahulu organisasi yang menjadi kekuatan moral bagi eksistensi negara Indonesia.

Dari sejarah NU dan PMII, kader-kader dan pimpinan organisasi di era sekarang nampaknya harus banyak belajar bahwa kaderisasi di tingkat rayon dan komisariat nampaknya harus lebih diperhatikan ketimbang menjadi pion-pion usang untuk kepentingan elektoral politik.

Organisasi PMII jauh lebih besar ketimbang hanya dikerdilkan sebagai kendaraan politik segelintir orang. Sebagai mahasiswa dan kader PMII, sikap utama yang mesti dipertahankan adalah idealisme dalam menjunjung nilai-nilai moral dan intelektual.

Pada hemat saya, PMII harus lebih aktif menggarap bidang-bidang yang krusial di dalam kampus, seperti halnya penyebaran doktrin-doktrin Aswaja guna menangkal radikalisme yang kian marak masuk ke dalam lembaga dakwah kampus. Lain-lagi, PMII juga harus menunjukkan jati dirinya sebagai organisasi mahasiswa yang menjadikan pengembangan intelektual sebagai semangat yang tidak boleh redam.

Penulis selalu membayangkan bahwa organisasi PMII akan bertransformasi sebagai gerakan intelektual yang bukan hanya sesuai dengan rumpun keilmuannya tapi juga mampu memberikan pijakan berpikir bagi arus pemikiran alternatif yang lainnya.

Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan bahwa organisasi PMII merupakan gerakan moral dan intelektual bukan partai politik yang hanya menginginkan perolehan suara secara kuantitatif tanpa memperdulikan pengembangan diri dari kader-kadernya. Karena PMII adalah sebuah “laboratorium kaderisasi” yang disana berisi tentang gerakan moral, intelektual, kultural, politik dan sebagainya.

Jadi hanya menjadikaan PMII sebagai kendaraan politik itu bukan memberi makna positif bagi organisasi tapi malah sebaliknya.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Tharieq